Kebebasan beragama di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
hapus bagian "Definisi dan batasan topik", karena seperti makalah (IMHO); fix
Okkisafire (bicara | kontrib)
Baris 36: Baris 36:
== Peristiwa ==
== Peristiwa ==
=== Orde Lama (1945–1965) ===
=== Orde Lama (1945–1965) ===
{| {{Prettytable}}
|-
! style="background:#efefef;" | Tahun
! style="background:#efefef;" | Lokasi
! style="background:#efefef;" | Konflik
! style="background:#efefef;" | Dampak
|-
| 1948
| [[Surakarta]]</br> [[Madiun]]
| [[Pemberontakan PKI 1948]] merupakan pergerakan politik tetapi memiliki dampak penyerangan dan pembunuhan terhadap kaum [[santri]] ([[Masyumi]]) yang selanjutnya terjadi aksi balas dendam terhadap kaum [[abangan]] di Surakarta.<ref name=amos/><ref name=coup>{{cite book|title=Mental Maps in the Era of Détente and the End of the Cold War 1968–91|last=Wright|first=Jonathan|last2=Casey|first2=Steven|publisher=Springer|year=2015|location=|isbn=1137500964|page=124-125|quote=}}</ref><ref>{{cite book|title=Sejarah Indonesia Modern 1200–2008|author=M.C. Ricklefs|publisher=Penerbit Serambi|year=2008|location=|isbn=9790241151|page=480-482|quote=}}</ref>
| Permusuhan [[masyumi]] terhadap [[PKI]]<ref>{{cite news|url=http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/10/02/nvl9bl334-masyumi-dan-sikap-antipki|authors=Firman Noor|title=Masyumi dan Sikap Anti-PKI|publisher=Republika|date=2-10-2015|accessdate=6-8-2016}}</ref></br> PKI mulai dicap sebagai ekstrim (pemberontak) kiri<ref name=coup/>
|-
| 1952
| Indonesia
| Pertambahan jumlah aliran kepercayaan baru menurut data Departemen Agama (1951-1965) mengalami pengingkatan yang sangat pesat<ref name=amos/><ref name="kroef1961">{{cite journal|first=Justus M.|last=van der Kroef|title=New Religious Sects in Java|journal=Far Eastern Survey|volume=30|issue=2|year=1961|pages=18-15|doi=10.1525/as.1961.30.2.01p1432u|jstor=3024260}}</ref> sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kesesatan. Pada tahun 1952, Departemen Agama mengajukan definisi minimum tentang agama yaitu: "ada nabi, memiliki kitab suci, dan ada pengakuan internasional". Hal ini berdampak aliran-aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama.<ref name=moqsit>{{cite book|title=Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan: bunga rampai pemikiran ulama muda|author=Abdul Moqsit Ghozali|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2002|location=|isbn=9799492580|page=145-148|quote=}}</ref>
| Usulan Depag dicabut karena memperoleh oposisi dari [[Hindu Bali]].<ref name=moqsit/>
|-
| 1961
| Indonesia
| Untuk menghindari disintergrasi akibatnya banyaknya aliran agama baru, Departemen agama mengajukan bahwa agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya.<ref name=amos/> Dari berbagai aliran agama yang ada, hanya enam agama yang berhasil memenuhi kriteria tersebut, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditegaskan kembali dalam Penetapan Presiden No. 1/Pnps/1965.<ref name=moqsit/><ref>{{cite news|url=|authors=Presiden Republik Indonesia|title=PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA|publisher=Presiden Republik Indonesia|date=1965|accessdate=}}</ref>
| [[Agama asli Nusantara]] tidak memperoleh pengakuan sebagai agama di Indonesia.
|}


=== Orde Baru (1966–1998) ===
=== Orde Baru (1966–1998) ===

Revisi per 6 Agustus 2016 14.25

Artikel ini merupakan kajian Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia dari sudut pandang akademis dan sejarah serta berlandaskan referensi yang faktual. Artikel ini bukan mengenai intoleransi ideologi yang menyangkut iman dan kepercayaan yang dianut dalam agama atau kepercayaan tertentu.

Latar belakang

Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik yang telah terjadi selama berabad-abad, semenjak masa menjelang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke-14 M hingga pergolakan politik di awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik politik dan kepentingan terjadi antara pemeluk agama Siwa-Buddha dengan pemeluk agama Islam yang relatif masih baru masuk ke wilayah Nusantara; antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen yang masuk pada masa Kolonial Belanda; dan antar pemeluk agama Islam sendiri yang dibedakan menjadi Islam Putihan dan Islam Abangan.

