Pengantar tentang virus: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
RianHS (bicara | kontrib)
RianHS (bicara | kontrib)
Baris 72: Baris 72:
{{for|contoh-contoh yang lebih luas|Daftar penyakit menular}}
{{for|contoh-contoh yang lebih luas|Daftar penyakit menular}}
Penyakit-penyakit umum pada manusia yang diakibatkan oleh virus di antaranya [[pilek]], [[influenza]], [[cacar air]] dan [[herpes bibir]]. Penyakit-penyakit serius seperti [[Ebola]] dan [[AIDS]] pun disebabkan oleh infeksi virus.{{sfn|Shors|2017|p=271}} Virus-virus yang tidak menimbulkan penyakit atau hanya menyebabkan penyakit ringan dianggap sebagai virus "jinak". Namun virus yang lebih berbahaya disebut bersifat virulen.<ref>{{cite journal|vauthors =Berngruber TW, Froissart R, Choisy M, Gandon S|year= 2013|title = Evolution of Virulence in Emerging Epidemics|journal = PLOS Pathogens|volume= 9(3): e1003209|issue= 3|pages= e1003209|doi= 10.1371/journal.ppat.1003209|pmid= 23516359|pmc= 3597519}}</ref> Beberapa virus malah bisa menimbulkan infeksi sepanjang hayat atau [[kronis]] apabila virus tersebut terus saja menggandakan diri di dalam tubuh meskipun ada mekanisme pertahanan diri inang.{{sfn|Shors|2017|p=464}} Hal ini umum terjadi pada infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C. Orang yang terjangkit suatu virus secara kronis dinamakan pembawa virus. Mereka berperan sebagai reservoir virus tersebut.<ref name="pmid31364248">{{cite journal |vauthors=Tanaka J, Akita T, Ko K, Miura Y, Satake M |title=Countermeasures against viral hepatitis B and C in Japan: An epidemiological point of view |journal=Hepatology Research : The Official Journal of the Japan Society of Hepatology |volume=49 |issue=9 |pages=990–1002 |date=September 2019 |pmid=31364248 |pmc=6852166 |doi=10.1111/hepr.13417 |url=}}</ref><ref name="pmid32173241">{{cite journal |vauthors=Lai CC, Liu YH, Wang CY, Wang YH, Hsueh SC, Yen MY, Ko WC, Hsueh PR |title=Asymptomatic carrier state, acute respiratory disease, and pneumonia due to severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2): Facts and myths |journal=Journal of Microbiology, Immunology, and Infection = Wei Mian Yu Gan Ran Za Zhi |volume= |issue= |pages= |date=March 2020 |pmid=32173241 |doi=10.1016/j.jmii.2020.02.012 |url=}}</ref>
Penyakit-penyakit umum pada manusia yang diakibatkan oleh virus di antaranya [[pilek]], [[influenza]], [[cacar air]] dan [[herpes bibir]]. Penyakit-penyakit serius seperti [[Ebola]] dan [[AIDS]] pun disebabkan oleh infeksi virus.{{sfn|Shors|2017|p=271}} Virus-virus yang tidak menimbulkan penyakit atau hanya menyebabkan penyakit ringan dianggap sebagai virus "jinak". Namun virus yang lebih berbahaya disebut bersifat virulen.<ref>{{cite journal|vauthors =Berngruber TW, Froissart R, Choisy M, Gandon S|year= 2013|title = Evolution of Virulence in Emerging Epidemics|journal = PLOS Pathogens|volume= 9(3): e1003209|issue= 3|pages= e1003209|doi= 10.1371/journal.ppat.1003209|pmid= 23516359|pmc= 3597519}}</ref> Beberapa virus malah bisa menimbulkan infeksi sepanjang hayat atau [[kronis]] apabila virus tersebut terus saja menggandakan diri di dalam tubuh meskipun ada mekanisme pertahanan diri inang.{{sfn|Shors|2017|p=464}} Hal ini umum terjadi pada infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C. Orang yang terjangkit suatu virus secara kronis dinamakan pembawa virus. Mereka berperan sebagai reservoir virus tersebut.<ref name="pmid31364248">{{cite journal |vauthors=Tanaka J, Akita T, Ko K, Miura Y, Satake M |title=Countermeasures against viral hepatitis B and C in Japan: An epidemiological point of view |journal=Hepatology Research : The Official Journal of the Japan Society of Hepatology |volume=49 |issue=9 |pages=990–1002 |date=September 2019 |pmid=31364248 |pmc=6852166 |doi=10.1111/hepr.13417 |url=}}</ref><ref name="pmid32173241">{{cite journal |vauthors=Lai CC, Liu YH, Wang CY, Wang YH, Hsueh SC, Yen MY, Ko WC, Hsueh PR |title=Asymptomatic carrier state, acute respiratory disease, and pneumonia due to severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2): Facts and myths |journal=Journal of Microbiology, Immunology, and Infection = Wei Mian Yu Gan Ran Za Zhi |volume= |issue= |pages= |date=March 2020 |pmid=32173241 |doi=10.1016/j.jmii.2020.02.012 |url=}}</ref>

==== Endemis ====
Jika proporsi pembawa penyakit dalam populasi tertentu mencapai ambang tertentu, suatu penyakit dikatakan endemik.{{sfn|Collier|1998|p=766}} Sebelum munculnya vaksinasi, infeksi virus merupakan hal biasa dan wabah terjadi secara reguler. Di negara dengan iklim sedang, penyakit akibat virus biasanya terjadi secara musiman. [[Poliomielitis]] akibat [[virus polio]] sering terjadi pada bulan-bulan musim panas.<ref name="pmid29961515">{{cite journal |vauthors=Strand LK |title=The Terrible Summer of 1952 … When Polio Struck Our Family |journal=Seminars in Pediatric Neurology |volume=26 |issue= |pages=39–44 |date=July 2018 |pmid=29961515 |doi=10.1016/j.spen.2017.04.001 |url=}}</ref> Sebaliknya, infeksi virus influenza dan ''Rotavirus'' biasanya terjadi selama musim dingin.<ref name="pmid22958213">{{cite journal |vauthors=Moorthy M, Castronovo D, Abraham A, Bhattacharyya S, Gradus S, Gorski J, Naumov YN, Fefferman NH, Naumova EN |title=Deviations in influenza seasonality: odd coincidence or obscure consequence? |journal=Clinical Microbiology and Infection : The Official Publication of the European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases |volume=18 |issue=10 |pages=955–62 |date=October 2012 |pmid=22958213 |pmc=3442949 |doi=10.1111/j.1469-0691.2012.03959.x |url=}}</ref><ref name="pmid25777068">{{cite journal |vauthors=Barril PA, Fumian TM, Prez VE, Gil PI, Martínez LC, Giordano MO, Masachessi G, Isa MB, Ferreyra LJ, Ré VE, Miagostovich M, Pavan JV, Nates SV |title=Rotavirus seasonality in urban sewage from Argentina: effect of meteorological variables on the viral load and the genetic diversity |journal=Environmental Research |volume=138 |issue= |pages=409–15 |date=April 2015 |pmid=25777068 |doi=10.1016/j.envres.2015.03.004 |bibcode=2015ER....138..409B |url=}}</ref> Virus lain, seperti [[virus campak]], menyebabkan wabah secara rutin setiap tiga tahun.<ref name="pmid25444814">{{cite journal |vauthors=Durrheim DN, Crowcroft NS, Strebel PM |title=Measles – The epidemiology of elimination |journal=Vaccine |volume=32 |issue=51 |pages=6880–83 |date=December 2014 |pmid=25444814 |doi=10.1016/j.vaccine.2014.10.061 |url=}}</ref> Di negara berkembang, virus yang mengakibatkan infeksi pernafasan dan pencernaan sering ditemui sepanjang tahun. Virus yang dibawa oleh serangga merupakan penyebab umum penyakit di negara ini. Sebagai contoh, virus zika dan virus dengue ditularkan oleh nyamuk ''[[Aedes]]'' betina, yang menggigit manusia khususnya selama musim kawin nyamuk.<ref name="pmid32103776">{{cite journal |vauthors=Mbanzulu KM, Mboera LE, Luzolo FK, Wumba R, Misinzo G, Kimera SI |title=Mosquito-borne viral diseases in the Democratic Republic of the Congo: a review |journal=Parasites & Vectors |volume=13 |issue=1 |pages=103 |date=February 2020 |pmid=32103776 |pmc=7045448 |doi=10.1186/s13071-020-3985-7 |url=}}</ref>


