Lompat ke isi

Banteng: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
RianHS (bicara | kontrib)
HaEr48 (bicara | kontrib)
→‎Sapi bali: lanjutan
Baris 112: Baris 112:
Interaksi banteng dengan manusia dapat ditemukan hingga ribuan tahun yang lalu, berdasarkan peninggalan fisik hewan tersebut serta karya seni di gua-gua.<ref name=chazine/><ref name=hoogerwerf/> Menurut Hooijer, riwayat dari naturalis Wales [[Thomas Pennant]] pada tahun 1800 dengan judul ''Outlines of the Globe'' merupakan catatan tertulis pertama tentang hewan ini, yang dijelaskan Pennant sebagai "sapi liar, dengan warna cokelat kemerahan, dengan tanduk panjang, dan bertubuh besar" di Pulau Jawa.<ref>{{cite book|title=Outlines of the Globe: The View of the Malyan Isles, New Holland, and the Spicy Islands|last=Pennant|first=T.|authorlink=Thomas Pennant|volume=IV|publisher=Henry Hughes|location=London|date=1800|url={{Google Books|id=F3ZdAAAAcAAJ|page=35|plainurl=yes}} |page=35}}</ref> Sementara itu, Hoogerwerf menyebut bahwa banteng telah ada dalam karya sastra klasik Indonesia seperti ''[[Nagarakretagama]]'' (tahun 1365), yang dipersembahkan untuk raja Majapahit [[Hayam Wuruk]]. Karya ini menyebutkan kegiatan berburu sang raja yang melibatkan berbagai hewan buruan termasuk banteng. Catatan dari abad ke-18 menunjukkan bahwa banteng telah digunakan sebagai hewan pengangkut termasuk untuk membawa kopi.<ref name=hoogerwerf/>
Interaksi banteng dengan manusia dapat ditemukan hingga ribuan tahun yang lalu, berdasarkan peninggalan fisik hewan tersebut serta karya seni di gua-gua.<ref name=chazine/><ref name=hoogerwerf/> Menurut Hooijer, riwayat dari naturalis Wales [[Thomas Pennant]] pada tahun 1800 dengan judul ''Outlines of the Globe'' merupakan catatan tertulis pertama tentang hewan ini, yang dijelaskan Pennant sebagai "sapi liar, dengan warna cokelat kemerahan, dengan tanduk panjang, dan bertubuh besar" di Pulau Jawa.<ref>{{cite book|title=Outlines of the Globe: The View of the Malyan Isles, New Holland, and the Spicy Islands|last=Pennant|first=T.|authorlink=Thomas Pennant|volume=IV|publisher=Henry Hughes|location=London|date=1800|url={{Google Books|id=F3ZdAAAAcAAJ|page=35|plainurl=yes}} |page=35}}</ref> Sementara itu, Hoogerwerf menyebut bahwa banteng telah ada dalam karya sastra klasik Indonesia seperti ''[[Nagarakretagama]]'' (tahun 1365), yang dipersembahkan untuk raja Majapahit [[Hayam Wuruk]]. Karya ini menyebutkan kegiatan berburu sang raja yang melibatkan berbagai hewan buruan termasuk banteng. Catatan dari abad ke-18 menunjukkan bahwa banteng telah digunakan sebagai hewan pengangkut termasuk untuk membawa kopi.<ref name=hoogerwerf/>