Pada masa-masa kerajaan di Jawa (abad ke-7 hingga 10 M), agama Hindu dan agama Buddha hidup berdampingan meskipun terpisah satu sama lain.[1] Ricklefs (1985) berpendapat bahwa intoleransi keberagamaan tidak ada dalam pola berpikir masyarakat Jawa.[2] Penyatuan kedua agama hanya tampak pada isi Prasasti Kelurak (782 M) yang bercorak Buddha Mahayana.[note 1] Penyatuan kedua tampak pada akhir masa Kerajaan Singhasari, yaitu bahwa Raja Kertanegara dicandikan dalam wujud Siwa dan Buddha. Pada abad ke-14, penyatuan Siwa-Buddha semakin jelas dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular.[1][3][note 2]

Agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-13 M. Agama baru ini menimbulkan pergesekan antar lapisan masyarakat yang diwarnai oleh nuasa politik.[2] Konflik peralihan kekuasaan dan dominasi agama menyebabkan terjadinya pengungsian pemeluk agama lama ke tempat-tempat terpencil dengan tujuan menjaga warisan leluhur dari revolusi sosio-religi yang tengah terjadi. Misalnya pengungsian para bangsawan dan pandita ke Pulau Bali,[4] Ki Ageng Tunggul Wulung ke Dusun Beji di sebelah timur Sungai Progo,[5] Pangeran Singonegoro yang menyepi ke Umbul Jumprit,[6] pengungsian Suku Tengger,[4] dan sebagainya.

Kedatangan Portugis pada abad ke-16 M ke Maluku membawa serta agama Katolik untuk diperkenalkan pada penduduk Kesultanan Ternate yang beragama Islam. Namun, terjadi bentrok akibat kepentingan politik yang berakhir dengan pengusiran Portugis, yang digantikan datangnya pasukan Kerajaan Spanyol. Kesultanan Ternate kemudian meminta bantuan Bangsa Belanda yang membawa Kristen, sehingga juga terjadi pergesekan antara agama Katolik dan Kristen.[2] Puncak penyebaran agama Kristen di Pulau Jawa terjadi pada abad ke-19 M dengan misionaris-misionaris yang tidak hanya berasal dari Belanda, melainkan juga misionari pribumi seperti Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Penyebaran agama Kristen di Tanah Batak sempat memperoleh perlawanan dari Sisingamangaraja XII sebagai perwakilan Parmalim yang menyerukan pengusiran para zending Kristen disertai pengrusakan dan pembakaran. Namun, hal tersebut menjadi alasan pasukan Belanda untuk menaklukkan Batak.[7]

Aktivitas misionaris Katolik dan Kristen dipandang membahayakan kehidupan beragama masyarakat yang saat itu mayoritas sudah beragama Islam. Muhammadiyah dan Persis melihat adanya upaya pengkristenan dan pengatolikan yang dilakukan para misionaris,[note 3] sementara NU dengan kacamata yang lebih luas melihat bahwa upaya dakwah dan misionaris tersebut sebenarnya juga dilakukan oleh Muhammadiyah.[8][note 4] Gesekan antara Islam dan misionaris Kristen terus berlangsung hingga awal masa kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pihak menerbitkan buku-buku apologetik yang antara lain berjudul "Islam Menentang Kraemer" (1925), "Tuhan Yesus Dalam Agama Islam" (1957), dan "Isa Dalam Qur’an Muhammad Dalam Bible" (1959). Bahkan, di tahun 1964 beredar paflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang memuat rencana kristenisasi dan katolikisasi di Jawa dalam kurun waktu 20 tahun. Isi pamflet tersebut ditolak dan dianggap tidak otentik oleh pihak Kristen dan Katolik.[8][9][note 5]

Diskriminasi yang dialami umat muslim membuat organisasi-organisasi Islam (1930-1940an) membentuk koalisi seperti Madjelis Islam A'la Indonesia (MIAI) dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[8]

Islam putihan dan Islam abangan

Pergesekan antara Islam putihan dan abangan sudah ada semenjak periode dakwah Walisongo. Golongan putihan adalah para wali yang berdakwah di daerah pesisir dengan pusat di Giri, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Sunan Drajat. Golongan abangan berdakwah di pedalaman dengan pusat di Gunung Muria, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Golongan putihan berdakwah dengan menegakkan syariat dan menolak budaya setempat, sementara golongan abangan menggunakan budaya lokal dalam berdakwah, selama budaya tersebut tidak terlampau bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[10]