=== Pada tumbuhan ===
=== Pada tumbuhan ===

Revisi per 30 Maret 2020 04.02

Ilustrasi sebuah virion SARS-CoV-2 penyebab pandemi COVID-19

Virus adalah agen infeksius berukuran kecil yang bereproduksi di dalam sel inang yang hidup. Ketika terinfeksi, sel inang dipaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik virus asli dengan cepat. Tidak seperti kebanyakan makhluk hidup, virus tidak memiliki sel; salinan virus yang baru terbentuk berkumpul dalam sel inang yang terinfeksi. Namun tidak seperti agen infeksi yang lebih sederhana seperti prion, virus memiliki materi genetik yang memungkinkan mereka untuk bermutasi dan berkembang. Hingga tahun 2018, lebih dari 4.800 spesies virus telah ditemukan.[1] Asal-usul virus belum jelas: beberapa di antaranya mungkin berevolusi dari plasmid (potongan DNA yang dapat bergerak di antara sel), sementara yang lain mungkin berevolusi dari bakteri.

Virus terdiri atas dua atau tiga bagian: materi genetik, kapsid (mantel protein), dan amplop. Semua virus memiliki materi genetik berupa DNA atau RNA, yaitu molekul panjang dengan banyak gen (pemberi instruksi pada sel). Semua virus juga ditutupi dengan mantel protein untuk melindungi gen. Sejumlah virus memiliki amplop berupa lipid yang menutupi lapisan protein, dan membuat virus tersebut rentan terhadap sabun. Virus menggunakan amplop ini—juga dengan reseptor spesifik—untuk memasuki sel inang baru.

Bentuk virus bervariasi, mulai dari heliks sederhana dan ikosahedral hingga struktur yang lebih kompleks. Ukuran virus berkisar dari 20 hingga 300 nanometer; diperlukan antara 33.000 hingga 500.000 virus yang disusun secara berdampingan untuk mencapai panjang 1 sentimeter (0,4 inci).

Virus menyebar melalui berbagai cara. Virus bersifat sangat spesifik dalam menentukan spesies inang atau jaringan yang mereka serang dan masing-masing spesies virus bergantung pada metode khusus untuk memperbanyak diri. Virus tumbuhan sering kali menyebar dari satu tumbuhan ke tumbuhan lain melalui serangga dan organisme lain, yang dikenal sebagai vektor. Beberapa virus manusia dan hewan disebarkan melalui paparan cairan tubuh yang terinfeksi. Virus influenza, misalnya, menyebar melalui udara melalui percikan saluran pernapasan ketika seseorang batuk atau bersin. Virus seperti Norovirus ditularkan melalui transmisi fekal–oral, yang melibatkan tangan, makanan, dan air yang terkontaminasi. Rotavirus sering disebarkan melalui kontak langsung dengan anak-anak yang terinfeksi. Virus imunodefisiensi manusia, HIV, ditularkan oleh cairan tubuh yang ditransfer saat berhubungan seks. Virus lainnya, seperti virus dengue, disebarkan oleh serangga pengisap darah.

Virus, terutama yang memiliki RNA, dapat bermutasi dengan cepat dan memunculkan tipe baru yang tidak dapat diatasi dengan cepat oleh sistem imun inang mereka. Virus influenza, misalnya, sering kali bermutasi sehingga diperlukan vaksin baru setiap tahun. Perubahan besar dapat menyebabkan pandemi seperti pada tahun 2009 ketika flu menyebar ke sebagian besar negara. Mutasi ini sering terjadi ketika virus telah menginfeksi hewan lain seperti kelelawar dalam kasus koronavirus, serta babi dan burung dalam kasus influenza, sebelum mereka menyebar ke manusia.

Infeksi virus dapat mengakibatkan penyakit pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Pada manusia dan hewan yang sehat, infeksi biasanya dihilangkan oleh sistem imun, yang memberikan kekebalan seumur hidup kepada inang virus tersebut. Pemberian antibiotika tidak efektif terhadap virus, tetapi obat antivirus dapat mengobati infeksi yang mengancam jiwa. Vaksin yang menghasilkan kekebalan seumur hidup dapat mencegah beberapa infeksi.

Penemuan

Gambar virus HIV-1 dalam mikroskop pemindai elektron, diberi warna hijau, budding dari limfosit.

Pada tahun 1884, ahli mikrobiologi Prancis Charles Chamberland menemukan filter Chamberland (atau filter Chamberland—Pasteur), yang memiliki pori-pori yang lebih kecil dari bakteri. Dengan demikian, ia bisa melewatkan larutan yang mengandung bakteri melalui saringan tersebut sehingga larutan benar-benar bebas dari bakteri. Pada awal 1890-an, ahli biologi Rusia Dmitri Ivanovsky menggunakan metode ini untuk mempelajari suatu zat yang kemudian dikenal sebagai virus mosaik tembakau. Eksperimennya menunjukkan bahwa ekstrak dari daun tanaman tembakau terinfeksi yang telah dihancurkan tetap menular setelah penyaringan.[2]

Pada saat yang sama, beberapa ilmuwan lain menunjukkan bahwa, meskipun agen ini (yang kemudian disebut virus) berbeda dengan bakteri dan berukuran sekitar seratus kali lebih kecil, mereka masih dapat menimbulkan penyakit. Pada tahun 1899, ahli mikrobiologi Belanda Martinus Beijerinck mengamati bahwa agen tersebut berkembang biak hanya dalam sel yang membelah. Ia menyebutnya "cairan hidup menular" (bahasa Latin: contagium vivum fluidum)—atau "kuman hidup terlarut" karena ia tidak dapat menemukan partikel seperti kuman.[3] Pada awal abad ke-20, ahli bakteriologi Inggris Frederick Twort menemukan virus yang menginfeksi bakteri,[4] dan ahli mikrobiologi Prancis-Kanada Félix d'Herelle menggambarkan virus yang, ketika ditambahkan ke bakteri yang tumbuh pada agar, akan mengarah pada pembentukan area kematian bakteri. Penghitungan area kematian ini memungkinkan Félix untuk mengalkulasi jumlah virus dalam suspensi tersebut.[5]