=== Domestikasi dan peternakan ===
== Sapi bali ==
{{utama|Sapi bali}}
{{utama|Sapi bali}}
Banteng telah [[domestikasi|didomestikasi]] kemungkinan sejak 3500 SM di Jawa dan daratan Asia Tenggara. Saat ini, sebagian besar populasi banteng yang terdomestikasi dikenal sebagai [[sapi Bali]] dan diternakkan di Indonesia.<ref name=mason/><ref name="mohd2009">{{cite journal |last1=Mohamad |first1=K. |last2=Olsson |first2=M. |last3=van Tol |first3=H. T. A. |last4=Mikko |first4=S. |last5=Vlamings |first5=B. H. |last6=Andersson |first6=G. |last7=Rodríguez-Martínez |first7=H. |last8=Purwantara |first8=B. |last9=Paling |first9=R. W. |last10=Colenbrander |first10=B. |last11=Lenstra |first11=J. A. |last12=DeSalle |first12=R. |title=On the origin of Indonesian cattle |journal=PLOS ONE |date=2009 |volume=4 |issue=5 |pages=e5490 |doi=10.1371/journal.pone.0005490}}</ref> Pada tahun 2016, hampir 25% dari populasi "sapi" Indonesia adalah sapi Bali yang sebenarnya adalah banteng, termasuk 80% dari sapi di kawasan timur yang kebanyakan dimiliki peternak kecil.<ref name=mason/> Banteng ternak bersifat jinak dan mampu bertahan di cuaca panas dan lembap. Selain itu, hewan ini mampu tumbuh dan mempertahankan bobot tubuh normal sekalipun diberi pakan kualitas rendah. Peternakan hewan ini terutama dilakukan untuk dagingnya, yang banyak diminati dan disebut empuk dan lembut.<ref name=nrc/><ref>{{cite book|title=Beef Cattle Production Systems|last=Herring|first=A. D.|date=2014|publisher=CAB International|isbn=978-1-78064-507-0|location=Boston|pages=22-23|url={{Google Books|plainurl=yes|page=22|id=NSExBQAAQBAJ}} }}</ref> Kadang banteng ini juga digunakan untuk hewan angkut di bidang pertanian, walaupun dilaporkan tidak sekuat sapi Zebu dalam menarik gerobak di jalan.<ref name=fao>{{cite report|author=Hall, D.|date=2006|chapter=Asian livestock benefiting from innovation|editor= McLeod, A. |title= Livestock Report 2006 |publisher=Animal Production and Health Division, FAO|pages=77–83}}</ref> Namun banteng memiliki produksi susu yang rendah, hanya selama enam hingga sepuluh bulan pertama dan hanya 0,9 hingga 2,8 kg per hari. Hewan ini juga rentan penyakit seperti demam kataral malignan. Pada 1964, terjadi wabah di Bali yang disebut "penyakit Jembrana" yang membunuh 10% hingga 60% dari banteng ternak di berbagai tempat di bali, dan diikuti gelombang-gelombang susulan yang tidak seganas gelombang pertama.<ref name=nrc/>
Banteng telah [[domestikasi|didomestikasi]] di beberapa daerah di [[Asia Tenggara]] dan [[Australia]] dan dikenal sebagai '''sapi bali'''. Hingga tahun 2009 diperkirakan jumlahnya di Indonesia mencapai sekitar 4,5 juta ekor. Banteng ternak dan liar dapat saling kawin dan keturunan yang dihasilkannya sering kali subur (fertil). Ada 11 provinsi utama yang memiliki populasi sapi Bali terbanyak. Populasi terbanyak di Sulawesi Selatan, Bali, NTT, NTB, Sumsel, Sultra, Gorontalo, Kalsel, Sulteng, Sulbar, dan Lampung. Sapi Bali merupakan sumberdaya genetik hewan asli Indonesia, karena kerabat liarnya ada di Indonesia. Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang memiliki ciri-ciri yang khas, dan berbeda dari jenis sapi lainnya.


==== Persilangan ====
Warna sapi betina merah bata, jantan warna merah bata yang akan berubah menjadi kehitaman dengan makin bertambahnya umur. Perubahan warna tersebut tidak muncul pada sapi bali jantan yang dikastrasi. Kaki berwarna putih pada bagian bawah, mulai dari tarsus/carpus ke bawah. Pantat berwarna putih dengan batas yang jelas (bentuk oval).
Banteng ternak juga disilangkan dengan hewan kerabat-kerabatnya. [[Sapi Madura]] yang diternakkan di Jawa dan Madura, adalah hasil persilangan banteng dengan sapi Zebu, dan bersifat fertil atau mampu menghasilkan keturunan. Sapi madura berukuran relatif kecil, dengan berat pejantan 250–300 kg dan betina sekitar 150 kg. Hewan ini digunakan dalam acara-acara tradisional, termasuk balapan sapi dan lomba sapi hias. Selain sapi Madura, terdapat hasil persilangan lainnya yaitu sapi Donggala, sapi Galekan, dan sapi Jabres (Jawa Brebes). Hasil persilangan sapi Zebu dengan banteng selalu bersifat fertil, sedangkan pejantan yang merupakan hasil persilangan banteng dengan sapi Eropa bersifat steril atau mandul. Pada Juni 2011, pemerintah Jawa Timur melakukan program persilangan banteng ternak dengan banteng liar yang diambil dari [[Taman Nasional Baluran]] di [[Situbondo]], yang menghasilkan lima sapi bunting. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas banteng ternak.


=== Kemunculan di Australia ===
Keunggulan sapi Bali: memiliki efisiensi reproduksi yang tinggi, daging dan karkasnya berkualitas baik dan persentase karkasnya tinggi (karkasnya bahkan bisa mencapai 57%), Selanjutnya yang juga sangat menarik adalah daya adaptasinya terhadap lingkungan yang sangat baik, dan yang tidak kalah penting adalah kemampuannnya menggunakan sumber pakan yang terbatas.
Banteng ternak awalnya dibawa ke Australia pada 1849, ke sebuah pemukiman dan posko militer Britania di Semenanjung Cobourg yang bernama [[Port Essington]]. Sebanyak 20 ekor banteng dibawa ke [[Arnhem Land]] bagian barat, kini bagian dari Teritori Australia Utara, sebagai sumber makanan. Setahun kemudian, pemukiman tersebut ditinggalkan akibat kondisi buruk, termasuk kegagalan panen dan menyebarnya penyakit tropis. Banteng-banteng tersebut kemudian dilepas dari padang gembalanya sehingga menjadi menjadi populasi feral (hewan ternak yang menjadi liar kembali). Populasi feral ini terus berkembang biak dan pada tahun 1960-an para peneliti menemukan bahwa populasi banteng di hutan tropis Semenanjung Cobourg telah mencapai sekitar 1.500 ekor. Pada tahun 2007, populasi ini diperkirakan mencapai 8.000–10.000, terutama di [[Taman Nasional Garig Gunak Barlu]], Semenanjung Cobourg, Australia Utara. Dalam sebuah survei yang hasilnya diterbitkan pada 1990, kepadatan populasi di hutan tempat banteng-banteng ini hidup mencapai 70/km<sup>2</sup>, mendekati kepadatan awal saat kedatangan awalnya di Port Essington.