Golongan putihan atau santri memiliki orientasi politik karena memiliki kedekatan dengan keraton, sementara golongan abangan berorientasi pada dakwah yang merakyat. Terdapat golongan ketiga yang disebut golongan priayi yang lebih condong terhadap pemikiran abangan tetapi merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Para priayi berupaya mengarahkan perkembangan teosofi Islam ke arah "Jawanisasi Islam" melalui berbagai literatur seperti serat, suluk, primbon, dan wirid.[11] Polemik antara pihak keraton dan pesantren memuncak setelah kekalahan Pangeran Diponegoro yang memiliki cita-cita mendirikan negara Islam di Jawa. Setelah berakhirnya perang Padri dan perang Jawa, hubungan kaum ulama dan pihak keraton semakin menjauh. Meskipun demikian, status desa perdikan yang disahkan oleh pemerintahan kolonial setelahnya, serta pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, memungkinkan kelompok minoritas seperti guru-guru agama memiliki tanah yang luas dan menjadi independen sehingga diperkirakan menjadi penyebab utama islamisasi di Jawa secara berkelanjutan. Selain itu, pembangunan jaringan jalan memungkinkan lebih banyak kaum intelektual muslim dari Arab untuk datang atau intelektual lokal untuk belajar ke luar Jawa. Misalnya Ahmad Rifa'i (1786-1875) yang belajar ke Mekkah dan membawa pulang Mazhab Syafi'i.[12]

Antara paska-Perang Diponegoro (1830an) dan reformasi Islam (1870an), juga lahir beberapa karya sastra yang disebut sebagai "anti-islam" seperti Babad Kediri, Suluk Gatoloco, dan Serat Darmagandhul yang diperkirakan ditulis oleh kalangan priayi yang tidak puas terhadap aktivitas islamisasi di Pulau Jawa, atau menurut Phillipus van Akkeren adalah reaksi terhadap kegagalan politik Islami Pangeran Diponegoro.[note 6] Hal ini berujung pada pelarangan publikasi Suluk Gatholoco berdasarkan UU No 4/PNPS/1963 karena isinya anti-Islam dan porno. Di lain pihak, beberapa kalangan menganggap isi suluk sebenarnya bukan anti-Islam melainkan sebagai pengingat karena pada masa tersebut banyak orang yang mengaggungkan Syariat Islam.[note 7][13]

Pergesekan cara pandang golongan putihan dan abangan masih terjadi hingga masa sekarang. Selepas periode Reformasi, gerakan Islam militan seperti Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah semakin aktif dalam menuntut penerapan syariah bahkan menggelar aksi kekerasan di ruang publik. Hal tersebut menjadi perhatian Nahdlatul Ulama, yang sekalipun tergolong Islam putihan, akhirnya mengemukakan istilah Islam Nusantara yang sesuai dengan budaya Indonesia.[14] Meskipun memperoleh dukungan dari presiden ke-7 Indonesia, banyak pihak yang menolak pelabelan "Nusantara" terhadap Islam. Azhar Ibrahim dari Universitas Nasional Singapura memandang Islam Nusantara bisa menjadi teladan bagi negara-negara muslim lain yang sebagian besar mengalami konflik.[15] Islam Nusantara yang memiliki ciri khas Islam Indonesia diklaim mengedepankan nilai-nilai toleransi yang bertolak belakang dengan Islam Arab.[16][17][note 8]

Masa awal kemerdekaan

Menjelang kemerdekaan Indonesia, elit politik di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan kelompok nasionalis (terdiri atas Islam sekuler, komunis, dan Kristiani). Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato Lahirnya Pancasila yang ditindaklanjuti dengan dibentuknya Panitia Sembilan untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Terjadi perdebatan antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam mengenai sila pertama[note 9] sehingga dibentuk Panitia 94. Akhirnya, tanggal 22 Juni 1945 diperoleh persetujuan berupa Piagam Jakarta yang memenangkan kelompok Islam. Hal tersebut tidak mengakhiri keberatan-keberatan yang diajukan oleh kelompok Kristen (seperti Johannes Latuharhary), kelompok Islam berpendidikan Barat (seperti Hussein Jayadiningrat), dan kelompok abangan/Kejawen (seperti Wongsonegoro), tetapi baru pada tanggal 18 Agustus 1945 ketujuh kata pada Piagam Jakarta dihilangkan akibat tuntutan Umat Kristen di Indonesia Timur.[note 10] Hal tersebut menjadi salah satu titik ketegangan hubungan antara Islam dan Kristen. Hal tersebut juga menyebabkan timbulnya pemberontakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1949) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dan memperoleh dukungan dari Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureu'eh.[9] Permasalahan ini juga kembali diangkat oleh Front Pembela Islam melalui Muhammad Rizieq Shihab (1 Juni 2016) yang menuntut Pemerintah Indonesia "kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli dan dijiwai Piagam Jakarta".[18]