Penemuan mikroskop elektron pada tahun 1931 memunculkan gambar virus untuk pertama kalinya.[6] Pada tahun 1935, ahli biokimia dan virologi Amerika Serikat Wendell Meredith Stanley memeriksa virus mosaik tembakau dan menemukan bahwa virus tersebut sebagian besar terbuat dari protein.[7] Tidak lama kemudian, virus ini dipisahkan menjadi bagian protein dan RNA.[8] Masalah bagi para penelti virus awal adalah bahwa mereka tidak tahu cara mengembangkan virus tanpa menggunakan hewan hidup. Sebuah terobosan terjadi pada tahun 1931, ketika ahli patologi Amerika Serikat Ernest William Goodpasture dan Alice Miles Woodruff menumbuhkan virus influenza dan beberapa virus lain pada telur ayam yang telah dibuahi.[9] Beberapa virus tidak dapat tumbuh dalam telur ayam, tetapi masalah ini diselesaikan pada tahun 1949 ketika John Franklin Enders, Thomas Huckle Weller, dan Frederick Chapman Robbins menumbuhkan virus polio dalam biakan sel hewan hidup.[10] Hingga tahun 2018, lebih dari 4.800 spesies virus telah ditemukan.[1]

Struktur

Diagram sederhana menggambarkan struktur virus.

Partikel virus, disebut juga "virion", terdiri dari materi genetik yaitu DNA atau RNA yang dikelilingi lapisan protein pelindung yang disebut kapsid.[11] Kapsid terbentuk dari susunan molekul-molekul protein kecil identik yang disebut kapsomer. Kapsomer-kapsomer ini dapat tersusun dalam struktur ikosahedron (bangun ruang bersisi 20), heliks/spiral, atau bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Di dalam kapsid terdapat selubung nukleokapsid, yang juga terdiri dari protein. Sebagian virus dikelilingi bagian luar yang terdiri dari lipid (lemak) dan disebut selubung virus (amplop). Selubung luar ini menyebabkan virus tersebut dapat dihancurkan sabun atau alkohol.[12]

Ukuran

Virus termasuk dalam makhluk terkecil yang dapat menyebabkan infeksi dan tidak dapat dilihat menggunakan mikroskop cahaya akibat ukurannya. Kebanyakan virus hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop elektron. Ukuran virus berkisar antara 20 hingga 300 nanometer—artinya garis sepanjang 1 sentimeter dapat diisi 33.000 hingga 500.000 virus yang berbaris lurus.[11] Bakteri umumnya memiliki diameter 1000 nanometer (1 mikrometer), dan sel makhluk hidup yang lebih besar biasanya berukuran puluhan mikrometer. Terdapat juga golongan virus yang berukuran relatif besar dibandingkan virus biasa, seperti Megavirus dan Pandoravirus. Virus-virus ini menginfeksi ameba, dan ditemukan pada 2003 dan 2013 dengan ukuran sekitar 1000 nanometer.[13][14] Virus-virus ini sekitar sepuluh kali lebih panjang dari virus influenza (sehingga volumnya 1000 kali lebih besar), sehingga disebut virus "raksasa" dan penemuannya mengejutkan para ilmuwan.[15]

Materi genetik

Gen virus terbuat dari DNA (asam deoksiribonukleat) atau RNA (asam ribonukleat), tergantung jenis virus. Gen menyimpan informasi biologi dari suatu organisme dalam bentuk kode. Sebagian besar organisme menggunakan DNA sebagai materi genetik, tetapi sejumlah virus menggunakan RNA (golongan ini disebut virus RNA). DNA atau RNA virus dapat berbentuk satu untaian saja atau berbentuk heliks ganda.[16]

Virus dapat berkembang biak dengan cepat karena jumlah gennya sangat kecil. Virus influenza memiliki hanya delapan gen, sedangkan rotavirus memiliki sebelas gen (sebagai perbandingan, manusia memiliki 20.000 hingga 25.000). Gen-gen ini mengandung kode untuk menghasilkan protein, baik protein struktural yang membentuk tubuh virus itu sendiri, maupun protein nonstruktural yang hanya ditemukan dalam sel yang diinfeksi virus.

Seperti halnya sebuah sel, banyak virus menghasilkan protein enzim yang disebut DNA polimerase dan RNA polimerase, yang membuat salinan dari DNA atau RNA-nya. Enzim polimerase sebuah virus sering lebih efisien dalam menyalin DNA atau RNA dibandingkan enzim serupa dalam sel inangnya,[17] tetapi RNA polimerase dari virus lebih rentan mengalami kesalahan penyalinan. Hal ini menyebabkan virus RNA mudah bermutasi dan menghasilkan jenis-jenis (atau galur) baru.[18]

Beberapa virus RNA memiliki gen yang tidak menyatu dalam satu molekul RNA tunggal. Misalnya, virus influenza memiliki delapan gen terpisah yang masih-masing berupa molekul RNA tersendiri. Saat beberapa galur dari virus influenza menginfeksi sel yang sama, gen-gen ini dapat bercampur dan membentuk galur baru dalam sebuah proses yang disebut pemilahan ulang (reassortment).[19]

Sintesis protein

Ilustrasi sel inang eukariota yang telah diinfeksi virus. Virus (ditunjukkan dengan nomor 14) tidak dapat membuat protein sendiri, sehingga harus mengandalkan pembuatan protein sel inang di ribosom (3).

Protein adalah molekul yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sebuah sel biasa membuat protein dengan merangkai asam-asam amino sesuai informasi yang ada dalam DNA. Sintesis (pembuatan) protein membutuhkan berbagai proses yang tidak dimiliki oleh virus.[20] Karena itu, virus memaksa sel inangnya untuk membuat protein-protein yang tidak dibutuhkan sel inang tetapi diperlukan oleh virus untuk memperbanyak diri.[21]

Dalam sebuah sel, sintesis protein terdiri dari dua tahap utama: transkripsi (penyalinan) dan translasi (penerjemahan).[22] Dalam transkripsi, informasi yang dikandung DNA (disebut kode genetik) digunakan untuk membuat salinan berupa RNA yang disebut RNA duta (disebut mRNA dari messenger-RNA). Molekul mRNA ini berpindah menuju ribosom tempat protein dibuat menggunakan informasi yang ada dalam mRNA. Tahap ini disebut translasi atau penerjemahan karena informasi mRNA yang formatnya adalah susunan asam nukleat diubah menjadi protein yang merupakan susunan asam amino, seolah dari suatu bahasa ke bahasa lain.[22]

Virus "membajak" proses dalam sel ini dengan berbagai cara. Sebagian virus RNA bekerja dengan menggunakan RNA-nya secara langsung sebagai mRNA sel. Golongan virus seperti ini disebut virus RNA makna-positif (positive-sense).[23] Sebaliknya, dalam golongan virus RNA lainnya RNA virus harus diubah menjadi komplemennya terlebih dahulu agar berfungsi sebagai mRNA, sehingga harus dilakukan penyalinan komplemen menggunakan enzim milik sel inang atau milik virus itu sendiri. Golongan virus ini disebut virus RNA makna-negatif (negative-sense). Sebagian virus lainnya memiliki DNA alih-alih RNA; virus-virus ini membuat mRNA seprti halnya sebuah sel. Ada golongan virus lain, yaitu retrovirus, yang menggunakan mekanisme berbeda: golongan virus ini memiliki RNA, tetapi salinan berupa DNA dari RNA virus dibuat dalam sel inang dengan bantuan enzim transkriptase balik. DNA ini kemudian disisipkan ke dalam DNA sel inang, sehingga akan disalin menjadi mRNA dan dibuat proteinnya menggunakan proses biasa dalam sel.[24]

Siklus hidup

Siklus hidup sebuah contoh virus (dari kiri ke kanan). Infeksi sebuah virus ke satu sel inang berakhir dengan dilepaskannya ratusan virus-virus baru.