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

Revisi per 25 Mei 2020 20.20

Banteng
Bos javanicus

Banteng jantan di Taman Nasional Alas Purwo
Status konservasi
Genting
IUCN2888
Taksonomi
KerajaanAnimalia
FilumChordata
KelasMammalia
OrdoArtiodactyla
FamiliBovidae
GenusBos
SpesiesBos javanicus
Eduard Joseph d'Alton, 1823
Distribusi

Sapi bali pejantan.
Tengkorang Banteng di Taman Nasional Baluran

Banteng (dari bahasa Jawa: banṭhèng; nama spesies: Bos javanicus) atau tembadau adalah spesies hewan yang sekerabat dengan sapi dan ditemukan di berbagai bagian Asia Tenggara. Banteng dibawa ke Australia Utara pada masa kolonisasi Britania Raya pada tahun 1849 dan sampai sekarang masih lestari.

Terdapat tiga anak jenis banteng liar: B. javanicus javanicus (di Jawa, Madura, dan Bali), B. javanicus lowi (di Kalimantan, jantannya berwarna coklat bukan hitam), dan B. javanicus birmanicus (di Indocina). Anak jenis yang terakhir digolongkan sebagai Terancam oleh IUCN.

Banteng dapat mencapai tinggi sekitar 1,6m di bagian pundaknya dan panjang badan 2,3 m. Berat banteng jantan biasanya sekitar 680 – 810 kg — jantan yang sangat besar bisa mencapai berat satu ton — sedangkan betinanya lebih ringan. Banteng memiliki bagian putih pada kaki bagian bawah dan pantat, punuk putih, serta warna putih di sekitar mata dan moncongnya, walaupun terdapat sedikit dimorfisme seksual pada ciri-ciri tersebut. Banteng jantan memiliki kulit berwarna biru-hitam atau atau coklat gelap, tanduk panjang melengkung ke atas, dan punuk di bagian pundak. Sementara, betinanya memiliki kulit coklat kemerahan, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk.

Banteng memakan rumput, bambu, buah-buahan, dedaunan, dan ranting muda. Banteng umumnya aktif baik malam maupun siang hari, tetapi pada daerah permukiman manusia, mereka beradaptasi sebagai hewan nokturnal. Banteng memiliki kecenderungan untuk berkelompok pada kawanan berjumlah dua sampai tiga puluh ekor. Di Jawa, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran menjadi pertahanan terakhir hewan asli Asia Tenggara ini.

Tata nama dan asal-usul

Deskripsi spesies banteng pertama kali dilakukan oleh ahli alam Jerman Joseph Wilhelm Eduard d'Alton pada tahun 1823.[1][2] Nama banteng yang berasal dari Bahasa Jawa banṭhèng digunakan sebagai nama umum spesies ini, termasuk di bahasa-bahasa Barat.[3][4] Deskripsi d'Alton berasal dari dua tengkorak yang berasal dari Pulau Jawa dari seekor pejantan dan seekor betina, tetapi hanya pejantannya yang disebut sebagai banteng oleh d'Alton, sedangkan betinanya ia sebut sebagai sapi liar dari Jawa.[1] Tengkorak-tengkorak ini dibawa ke Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden, Belanda. Berbagai nama ilmiah digunakan untuk spesies banteng, termasuk Bos leucoprymnus, Bos banteng, Bos bantinger, dan Bos sondaicus, saat Dirk Albert Hooijer yang bekerja di museum tersebut menyebut bahwa nama yang digunakan d'Alton pada 1823-lah yang merupakan nama pertama yang sah. d'Alton menggunakan nama Bibos javanicus untuk pejantan yang ia deskripsikan, atau bisa dianggap sebagai Bos (Bibos) javanicus jika Bibos adalah subgenus dari Bos.[2][5]

Nama Bos leucoprymnus diajukan pada 1830, tetapi awalnya ditolak karena dianggap mendeksripsikan persilangan antara banteng dengan seekor sapi ternak; tetapi Hooijer menulis bahwa belum tentu deskripsi tersebut merujuk kepada spesies silang, dan kalaupun benar, nama tersebut tetap sah (sebagai sinonim). Namun, nama ini muncul tujuh tahun setelah deskripsi d'Alton sehingga tidak mendapat prioritas. Demikian juga dengan nama Bos banteng yang tercatat pada 1836 dan Bos bantinger pada 1845. Dalam revisi deskripsi d'Alton yang dikeluarkan pada 1845, para penulisnya berpendapat bahwa kedua spesimen tersebut adalah sapi liar dan menyebutnya Bos sundaicus. Salah satu kesalahan dalam tulisan ini adalah spesimen betina dianggap sebagai pejantan muda, dan kesalahan ini banyak diikuti tulisan-tulisan selanjutnya.[2]

Subspesies

Dari perbedaan fenotipe, terdapat tiga subspesies yang umum diakui, walaupun tidak semua penulis menerima penggolongan ini, dengan alasan seringnya terjadi persilangan antara populasi banteng yang tinggal sedikit dengan kerabat-kerabat sapi lainnya. Ketiga subspesies ini adalah:[6][7][8]

  • Banteng Jawa (B. j. javanicus) d'Alton, 1823: Terdapat di Jawa dan mungkin Bali.
  • Banteng Indocina atau Banteng Birma (B. j. birmanicus) Lydekker, 1898: Terdapat di daratan Asia Tenggara
  • Banteng Kalimantan atau Banteng Borneo (B. j. lowi) Lydekker, 1912: Hanya ada di Kalimantan.

Penelitian filogeni yang dilakukan pada 2015 menghasilkan genom mitokondria lengkap dari banteng Kalimantan. Hasil ini menunjukkan bahwa banteng Kalimantan berkerabat lebih dekat dengan seladang atau gaur (Bos gaurus) dibandingkan subspesies banteng yang lain, dan diperkirakan mengalami divergensi sekitar 5,03 juta tahun yang lalu. Selain itu, Banteng Kalimantan memiliki jarak genetik yang lebih jauh dengan sapi Eropa (Bos taurus taurus) maupun sapi Zebu (Bos taurus indicus). Hal ini mengindikasikan banteng Kalimantan liar tidak pernah bersilangan dengan kedua jenis sapi tersebut dan bisa jadi merupakan keturunan tulen. Peneliti tersebut juga mengusulkan kemungkinan banteng Kalimantan dianggap sebagai spesies sendiri. Hubungan filogenetis antara subspesies-subspesies banteng dengan kerabat-kerabatnya ditunjukkan oleh kladogram berikut ini:[9][10]

Bovinae

Boselaphini (antelop bertanduk empat dan nilgai)

Bovini

Banteng Kalimantan (Bos javanicus lowi)

Seladang (Bos gaurus)

Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus)

Banteng Birma (Bos javanicus birmanicus)

Yak (Bos grunniens)

Bison Amerika (Bison bison)

Bison Eropa (Bison bonasus)

Sapi Eropa (Bos taurus taurus)

Sapi Zebu (Bos taurus indicus)

Saola (Pseudoryx nghetinhensis)

Anoa dan kerbau (Bubalus)

Ciri-ciri

Banteng memiliki panjang antara 1,9 hingga 2,25 m dari tubuh hingga kepala. Banteng liar biasanya lebih besar dan berat dibanding banteng yang telah diternakkan (seperti sapi Bali yang merupakan hasil domestikasi banteng), tetapi selain itu tubuhnya tampak mirip. Rata-rata tinggi pundak banteng Jawa atau banteng Indocina liar adalah 1,4 m untuk betina dan 1,6 m untuk pejantan, sedangkan banteng Kalimantan lebih kecil dan rendah. Berat banteng liar berkisar antara 590–670 kg untuk betina dan 600–800 kg untuk pejantan. Banteng ternak betina dapat mencapai tinggi pundak 1,2 m dengan berat dari 211 hingga 242 kg, sedangkan pejantannya memiliki tinggi 1,3–1,6 m dengan berat 335 hingga 363 kg.[8][11][12]

Banteng memiliki dimorfisme seksual (perbedaan sistematis antara pejantan dan betina) yang besar. Pejantan dewasa biasanya berkulit hitam atau cokelat tua, berukuran lebih besar, dan bertubuh lebih kekar, sedangkan betina biasanya berkulit cokelat muda atau kemerahan. Banteng betina dan banteng muda memiliki sebuah garis berwarna gelap di sepanjang punggungnya. Sebagian banteng jantan dapat berkulit cokelat, kadang dengan titik-titik putih seperti tutul rusa.[8][11] Pejantan muda memiliki kulit cokelat kemerahan, dan warna dewasanya muncul perlahan-lahan dari depan hingga belakang seiring pertumbuhan. Pejantan yang tua dapat berkulit kelabu. Bagian bawah banteng berwarna putih atau cokelat muda. Wajahnya cenderung berwarna lebih terang dibanding bagian tubuh lainnya, dengan warna putih atau kelabu di dahi dan sekitar mata, tetapi menggelap saat mendekati moncongnya yang berwarna hitam. Terdapat sebuah bercak besar berwarna putih di pantatnya, yang kemungkinan berguna agar banteng dapat tetap mengikuti kawanannya dalam keadaan gelap. Kakinya juga berwarna putih di bawah lutut.[8][13] Banteng memiliki punggung yang tinggi akibat panjangnya vertebra torakalnya (ruas tulang punggung) sehingga seolah-olah memiliki punuk.[11]

Tanduk banteng biasanya berukuran 60 hingga 75 sentimeter, dan pangkal kedua tanduk dipisahkan oleh kulit yang tebal. Banteng jantan memiliki tanduk yang panjang, berujung tajam, halus kecuali dekat pangkalnya, dan memiliki potong lintang berbentuk lingkaran. Banteng betina memiliki tanduk yang lebih pendek yang ujungnya melengkung kedalam, sementara ujung tanduk pejantan melengkung ke atas dan sedikit ke depan. Ekor banteng memiliki panjang antara 65 hingga 70 cm dengan ujung berwarna hitam.[8]