Saat sebuah virus menginfeksi sel, virus tersebut mengendalikan sel inangnya untuk memperbanyak virus itu, dengan membuat sel inang menyalin DNA dan RNA virus dan membuat protein yang kemudian bergabung untuk membentuk partikel virus baru.[25]

Pada dasarnya, ada enam tahap siklus hidup virus dalam sel makhluk hidup:[26]

  • Adsorpsi, yaitu mengikatnya virus ke molekul tertentu pada permukaan sel. Setiap virus hanya bisa terikat pada molekul yang sesuai, alhasil virus hanya bisa menginfeksi jenis sel yang sangat terbatas. Fenomena ini disebut tropisme, dan kadang virus juga memiliki tropisme spesies yaitu hanya menginfeksi sel dari spesies atau golongan spesies tertentu. Misalnya, virus HIV hanya bisa menginfeksi sel T manusia, karena protein di permukaan virus ini, gp120, hanya bisa bereaksi dengan molekul CD4 dengan adanya koreseptor tertentu di permukaan sel T.[27]
  • Penetrasi setelah terikat dalam tahap adsorpsi, virus memasuki sel inang melalui endositosis atau fusi dengan sel tersebut.[28]
  • Pembukaan atau pembongkaran, yaitu saat kapsid yang melindungi virus terbuka dan dihancurkan oleh enzim virus atau enzim sel inang, sehingga materi genetik yang dimiliki virus dapat memasuki sel.[29]
  • Replikasi yaitu ketika sel inang menyintesis protein-protein yang dibutuhkan virus dan memperbanyak DNA atau RNA virus. Hal ini terjadi karena virus telah mengendalikan kemampuan sel untuk membuat protein dan memperbanyak materi genetik.[26]
  • Perakitan yaitu ketika protein-protein dan DNA atau RNA yang terbentuk di tahap sebelumnya menyusun diri membentuk ratusan partikel-partikel virus baru.[30]
  • Pelepasan, yaitu ketika virus-virus baru keluar dari sel inangnya. Hal ini dicapai sebagian besar virus dengan cara memcahkan sel inang dalam proses yang disebut lisis (sehingga tahap ini juga disebut tahap lisis). Virus lain seperti HIV keluar dengan cara yang lebih halus yang disebut "pertunasan" (budding) yang tidak menghancurkan sel inang.[31]

Efek terhadap sel inang

Virus mempunyai banyak efek terhadap struktur dan biokimia sel inang.[32] Efek-efek ini disebut efek sitopatik.[33] Sebagian besar infeksi virus berakhir dengan kematian sel inang. Sel inang mati dengan berbagai cara, di antaranya dengan pecah (mengalami lisis), perubahan membran sel, dan apoptosis (bunuh diri atau kematian sel terprogram).[34] Sering kali sel mati karena aktivitas normalnya berhanti akibat protein-protein yang dihasilkan virus, termasuk protein yang bukan bagian dari partikel virus itu sendiri.[35]

Sebagian virus tidak menyebabkan perubahan tampak kepada sel inang. Virus yang laten (tidak aktif) tidak banyak menunjukkan tanda infeksi dan sel inangnya sering berfungsi normal.[36] Hal ini menyebabkan infeksi yang tahan lama dan virus tersebut dapat tersembunyi selama bertahun-tahun. Virus herpes sering mengalami hal ini.[37][38]

Sebagian virus, seperti Papilomavirus, dapat menyebabkan sel memperbanyak diri tak terkendali dan menjadi penyebab kanker,[39] sedangkan sebagian virus lainnya, seperti virus Epstein-Barr, membuat sel memperbanyak tanpa menjadi ganas.[40] Saat DNA sel terlalu rusak akibat serangan virus sehingga tidak dapat diperbaiki lagi, apoptosis sering terjadi. Salah satu akibatnya adalah penghancuran DNA oleh sel itu sendiri. Beberapa virus (misalnya, virus HIV) memiliki mekanisme untuk membatasi apoptosis sehingga sel inang tidak mati sebelum virus berhasil memperbanyak diri. [41]

Virus dan penyakit

Terdapat banyak cara penyebaran virus dari satu inang ke inang lain, tetapi masing-masing spesies hanya menggunakan satu atau dua cara saja. Banyak virus yang menginfeksi tumbuhan dibawa oleh organisme lain yang disebut vektor. Sebagian virus yang menginfeksi hewan, termasuk manusia, juga disebarkan oleh vektor (misalnya hewan pengisap darah), tetapi lebih sering menular secara langsung. Sebagian infeksi virus, seperti Norovirus dan Rotavirus, disebarkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Sebagian virus lain menyebar melalui tangan dan benda-beda mati yang digunakan bersama, sebagian melalui kontak dekat dengan individu lain yang terinfeksi, dan sebagian melalui udara (seperti influenza). Sebagian virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C sering menular melalui hubungan seks tanpa pengaman dan jarum suntik yang terkontaminasi. Untuk mencegah infeksi dan penyebaran penyakit, perlu diketahui cara penyebaran masing-masing jenis virus.[42]

Pada manusia

Penyakit-penyakit umum pada manusia yang diakibatkan oleh virus di antaranya pilek, influenza, cacar air dan herpes bibir. Penyakit-penyakit serius seperti Ebola dan AIDS pun disebabkan oleh infeksi virus.[43] Virus-virus yang tidak menimbulkan penyakit atau hanya menyebabkan penyakit ringan dianggap sebagai virus "jinak". Namun virus yang lebih berbahaya disebut bersifat virulen.[44] Beberapa virus malah bisa menimbulkan infeksi sepanjang hayat atau kronis apabila virus tersebut terus saja menggandakan diri di dalam tubuh meskipun ada mekanisme pertahanan diri inang.[45] Hal ini umum terjadi pada infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C. Orang yang terjangkit suatu virus secara kronis dinamakan pembawa virus. Mereka berperan sebagai reservoir virus tersebut.[46][47]

Endemis

Jika proporsi pembawa penyakit dalam populasi tertentu mencapai ambang tertentu, suatu penyakit dikatakan endemik.[48] Sebelum munculnya vaksinasi, infeksi virus merupakan hal biasa dan wabah terjadi secara reguler. Di negara dengan iklim sedang, penyakit akibat virus biasanya terjadi secara musiman. Poliomielitis akibat virus polio sering terjadi pada bulan-bulan musim panas.[49] Sebaliknya, infeksi virus influenza dan Rotavirus biasanya terjadi selama musim dingin.[50][51] Virus lain, seperti virus campak, menyebabkan wabah secara rutin setiap tiga tahun.[52] Di negara berkembang, virus yang mengakibatkan infeksi pernafasan dan pencernaan sering ditemui sepanjang tahun. Virus yang dibawa oleh serangga merupakan penyebab umum penyakit di negara ini. Sebagai contoh, virus zika dan virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes betina, yang menggigit manusia khususnya selama musim kawin nyamuk.[53]