Lingkungan dan perilaku

Banteng aktif di waktu siang ataupun malam, walaupun aktivitas malam umumnya terjadi di wilayah dengan banyak interaksi manusia. Banteng umumnya ditemukan dalam kawanan beranggotakan 2 hingga 40 ekor dengan hanya satu pejantan. Pejantan yang lebih tua membentuk kelompok kecil beranggotakan dua atau tiga ekor banteng. Banteng memiliki sifat tertutup dan sangat waspada sehingga sulit didekati manusia. Banteng mencari tempat istirahat dan berlindung dari hujan maupun gangguan manusia di hutan-hutan yang lebat.[8][11][13] Banteng, terutama anak-anak dan betinanya, mampu berjalan cepat dan melewati rintangan dengan mudah di hutan yang lebat. [14] Di Indonesia, banteng liar memiliki reputasi buas dan berbahaya, tetapi para ilmuwan menganggap reputasi ini berlebihan dan sering berjalan tanpa perlindungan di habitat banteng tanpa masalah berarti. Banteng ternak juga kadang memiliki sifat agresif, tetapi dapat menjadi jinak jika banteng dipelihara dengan banyak kontak manusia. Anak banteng dapat menjadi agresif saat tertekan dan menyerang pagar atau tembok.[11]

Di antara hewan pemangsa utamanya adalah ajak, kerabat anjing liar dari Asia.[8][15] Banteng memiliki indera penciuman yang kuat, yang berguna untuk mendeteksi predator dan sebagai sarana komunikasi dalam suatu kawanan. Banteng juga memiliki indera pendengaran yang kuat. Saat musim kawin banteng banyak mengeluarkan suara seperti mengaum dan melenguh, sedangkan anak-anak banteng di bawah tujuh bulan dapat mengeluarkan suara "eng" yang lembut. Teriakan nada tinggi digunakan sebagai tanda bahaya.[14]

Makanan

Banteng merupakan herbivora] dan memakan tumbuhan seperti rumput, teki, tunas, daun, bunga, dan buah. Hewan ini mencari makan di malam hari di kawasan terbuka, diselingi istirahat selama dua atau tiga jam yang juga digunakan untuk memamah biak.[11][13] Saat musim hujan, banteng dapat pindah ke hutan yang lebih tinggi.[8] Penelitian di Jawa Barat, Indonesia menunjukkan bahwa makanan utama banteng adalah rumput Axonopus compressus, Cynodon dactylon, Ischaemum muticum serta P. conjugatum, serta perdu Psychotria malayana.[16] Sementara itu, penelitian di cagar alam Hutan Deramakot di Sabah, Malaysia menunjukkan adanya biji putri malu (Mimosa pudica) dan rumput kerbau (Paspalum conjugatum), bambu (kemungkinan Dinochloa), serta getah pohon dalam sampel feses banteng.[17] Banteng sering minum air jika keadaan memungkinkan, terutama dari air yang tenang, tetapi juga dapat bertahan beberapa hari tanpa air di musim kemarau. Banteng suka menjilat tanah yang mengandung garam untuk memenuhi kebutuhan garamnya, jika tidak ada tanah yang sesuai banteng dapat minum air laut. Banteng mampu meminum air dengan kadar garam yang tinggi, dan di Australia Utara banteng diketahui memakan rumput laut.[11]

Reproduksi dan daur hidup

Fisiologi reproduksi banteng tidak diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan mirip dengan sapi Eropa. Banteng ternak dapat mencapai kematangan seksual pada umur 13 bulan, dan siap kawin 3 bulan berikutnya. Banteng dapat bunting dengan mudah; tingkat pembuahan 80% hingga 90% telah tercatat di Australia Utara.[11] Di Myanmar, perkawinan banteng terjadi sepanjang tahun di alam liar maupun di penangkaran, tetapi di Semenanjung Cobourg, Australia Utara perkawinan hanya umum terjadi pada bulan Oktober dan November, sedangkan di Thailand puncak musim kawin terjadi pada bulan Mei dan Juni.[7][11][18] Banteng mengalami kehamilan sepanjang hingga 285 hari (antara sembilan dan sepuluh bulan, dan seminggu lebih lama dibanding sapi Eropa), lalu melahirkan seekor anak. Banteng yang baru lahir memiliki berat 16–17 kg jika jantan atau 14–15 kg jika betina. Anak banteng disusui selama hingga 16 bulan, dan sebagian induk tetap menyusui anaknya hingga anak berikutnya lahir.[8][13][11] Penelitian terhadap banteng liar di Semenanjung Cobourg menunjukkan bahwa banteng liar jantan mencapai kematangan seksual saat berumur tiga atau empat tahun dan mencapai pertumbuhan maksimal dalam umur lima hingga enam tahun. Sementara itu, banteng liar betina tumbuh hingga umur tiga atau empat tahun. Anak banteng mengalami tingkat kematian tinggi pada enam bulan pertamanya, setelah itu tingkat kematian ini menurun drastis seiring tumbuhnya banteng.[18] Banteng dapat hidup hingga 26 tahun.[8][13]

Penyakit dan parasit

Banteng menjadi inang beberapa endoparasit seperti cacing hati (yang menyebabkan fasiolosis), cacing usus (seperti Strongyloides papillosus) dan Paramphistomum (menyebabkan paramfistomiasis).[11][14] Banteng juga dapat terkena demam kataral malignan yang diakibatkan gamaherpesvirus domba 2 (OvHV-2).[11][19] "Bali ziekte" (penyakit Bali) adalah penyakit kulit yang hanya menimpa banteng, dengan gejala yang dimulai dari eksem, kemudian memburuk menjadi nekrosis dan robeknya membran mukosa di bagian yang terkena. Terdapat penyakit Jembrana yang pertama muncul di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada tahun 1964 dan kemudian terus muncul tetapi tidak seganas kemunculan pertama. Penyakit lainnya adalah radang paha dan diare ganas sapi, yang telah menyebabkan sejumlah kematian.[11]

Di antara ektoparasit yang tercatat pada banteng adalah Amblyomma testudinarium, Haemaphysalis cornigera dan genus Rhipicephalus. Seperti halnya kerbau, banteng juga memiliki imunitas tinggi terhadap caplak/sengkenit serta penyakit yang dibawanya.[11][14] Penelitian di Australia Utara menunjukkan adalanya simbiosis mutualisme antara banteng dan burung gagak Torres yang memakan ektoparasit (kemungkinan besar caplak) dari bagian tubuh banteng, terutama daerah di antara kedua kaki belakangnya. Hal ini merupakan penemuan berarti karena menunjukkan simbiosis pertama yang diketahui antara burung asli suatu tempat dengan mamalia liar yang bukan hewan asli tempat itu, yang terjadi hanya 150 tahun setelah dibawanya banteng oleh manusia ke Australia Utara.[20]

Habitat dan distribusi

Banteng dapat ditemukan di berbagai habitat, termasuk hutan bertumbuhan peluruh, setengah peluruh, bagian bawah hutan montane, lahan pertanian yang ditinggalkan, serta daerah rerumputan. Hewan ini ditemukan dalam ketinggian hingga 2.100 m di atas permukaan laut.[7][13] Populasi banteng liar terbesar ditemukan di Kamboja, Jawa, serta kemungkinan Kalimantan (terutama Sabah) dan Thailand. Hewan liar ini juga ada di pulau Kalimantan bagian Indonesia serta di Myanmar. Keberadaan banteng liar di Bali, Sarawak, Tiongkok, Laos, dan Vietnam tidak diketahui dengan pasti, sedangkan di Bangladesh, Brunei, serta India dikhawatirkan banteng liar telah punah atau memang tidak pernah ada. Banteng ternak terdapat di Bali, Sulawesi, Sumbawa, Sumba, dan pulau-pulau Indonesia bagian timur lainnya, Australia, Malaysia, dan Papua Nugini. Populasi feral (hewan ternak yang telah lepas dan menjadi liar kembali) ditemukan di Kalimantan Timur, Australia Utara, serta kemungkinan pulau Enggano dan Kepulauan Sangihe di Indonesia.[7][12]

Pada masa lalu, banteng banyak ditemukan di Yunan (di Tiongkok) dan daratan Asia Tenggara, kemudian menyebar ke Kalimantan dan Jawa melalui Semenanjung Malaya. Kemungkinan penyebaran banteng ini juga mencapai India timur laut serta dan Bali. Sebagian ilmuwan menganggap Bali tidak termasuk wilayah jangkauan alami banteng karena tidak adanya bukti fosil, dan menganggap penyebaran banteng ke pulau tersebut terjadi akibat tindakan manusia.[7] Peninggalan gambar-gambar di gua-gua Kalimantan Timur yang berasal dari sekitar 10.000 SM menunjukkan adanya hewan mirip sapi yang tanduknya mirip tanduk banteng, sehingga ada spekulasi bahwa banteng telah mencapai Garis Wallace pada masa tersebut.[21] Naturalis Belanda Andries Hoogerwerf menulis bahwa banteng kemungkinan telah ada sejak zaman prasejarah di Jawa, dengan berdasarkan peninggalan yang diperkarakan berasal dari tahun 1000 SM di gua Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Tengah.[14]

Interaksi dengan manusia

Interaksi banteng dengan manusia dapat ditemukan hingga ribuan tahun yang lalu, berdasarkan peninggalan fisik hewan tersebut serta karya seni di gua-gua.[21][14] Menurut Hooijer, riwayat dari naturalis Wales Thomas Pennant pada tahun 1800 dengan judul Outlines of the Globe merupakan catatan tertulis pertama tentang hewan ini, yang dijelaskan Pennant sebagai "sapi liar, dengan warna cokelat kemerahan, dengan tanduk panjang, dan bertubuh besar" di Pulau Jawa.[22] Sementara itu, Hoogerwerf menyebut bahwa banteng telah ada dalam karya sastra klasik Indonesia seperti Nagarakretagama (tahun 1365), yang dipersembahkan untuk raja Majapahit Hayam Wuruk. Karya ini menyebutkan kegiatan berburu sang raja yang melibatkan berbagai hewan buruan termasuk banteng. Catatan dari abad ke-18 menunjukkan bahwa banteng telah digunakan sebagai hewan pengangkut termasuk untuk membawa kopi.[14]