Pada tumbuhan

Ada banyak jenis virus tumbuhan, tetapi sering kali mereka hanya mengakibatkan penurunan hasil produksi, dan secara ekonomis tidak efisien untuk melakukan pengendaliannya. Virus tumbuhan sering menyebar dari satu tumbuhan ke tumbuhan lain oleh organisme yang disebut vektor. Vektor biasanya berupa serangga, tetapi beberapa jamur, cacing nematoda, dan organisme bersel tunggal juga terbukti berperan sebagai vektor. Ketika pengendalian infeksi virus tumbuhan dianggap ekonomis (misalnya pada buah-buahan menahun), diupayakan untuk membunuh vektor dan menghilangkan inang alternatif seperti gulma.[54] Virus tumbuhan tidak berbahaya bagi manusia dan hewan lain karena mereka hanya dapat bereproduksi dalam sel tumbuhan hidup.[55]

Bakteriofag

Bakteriofag adalah virus yang menginfeksi bakteri dan arkea. Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV) secara resmi mengakui 28 genus bakteriofag yang ditempatkan dalam 11 keluarga virus.[56] Bakteriofag berperan penting dalam ekosistem laut: ketika bakteri yang terinfeksi meledak, senyawa karbon dilepaskan kembali ke lingkungan, yang merangsang pertumbuhan organik segar. Bakteriofag berguna dalam penelitian ilmiah karena mereka tidak berbahaya bagi manusia dan dapat dipelajari dengan mudah. Di sisi lain, bakteriofag dapat menjadi sumber masalah pada industri makanan dan obat-obatan yang melibatkan fermentasi dan bergantung pada bakteri bermanfaat. Beberapa infeksi bakteri menjadi sulit dikendalikan dengan antibiotika sehingga ada kecenderungan untuk memanfaatkan bakteriofag sebagai terapi infeksi bakterial pada manusia.[57]

Imunitas

Imunitas bawaan hewan

Hewan, termasuk manusia, memiliki banyak pertahanan alami melawan virus. Sebagian pertahanan ini bersifat umum dan melindungi dari banyak virus tanpa tergantung jenisnya. Sistem imun bawaan ini tidak bertambah kuat jika infeksi diulangi, dan tidak memiliki "memori" akan infeksi sebelumnya. Contohnya adalah kulit hewan, terutama permukaannya, yang terbuat dari sel-sel mati dan mencegah masuknya virus ke tubuh inang. Contoh lain adalah keasaman isi lambung yang dapat menghancurkan virus-virus yang tertelan. Saat virus berhasil melewati rintangan-rintangan ini dan berhasil masuk tubuh inang, pertahanan bawaan lainnya mencegah penyebaran infeksi di dalam tubuh. Hormon yang bernama interferon diproduksi tubuh ketika virus masuk, dan mencegah virus memperbanyak diri dengan cara membunuh sel-sel yang terinfeksi beserta sel-sel terdekatnya. Di dalam sel, ada enzim-enzim yang berfungsi merusak RNA virus, disebut enzim interferensi RNA. Beberapa sel darah meggulung dan menghancurkan sel-sel yang terinfeksi virus.[58]

Imunitas adaptif hewan

Dua partikel rotavirus: dalam gambar kanan, virus telah dilapisi antibodi yang mencegah virus tersebut melekat dan menginfeksi sel

Pertahanan yang bersifat spesifik terhadap virus tertentu berkembang dari waktu ke waktu. Sel-sel darah putih jenis limfosit menjadi komponen penting, dengan menyimpan "memori" infeksi virus dan membuat molekul-molekul khusus yang disebut antibodi. Molekul-molekul antibodi menempel kepada virus dan mencegahnya menginfeksi sel. Antibodi bersifat selektif dan masing-masing hanya menyerang satu jenis virus. Tubuh hewan dan manusia membuat berbagai antibodi, terutama saat awal infeksi. Setelah infeksi virus mereda, sebagian antibodi tetap bertahan dan terus dibuat, sehingga biasanya memberi ketahanan seumur hidup untuk virus jenis tersebut.[59]

Pertahanan tumbuhan

Tumbuhan juga memiliki mekanisme pertahanan melawan virus. Salah satu pertahanan terkuat adalah adanya "gen pertahanan" (gen R, resistance). Setiap gen R memberikan pertahanan melawan virus tertentu dengan memicu kematian sel terlokalisasi di sekitar sel-sel yang terinfeksi. Kawasan ini sering dapat dilihat mata sebagai bintik-bintik besar. Hal ini mencegah penyebaran infeksi.[60] Tumbuhan juga memiliki enzim interferensi RNA.[61] Tumbuhan juga dapat menghasilkan bahan kimia disinfektan alami yang menghancurkan virus, seperti asam salisilat, nitrogen monoksida, dan spesi oksigen reaktif.[62]

Pertahanan terhadap bakteriofag

Pertahanan bakteri melawan bakteriofag mengandalkan enzim yang dibuat untuk menghancurkan DNA asing. Enzim ini disebut endonuklease restriksi dan memotong-motong DNA virus yang disuntikkan bakteriofag ke dalam sel bakteri.[63]

Pencegahan dan pengobatan

Vaksinasi

Vaksin bekerja dengan cara meniru infeksi alami dalam memicu respons sistem imun adaptif, tetapi tidak mengakibatkan penyakit. Vaksin dapat dibuat dari virus hidup yang telah dilemahkan, atau virus yang telah dibunuh. Penggunaan vaksinasi telah berhasil menghilangkan penyakit variola dari muka bumi, dan mengurangi penyakit dan kematian akibat infeksi virus lain seperti polio, campak, beguk, dan rubela.[64] Vaksin telah tersedia untuk mencegah lebih dari 14 jenis infeksi virus pada manusia,[65] dan vaksin lain telah dibuat untuk mencegah infeksi virus pada hewan.[66] Vaccines may consist of either live or killed viruses.[67] Vaksin yang berisi virus hidup yang dilemahkan bisa berbahaya untuk orang-orang dengan kelemahan sistem imun, hingga menyebabkan penyakit aslinya.[68] Teknik-teknik bioteknologi dan rekayasa genetika digunakan untuk menghasilkan vaksin yang hanya memiliki protein kapsid dari virus sehingga lebih aman karena tidak mungkin menyebabkan munculnya penyakit asli. Vaksin hepatitis B adalah salah satu contoh vaksin jenis ini.[69][67]

Obat antivirus

Struktur basa DNA guanosina (atas), dan obat antivirus asiklovir (bawah) yang berfungsi dengan cara menjadi tiruan palsu dari guanosin.