Domestikasi dan peternakan

Banteng telah didomestikasi kemungkinan sejak 3500 SM di Jawa dan daratan Asia Tenggara. Saat ini, sebagian besar populasi banteng yang terdomestikasi dikenal sebagai sapi Bali dan diternakkan di Indonesia.[12][23] Pada tahun 2016, hampir 25% dari populasi "sapi" Indonesia adalah sapi Bali yang sebenarnya adalah banteng, termasuk 80% dari sapi di kawasan timur yang kebanyakan dimiliki peternak kecil.[12] Banteng ternak bersifat jinak dan mampu bertahan di cuaca panas dan lembap. Selain itu, hewan ini mampu tumbuh dan mempertahankan bobot tubuh normal sekalipun diberi pakan kualitas rendah. Peternakan hewan ini terutama dilakukan untuk dagingnya, yang banyak diminati dan disebut empuk dan lembut.[11][24] Kadang banteng ini juga digunakan untuk hewan angkut di bidang pertanian, walaupun dilaporkan tidak sekuat sapi Zebu dalam menarik gerobak di jalan.[25] Namun banteng memiliki produksi susu yang rendah, hanya selama enam hingga sepuluh bulan pertama dan hanya 0,9 hingga 2,8 kg per hari. Hewan ini juga rentan penyakit seperti demam kataral malignan. Pada 1964, terjadi wabah di Bali yang disebut "penyakit Jembrana" yang membunuh 10% hingga 60% dari banteng ternak di berbagai tempat di bali, dan diikuti gelombang-gelombang susulan yang tidak seganas gelombang pertama.[11]

Persilangan

Banteng ternak juga disilangkan dengan hewan kerabat-kerabatnya. Sapi Madura yang diternakkan di Jawa dan Madura, adalah hasil persilangan banteng dengan sapi Zebu, dan bersifat fertil atau mampu menghasilkan keturunan. Sapi madura berukuran relatif kecil, dengan berat pejantan 250–300 kg dan betina sekitar 150 kg. Hewan ini digunakan dalam acara-acara tradisional, termasuk balapan sapi dan lomba sapi hias. Selain sapi Madura, terdapat hasil persilangan lainnya yaitu sapi Donggala, sapi Galekan, dan sapi Jabres (Jawa Brebes). Hasil persilangan sapi Zebu dengan banteng selalu bersifat fertil, sedangkan pejantan yang merupakan hasil persilangan banteng dengan sapi Eropa bersifat steril atau mandul. Pada Juni 2011, pemerintah Jawa Timur melakukan program persilangan banteng ternak dengan banteng liar yang diambil dari Taman Nasional Baluran di Situbondo, yang menghasilkan lima sapi bunting. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas banteng ternak.

Kemunculan di Australia

Banteng ternak awalnya dibawa ke Australia pada 1849, ke sebuah pemukiman dan posko militer Britania di Semenanjung Cobourg yang bernama Port Essington. Sebanyak 20 ekor banteng dibawa ke Arnhem Land bagian barat, kini bagian dari Teritori Australia Utara, sebagai sumber makanan. Setahun kemudian, pemukiman tersebut ditinggalkan akibat kondisi buruk, termasuk kegagalan panen dan menyebarnya penyakit tropis. Banteng-banteng tersebut kemudian dilepas dari padang gembalanya sehingga menjadi menjadi populasi feral (hewan ternak yang menjadi liar kembali). Populasi feral ini terus berkembang biak dan pada tahun 1960-an para peneliti menemukan bahwa populasi banteng di hutan tropis Semenanjung Cobourg telah mencapai sekitar 1.500 ekor. Pada tahun 2007, populasi ini diperkirakan mencapai 8.000–10.000, terutama di Taman Nasional Garig Gunak Barlu, Semenanjung Cobourg, Australia Utara. Dalam sebuah survei yang hasilnya diterbitkan pada 1990, kepadatan populasi di hutan tempat banteng-banteng ini hidup mencapai 70/km2, mendekati kepadatan awal saat kedatangan awalnya di Port Essington.