Pengembangan obat-obatan antivirus telah meningkat dengan cepat sejak pertengahan 1980-an, setelah terjadi pandemi AIDS. Obat-obatan ini sering menggunakan sifat analog nukleosida, yaitu bertindak sebagai tiruan palsu dari nukleosida (molekul pembentuk DNA). Saat proses penggandaan DNA virus dimulai, sebagian bahan-bahan palsu ini ikut terpakai. Hal ini menggagalkan penggandaan karena obat tersebut dirancang untuk tidak memiliki sifat-sifat yang diperlukan dalam pembentukan rantai DNA. Saat produksi DNA berhenti, virus tidak lagi dapat memperbanyak diri.[70] Contoh jenis obat seperti ini adalah asiklovir (obat virus herpes), salah satu obat antivirus paling awal dan paling banyak digunakan dalam resep.[71] Contoh lain golongan obat ini adalah lamivudin (obat HIV dan hepatitis B),[72] dan ribavirin (obat hepatitis C).[73] Obat hepatitis B dan C tersebut menghentikan penggandaan virus dan interferon membunuh sel-sel terinfeksi yang masih tersisa.[74]

Selain itu, terdapat obat antivirus yang mengganggu tahap lain dalam siklus hidup virus. Misalnya, HIV tergantung pada suatu enzim, HIV-1 protease, agar virus tersebut dapat menyebabkan infeksi. Jenis obat yang disebut inhibitor protease berfungsi dengan cara berikatan dengan enzim ini sehingga tidak dapat lagi berfungsi.[75]

Infeksi HIV biasanya diobati dengan kombinasi berbagai obat antivirus, yang masing-masing menggangu tahap-tahap yang berbeda dalam siklus hidup virus. Ada obat yang mencegah adsorpsi (melengketnya) virus ke sel, ada obat analog nukleosida yang mencegah replikasi (penggandaan), dan ada obat yang menghentikan kerja enzim yang dibutuhkan dalam replikasi. Kesuksesan obat-obatan ini merupakan hasil dari pengetahuan tentang cara virus memperbanyak diri.[75]

Asal-usul

Virus selalu berdampingan dengan organisme, dan mungkin telah ada sejak sel hidup pertama kali berevolusi. Asal mereka belum jelas karena virus tidak meninggalkan fosil, sehingga asal usulnya hanya bisa dihipotesiskan dengan cara-cara seperti teknik-teknik biologi molekuler. Teknik-teknik ini mengandalkan keberadaan DNA atau RNA virus yang terdahulu. Akan tetapi, sebagian besar virus yang diawetkan dan disimpan di laboratorium berusia kurang dari 90 tahun.[76][77] Metode-metode biologi molekuler hanya berhasil melacak nenek moyang virus yang berevolusi pada abad ke-20.[78] Golongan virus baru berkali-kali muncul dalam berbagai tahap evolusi makhluk hidup.[79] Ada tiga teori utama tentang asal-usul virus: teori regresi, teori keluar dari sel, dan teori koevolusi[79][80]

Teori regresi
Menurut teori ini, virus bisa jadi dulunya adalah sel-sel kecil yang menjadi parasit dalam sel yang lebih besar. Kemudian, parasit-parasit ini kehilangan gen-gen yang tidak lagi dibutuhkan setelah hidup sebagai parasit. Dengan demikian, sel-sel tersebut mengalami regresi menjadi virus. Teori ini didukung oleh keberadaan bakteria seperti Rickettsia dan Chlamydia yang hanya mampu bereproduksi di dalam sel inang (seperti halnya virus). Menurut teori ini, jika sel-sel seperti ini bisa mengandalkan hidup sebagai parasit, gen-gen lain yang hanya diperlukan untuk hidup mandiri dapat hilang.
Teori keluar dari sel
Menurut teori ini, virus berevolusi dari potongan DNA atau RNA yang keluar dari gen organisme yang lebih besar. DNA yang keluar ini dapat berasal dari plasmid (potongan-potongan DNA yang dapat berpindah dari satu sel ke sel lain) dan juga dari bakteria.[81]
Teori koevolusi
Menurut teori ini, virus tidak berasal dari sel dan berevolusi dari molekul-molekul kompleks protein dan DNA pada saat yang sama dengan munculnya sel di bumi, dan selama bertahun-tahun selalu bergantung kepada sel hidup.[82]

Ketiga teori ini memiliki kelemahan. Teori regresi tidak dapat menjelaskan kenapa sel-sel parasit terkecil yang ditemukan pun tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan virus. Teori keluar dari sel tidak dapat menjelaskan struktur-strukur yang hanya ada pada virus dan tidak pada sel. Teori koevolusi tidak dapat menjelaskan bagaimana virus yang terbentuk pertama kali dapat bertahan dan memperbanyak diri tanpa keberadaan sel.[82][83]

Peranan dalam ekologi

Virus merupakan entitas biologis yang paling melimpah di lingkungan perairan;[84] satu sendok teh air laut mengandung sekitar sepuluh juta virus,[85] dan mereka berperan penting dalam pengaturan ekosistem air asin dan air tawar.[86] Sebagian besar virus dalam perairan tersebut merupakan bakteriofag,[87] yang tidak berbahaya bagi tumbuhan dan hewan. Mereka menginfeksi dan menghancurkan bakteri pada komunitas mikroba akuatik dan hal ini merupakan mekanisme daur ulang karbon yang paling penting dalam ekosistem laut. Molekul organik yang dilepaskan dari sel bakteri oleh virus merangsang pertumbuhan bakteri dan alga segar.[88]

Mikroorganisme menyusun lebih dari 90% biomassa di laut. Virus diperkirakan membunuh sekitar 20% dari biomassa ini setiap hari. Terdapat 15 kali lebih banyak virus di lautan dibandingkan bakteri dan arkea. Virus-virus ini terutama bertanggung jawab atas pengurangan populasi alga dengan cepat sehingga mencegah ledakan populasi alga,[89] yang sering kali membunuh kehidupan laut lainnya.[90] Jumlah virus di lautan semakin berkurang di lepas pantai dan lebih dalam ke dalam air karena jumlah organisme inang lebih sedikit.[91]

Peran virus di lautan sangat besar; dengan meningkatkan jumlah respirasi di lautan, virus secara tidak langsung berperan untuk mengurangi jumlah karbon dioksida di atmosfer sekitar 3 gigaton karbon per tahun.[91]

Mamalia laut juga rentan terhadap infeksi virus. Pada tahun 1988 dan 2002, ribuan anjing laut di Eropa mati akibat infeksi Phocine morbillivirus.[92] Banyak virus lain, termasuk calicivirus, herpesvirus, adenovirus, dan parvovirus, beredar pada populasi mamalia laut.[91]

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ a b King AM, Lefkowitz EJ, Mushegian AR, Adams MJ, Dutilh BE, Gorbalenya AE, Harrach B, Harrison RL, Junglen S, Knowles NJ, Kropinski AM, Krupovic M, Kuhn JH, Nibert ML, Rubino L, Sabanadzovic S, Sanfaçon H, Siddell SG, Simmonds P, Varsani A, Zerbini FM, Davison AJ (September 2018). "Changes to taxonomy and the International Code of Virus Classification and Nomenclature ratified by the International Committee Taxonomy of Viruses (2018)" (PDF). Archives of Virology. 163 (9): 2601–31. doi:10.1007/s00705-018-3847-1. PMID 29754305. 
  2. ^ Shors 2017, hlm. 6.
  3. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 3.
  4. ^ Shors 2017, hlm. 827.
  5. ^ D'herelle F (2007). "On an invisible microbe antagonistic toward dysenteric bacilli: brief note by Mr. F. D'Herelle, presented by Mr. Roux. 1917". Research in Microbiology. 158 (7): 553–54. doi:10.1016/j.resmic.2007.07.005. PMID 17855060. 
  6. ^ From Nobel Lectures, Physics 1981–1990, (1993) Editor-in-Charge Tore Frängsmyr, Editor Gösta Ekspång, World Scientific Publishing Co., Singapore
  7. ^ Stanley WM, Loring HS (1936). "The isolation of crystalline tobacco mosaic virus protein from diseased tomato plants". Science. 83 (2143): 85. Bibcode:1936Sci....83...85S. doi:10.1126/science.83.2143.85. PMID 17756690. 
  8. ^ Stanley WM, Lauffer MA (1939). "Disintegration of tobacco mosaic virus in urea solutions". Science. 89 (2311): 345–47. Bibcode:1939Sci....89..345S. doi:10.1126/science.89.2311.345. PMID 17788438. 
  9. ^ Goodpasture EW, Woodruff AM, Buddingh GJ (October 1931). "The Cultivation Of Vaccine and other Viruses In The Chorioallantoic Membrane of Chick Embryos". Science. 74 (1919): 371–72. Bibcode:1931Sci....74..371G. doi:10.1126/science.74.1919.371. PMID 17810781. 
  10. ^ Rosen FS (October 2004). "Isolation of poliovirus – John Enders and the Nobel Prize". N. Engl. J. Med. 351 (15): 1481–83. doi:10.1056/NEJMp048202. PMID 15470207. 
  11. ^ a b Collier dkk. 1998, hlm. 33–55.
  12. ^ Rotter ML (August 2001). "Arguments for alcoholic hand disinfection". The Journal of Hospital Infection. 48 Suppl A: S4–8. doi:10.1016/s0195-6701(01)90004-0. PMID 11759024. 
  13. ^ Abergel C, Legendre M, Claverie JM (November 2015). "The rapidly expanding universe of giant viruses: Mimivirus, Pandoravirus, Pithovirus and Mollivirus". FEMS Microbiol. Rev. 39 (6): 779–96. doi:10.1093/femsre/fuv037. PMID 26391910. 
  14. ^ Philippe N, Legendre M, Doutre G, Couté Y, Poirot O, Lescot M, Arslan D, Seltzer V, Bertaux L, Bruley C, Garin J, Claverie JM, Abergel C (July 2013). "Pandoraviruses: amoeba viruses with genomes up to 2.5 Mb reaching that of parasitic eukaryotes" (PDF). Science. 341 (6143): 281–86. Bibcode:2013Sci...341..281P. doi:10.1126/science.1239181. PMID 23869018. 
  15. ^ Zimmer C (18 July 2013). "Changing View on Viruses: Not So Small After All". New York Times. Diakses tanggal 20 December 2014. 
  16. ^ Shors 2017, hlm. 81.
  17. ^ Shors 2017, hlm. 129–131.
  18. ^ Shors 2017, hlm. 652.
  19. ^ Shors 2017, hlm. 654.
  20. ^ Shors 2017, hlm. 113.
  21. ^ Shors 2017, hlm. 104.
  22. ^ a b de Klerk E, 't Hoen PA (March 2015). "Alternative mRNA transcription, processing, and translation: insights from RNA sequencing". Trends in Genetics : TIG. 31 (3): 128–39. doi:10.1016/j.tig.2015.01.001. PMID 25648499. 
  23. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 75–82.
  24. ^ Shors 2017, hlm. 698.
  25. ^ Shors 2017, hlm. 6–13.
  26. ^ a b Shors 2017, hlm. 129.
  27. ^ Shors 2017, hlm. 124–125.
  28. ^ Shors 2017, hlm. 125.
  29. ^ Shors 2017, hlm. 127.
  30. ^ Shors 2017, hlm. 137.
  31. ^ Shors 2017, hlm. 141.
  32. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 115–146.
  33. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 115.
  34. ^ Okamoto T, Suzuki T, Kusakabe S, Tokunaga M, Hirano J, Miyata Y, Matsuura Y (2017). "Regulation of Apoptosis during Flavivirus Infection". Viruses. 9 (9): 243. doi:10.3390/v9090243. PMC 5618009alt=Dapat diakses gratis. PMID 28846635. 
  35. ^ Alwine JC (2008). Modulation of host cell stress responses by human cytomegalovirus. Curr. Top. Microbiol. Immunol. Current Topics in Microbiology and Immunology. 325. hlm. 263–79. doi:10.1007/978-3-540-77349-8_15. ISBN 978-3-540-77348-1. PMID 18637511. 
  36. ^ Sinclair J (March 2008). "Human cytomegalovirus: Latency and reactivation in the myeloid lineage". J. Clin. Virol. 41 (3): 180–85. doi:10.1016/j.jcv.2007.11.014. PMID 18164651. 
  37. ^ Jordan MC, Jordan GW, Stevens JG, Miller G (June 1984). "Latent herpesviruses of humans". Ann. Intern. Med. 100 (6): 866–80. doi:10.7326/0003-4819-100-6-866. PMID 6326635. 
  38. ^ Sissons JG, Bain M, Wills MR (February 2002). "Latency and reactivation of human cytomegalovirus" (PDF). J. Infect. 44 (2): 73–77. doi:10.1053/jinf.2001.0948. PMID 12076064. 
  39. ^ Graham SV (2017). "The human papillomavirus replication cycle, and its links to cancer progression: a comprehensive review". Clinical Science. 131 (17): 2201–21. doi:10.1042/CS20160786. PMID 28798073. 
  40. ^ Barozzi P, Potenza L, Riva G, Vallerini D, Quadrelli C, Bosco R, Forghieri F, Torelli G, Luppi M (December 2007). "B cells and herpesviruses: a model of lymphoproliferation". Autoimmun Rev. 7 (2): 132–36. doi:10.1016/j.autrev.2007.02.018. PMID 18035323. 
  41. ^ Roulston A, Marcellus RC, Branton PE (1999). "Viruses and apoptosis". Annu. Rev. Microbiol. 53: 577–628. doi:10.1146/annurev.micro.53.1.577. PMID 10547702. 
  42. ^ Shors 2017, hlm. 32.
  43. ^ Shors 2017, hlm. 271.
  44. ^ Berngruber TW, Froissart R, Choisy M, Gandon S (2013). "Evolution of Virulence in Emerging Epidemics". PLOS Pathogens. 9(3): e1003209 (3): e1003209. doi:10.1371/journal.ppat.1003209. PMC 3597519alt=Dapat diakses gratis. PMID 23516359. 
  45. ^ Shors 2017, hlm. 464.
  46. ^ Tanaka J, Akita T, Ko K, Miura Y, Satake M (September 2019). "Countermeasures against viral hepatitis B and C in Japan: An epidemiological point of view". Hepatology Research : The Official Journal of the Japan Society of Hepatology. 49 (9): 990–1002. doi:10.1111/hepr.13417. PMC 6852166alt=Dapat diakses gratis. PMID 31364248. 