Pranala luar

  1. ^ a b d'Alton, E. J. (1823). Die Skelete der Wiederkauer, abgebildet und verglichen [The Skeletons of the Ruminants, shown and compared] (dalam bahasa German). Bonn: E. Weber. hlm. plate VIII, figures c and d. 
  2. ^ a b c Hooijer, D. A. "The valid name of the banteng: Bibos javanicus (d'Alton)". Zoologische Mededelingen uitgegeven door het Rijksmuseum van Natuurlijke Historie et Leiden (Zoological Notices published by the National Museum of Natural History in Leiden). 34 (14): 223–226. 
  3. ^ "Banteng". Merriam-Webster Dictionary. Diakses tanggal 8 May 2020. 
  4. ^ Wilkinson, R. J. (1908). "Banteng". An Abridged Malay-English Dictionary (Romanised). Kuala Lumpur: F. M. S. Government Press. hlm. 16. 
  5. ^ Pennant, T. (1800). Outlines of the Globe: The View of the Malyan Isles, New Holland, and the Spicy Islands. IV. London: Henry Hughes. hlm. 35. 
  6. ^ Grubb, P. (2005). "Bos javanicus". Dalam Wilson, D. E.; Reeder, D. M. Mammal Species of the World (edisi ke-3). Percetakan Unoversitas Johns Hopkins. hlm. 691. ISBN 978-0-8018-8221-0. OCLC 62265494. 
  7. ^ a b c d e Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama iucn
  8. ^ a b c d e f g h i j Castelló, J. R. (2016). "Genus Bos: Banteng". Bovids of the World: Antelopes, Gazelles, Cattle, Goats, Sheep, and Relatives. Princeton: Princeton University Press. hlm. 630–635. ISBN 978-0-691-16717-6. 
  9. ^ Matsubayashi, H.; Hanzawa, K.; Kono, T.; Ishige, T.; Gakuhari, T.; Lagan, P.; Sunjoto, I.; Sukor, J. R. A.; Sinun, W.; Ahmad, A. H. (2014). "First molecular data on Bornean banteng Bos javanicus lowi (Cetartiodactyla, Bovidae) from Sabah, Malaysian Borneo". Mammalia. 78 (4). doi:10.1515/mammalia-2013-0052. 
  10. ^ Ishige, T.; Gakuhari, T.; Hanzawa, K.; Kono, T.; Sunjoto, I.; Sukor, J. R. A.; Ahmad, A. H.; Matsubayashi, H. (2015). "Complete mitochondrial genomes of the tooth of a poached Bornean banteng (Bos javanicus lowi Cetartiodactyla, Bovidae)". Mitochondrial DNA Part A. 27 (4): 2453–2454. doi:10.3109/19401736.2015.1033694. 
  11. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Little-Known Asian mammals with a promising economic future: Report of an ad hoc panel of the Advisory Committee on Technology Innovation, Board on Science and Technology for International Development, Office of International Affairs, National Research Council (Laporan). Managing Tropical Animal Resources. National Research Council (U.S.). Advisory Committee on Technology Innovation. 1983. hlm. 7–20, 41–45. 
  12. ^ a b c d Hall, S.; Alderson, L. "Cattle". Mason's World Encyclopedia of Livestock Breeds and Breeding (2 Volume Pack). Oxfordshire: CAB International. hlm. 83–342. 
  13. ^ a b c d e f Phillipps, Q. (2016). "Banteng and water buffalo". Phillipps' Field Guide to the Mammals of Borneo: Sabah, Sarawak, Brunei, and Kalimantan. Princeton: Princeton University Press. hlm. 304–305. ISBN 978-0-691-16941-5. 
  14. ^ a b c d e f g Hoogerwerf, A. (1970). Udjung Kulon: The Land of the Last Javan Rhinoceros. Leiden: E. J. Brill. hlm. 159; 173–174; 219; 220–227. 
  15. ^ Rahman, D. A.; Herliansyah, R.; Rianti, P.; Rahmat, U. M.; Firdaus, A. Y.; Syamsudin, M. (2019). "Ecology and conservation of the endangered banteng (Bos javanicus) in Indonesia tropical lowland forest". Hayati Journal of Biosciences. 25 (2): 68–80. doi:10.4308/hjb.26.2.68. 
  16. ^ Sumardja, E. A.; Kartawinata, K. (1977). "Vegetation analysis of the habitat of banteng (Bos javanicus) at the Pananjung-Pangandaran nature reserve, West Java". Biotrop Bulletin (13). 
  17. ^ Matsubayashi, H.; Lagan, P.; Sukor, J. R. A. (2007). "Herbal seed dispersal by the banteng (Bos javanicus) in a Bornean tropical rain forest". Malayan Nature Journal. 59 (4): 297–303. 
  18. ^ a b Choquent, D. (1993). "Growth, body condition and demography of wild banteng (Bos javanicus) on Cobourg Peninsula, northern Australia". Journal of Zoology. 231 (4): 533–542. doi:10.1111/j.1469-7998.1993.tb01936.x. 
  19. ^ Autorino, G. L.; Eleni, C.; Frontoso, R.; Cocumelli, C.; Rosone, F.; Cerbo, P. di; Altigeri, A.; Marianelli, M.; Lorenzetti, R.; Manna, G.; Friedrich, K.; Scicluna, M. T. (2011). Malignant catarrhal fever of banteng (Bos javanicus) in an Italian zoo. XIII National Società Italiana di Diagnostica di Laboratorio Veterinaria (SIDiLV) Congress (12-14 October 2011). Trani: SIDiLV. hlm. 60–62. 
  20. ^ Bradshaw, C. J. A.; White, W. W. (2006). "Rapid development of cleaning behaviour by Torresian crows Corvus orru on non-native banteng Bos javanicus in northern Australia". Journal of Avian Biology. 37 (4): 409–411. doi:10.1111/j.2006.0908-8857.03595.x. 
  21. ^ a b Chazine, J.-M. (2005). "Rock art, burials, and habitations: Caves in East Kalimantan" (PDF). Asian Perspectives. 44 (1): 219–230. 
  22. ^ Pennant, T. (1800). Outlines of the Globe: The View of the Malyan Isles, New Holland, and the Spicy Islands. IV. London: Henry Hughes. hlm. 35. 
  23. ^ Mohamad, K.; Olsson, M.; van Tol, H. T. A.; Mikko, S.; Vlamings, B. H.; Andersson, G.; Rodríguez-Martínez, H.; Purwantara, B.; Paling, R. W.; Colenbrander, B.; Lenstra, J. A.; DeSalle, R. (2009). "On the origin of Indonesian cattle". PLOS ONE. 4 (5): e5490. doi:10.1371/journal.pone.0005490. 
  24. ^ Herring, A. D. (2014). Beef Cattle Production Systems. Boston: CAB International. hlm. 22–23. ISBN 978-1-78064-507-0. 
  25. ^ Hall, D. (2006). "Asian livestock benefiting from innovation". Dalam McLeod, A. Livestock Report 2006 (Laporan). Animal Production and Health Division, FAO. hlm. 77–83.