  47. ^ Lai CC, Liu YH, Wang CY, Wang YH, Hsueh SC, Yen MY, Ko WC, Hsueh PR (March 2020). "Asymptomatic carrier state, acute respiratory disease, and pneumonia due to severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2): Facts and myths". Journal of Microbiology, Immunology, and Infection = Wei Mian Yu Gan Ran Za Zhi. doi:10.1016/j.jmii.2020.02.012. PMID 32173241. 
  48. ^ Collier 1998, hlm. 766.
  49. ^ Strand LK (July 2018). "The Terrible Summer of 1952 … When Polio Struck Our Family". Seminars in Pediatric Neurology. 26: 39–44. doi:10.1016/j.spen.2017.04.001. PMID 29961515. 
  50. ^ Moorthy M, Castronovo D, Abraham A, Bhattacharyya S, Gradus S, Gorski J, Naumov YN, Fefferman NH, Naumova EN (October 2012). "Deviations in influenza seasonality: odd coincidence or obscure consequence?". Clinical Microbiology and Infection : The Official Publication of the European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 18 (10): 955–62. doi:10.1111/j.1469-0691.2012.03959.x. PMC 3442949alt=Dapat diakses gratis. PMID 22958213. 
  51. ^ Barril PA, Fumian TM, Prez VE, Gil PI, Martínez LC, Giordano MO, Masachessi G, Isa MB, Ferreyra LJ, Ré VE, Miagostovich M, Pavan JV, Nates SV (April 2015). "Rotavirus seasonality in urban sewage from Argentina: effect of meteorological variables on the viral load and the genetic diversity". Environmental Research. 138: 409–15. Bibcode:2015ER....138..409B. doi:10.1016/j.envres.2015.03.004. PMID 25777068. 
  52. ^ Durrheim DN, Crowcroft NS, Strebel PM (December 2014). "Measles – The epidemiology of elimination". Vaccine. 32 (51): 6880–83. doi:10.1016/j.vaccine.2014.10.061. PMID 25444814. 
  53. ^ Mbanzulu KM, Mboera LE, Luzolo FK, Wumba R, Misinzo G, Kimera SI (February 2020). "Mosquito-borne viral diseases in the Democratic Republic of the Congo: a review". Parasites & Vectors. 13 (1): 103. doi:10.1186/s13071-020-3985-7. PMC 7045448alt=Dapat diakses gratis. PMID 32103776. 
  54. ^ Shors 2017, hlm. 822.
  55. ^ Shors 2017, hlm. 802–803.
  56. ^ Desk Encyclopedia of General Virology. Boston: Academic Press; 2009. ISBN 978-0-12-375146-1. p. 82.
  57. ^ Shors 2017, hlm. 803.
  58. ^ Shors 2017, hlm. 116–117.
  59. ^ Shors 2017, hlm. 225–233.
  60. ^ Garcia-Ruiz H (2018). "Susceptibility Genes to Plant Viruses". Viruses. 10 (9): 484. doi:10.3390/v10090484. PMC 6164914alt=Dapat diakses gratis. PMID 30201857. 
  61. ^ Shors 2017, hlm. 812.
  62. ^ Soosaar JL, Burch-Smith TM, Dinesh-Kumar SP (2005). "Mechanisms of plant resistance to viruses". Nature Reviews Microbiology. 3 (10): 789–98. doi:10.1038/nrmicro1239. PMID 16132037. 
  63. ^ Horvath P, Barrangou R (January 2010). "CRISPR/Cas, the immune system of bacteria and archaea" (PDF). Science (New York, N.Y.). 327 (5962): 167–70. Bibcode:2010Sci...327..167H. doi:10.1126/science.1179555. PMID 20056882. 
  64. ^ Shors pp. 237–55
  65. ^ Small JC, Ertl HC (2011). "Viruses – from pathogens to vaccine carriers". Current Opinion in Virology. 1 (4): 241–45. doi:10.1016/j.coviro.2011.07.009. PMC 3190199alt=Dapat diakses gratis. PMID 22003377. 
  66. ^ Burakova Y, Madera R, McVey S, Schlup JR, Shi J (2018). "Adjuvants for Animal Vaccines". Viral Immunology. 31 (1): 11–22. doi:10.1089/vim.2017.0049. PMID 28618246. 
  67. ^ a b Shors p. 237
  68. ^ Thomssen R (1975). "Live attenuated versus killed virus vaccines". Monographs in Allergy. 9: 155–76. PMID 1090805. 
  69. ^ Shors p. 238
  70. ^ Shors pp. 514–15
  71. ^ Shors p. 514
  72. ^ Shors p. 514
  73. ^ Applegate TL, Fajardo E, Sacks JA (June 2018). "Hepatitis C Virus Diagnosis and the Holy Grail" (PDF). Infectious Disease Clinics of North America. 32 (2): 425–45. doi:10.1016/j.idc.2018.02.010. PMID 29778264. 
  74. ^ Paul N, Han SH (June 2011). "Combination Therapy for Chronic Hepatitis B: Current Indications". Curr Hepat Rep. 10 (2): 98–105. doi:10.1007/s11901-011-0095-1. PMC 3085106alt=Dapat diakses gratis. PMID 21654909. 
  75. ^ a b Shors p. 568
  76. ^ Shors 2017, hlm. 16.
  77. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 18–19.
  78. ^ Liu Y, Nickle DC, Shriner D, Jensen MA, Learn GH, Mittler JE, Mullins JI (November 2004). "Molecular clock-like evolution of human immunodeficiency virus type 1". Virology. 329 (1): 101–08. doi:10.1016/j.virol.2004.08.014. PMID 15476878. 
  79. ^ a b Krupovic M, Dooja W, Koonin EV (2019). "Origin of viruses: primordial replicators recruiting capsids from hosts". Nature Reviews Microbiology. 17 (7): 449–58. doi:10.1038/s41579-019-0205-6. PMID 31142823. 
  80. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 11–21.
  81. ^ Collier dkk. 1998, hlm. 11–12.
  82. ^ a b Wessner DR (2010). "The Origins of Viruses". Nature Education. 3 (9): 37. 
  83. ^ Nasir A, Kim KM, Caetano-Anollés G (2012). "Viral evolution: Primordial cellular origins and late adaptation to parasitism". Mobile Genetic Elements. 2 (5): 247–52. doi:10.4161/mge.22797. PMID 23550145. 
  84. ^ Koonin EV, Senkevich TG, Dolja VV (September 2006). "The ancient Virus World and evolution of cells". Biol. Direct. 1: 29. doi:10.1186/1745-6150-1-29. PMC 1594570alt=Dapat diakses gratis. PMID 16984643. 
  85. ^ Dávila-Ramos S, Castelán-Sánchez HG, Martínez-Ávila L, Sánchez-Carbente MD, Peralta R, Hernández-Mendoza A, Dobson AD, Gonzalez RA, Pastor N, Batista-García RA (2019). "A Review on Viral Metagenomics in Extreme Environments". Frontiers in Microbiology. 10: 2403. doi:10.3389/fmicb.2019.02403. PMC 6842933alt=Dapat diakses gratis. PMID 31749771. 
  86. ^ Shors 2017, hlm. 5.
  87. ^ Breitbart M, Bonnain C, Malki K, Sawaya NA (July 2018). "Phage puppet masters of the marine microbial realm". Nature Microbiology. 3 (7): 754–66. doi:10.1038/s41564-018-0166-y. PMID 29867096. 
  88. ^ Shors 2017, hlm. 25–26.
  89. ^ Suttle CA (September 2005). "Viruses in the sea". Nature. 437 (7057): 356–61. Bibcode:2005Natur.437..356S. doi:10.1038/nature04160. PMID 16163346. 
  90. ^ "Harmful Algal Blooms: Red Tide: Home | CDC HSB". www.cdc.gov. Diakses tanggal 23 August 2009. 
  91. ^ a b c Suttle CA (October 2007). "Marine viruses – major players in the global ecosystem". Nat. Rev. Microbiol. 5 (10): 801–12. doi:10.1038/nrmicro1750. PMID 17853907. 
  92. ^ Hall A, Jepson P, Goodman S, Harkonen T (2006). "Phocine distemper virus in the North and European Seas – Data and models, nature and nurture". Biological Conservation. 131 (2): 221–29. doi:10.1016/j.biocon.2006.04.008. 

Daftar pustaka