Pada masa demokrasi liberal tahun 1950an, Muhammadiyah melalui Masyumi berupa menjalin kerja sama dengan kelompok Islam tradisional dan Nasrani. Namun, insiden tahun 1952 merupakan titik kritis perpecahan kelompok Islam modern dan tradisional. Sementara itu, Persis menepatkan diri di tengah-tengah konflik antara Islam-Nasrani, Islam-PKI, dan Islam tradisional-reformis. Setelah perpecahan di tahun 1952, NU mengambil sikap oposisi terhadap Masyumi sementara masih bersikap kerja sama dengan Nasrani dan komunis. Persis beranggapan bahwa universitas-universitas Islam di Indonesia masih terlalu liberal sehingga mereka mengirim siswa ke Mesir, Libya, Saudi Arabia, dan Pakistan serta bergabung dalam gerakan muslim global dalam melawan kristenisasi.[8]

Setelah Pemilu 1955, Konstituante dibentuk untuk menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS 1950, keinginan pembentukan negara Islam kembali mencuat. Hal tersebut menyebabkan Konstituante gagal dalam tugasnya sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara.[9]

Jatuhnya komunis di Indonesia menyebabkan konflik Islam-Kristiani semakin memanas, yang beberapa kali meletus menjadi konflik terbuka.[2] Alwi Shihab memperkirakan sekitar dua juta umat muslim abangan berpindah agama ke Kristen dan Katolik untuk menghindari pembataian masal terhadap orang komunis. Pada tahun 1967, pergesekan terjadi akibat sebuah gereja dibangun di Meulaboh yang masyarakatnya tidak ada yang beragama Nasrani. Hingga tahun 1970an, akibat aktivitas misionaris Katolik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan, Suara Muhammadiyah banyak memberikan kritik dan serangan terhadap Katolik, antara lain mengenai praktik selibat yang dilakukan oleh rohaniwan Katolik (September 1971), diskriminasi yang dilakukan umat Katolik di Filipina (Oktober 1971), dan proses kristenisasi di Indonesia (1974). Muhammadiyah, Persis, dan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) menjalin hubungan dengan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam dan Rabit'at al-Alam al-Islami, untuk menghambat bahaya kristenisasi.[2][8]

Peristiwa

Orde Lama (1945–1965)

Tahun Lokasi Konflik Dampak
1948 Surakarta
Madiun
Pemberontakan PKI 1948 merupakan pergerakan politik tetapi memiliki dampak penyerangan dan pembunuhan terhadap kaum santri (Masyumi) yang selanjutnya terjadi aksi balas dendam terhadap kaum abangan di Surakarta.[9][19][20] Permusuhan masyumi terhadap PKI[21]
PKI mulai dicap sebagai ekstrim (pemberontak) kiri[19]
1952 Indonesia Pertambahan jumlah aliran kepercayaan baru menurut data Departemen Agama (1951-1965) mengalami pengingkatan yang sangat pesat[9][22] sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kesesatan. Pada tahun 1952, Departemen Agama mengajukan definisi minimum tentang agama yaitu: "ada nabi, memiliki kitab suci, dan ada pengakuan internasional". Hal ini berdampak aliran-aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama.[23] Usulan Depag dicabut karena memperoleh oposisi dari Hindu Bali.[23]
1961 Indonesia Untuk menghindari disintergrasi akibatnya banyaknya aliran agama baru, Departemen agama mengajukan bahwa agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya.[9] Dari berbagai aliran agama yang ada, hanya enam agama yang berhasil memenuhi kriteria tersebut, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditegaskan kembali dalam Penetapan Presiden No. 1/Pnps/1965.[23][24] Agama asli Nusantara tidak memperoleh pengakuan sebagai agama di Indonesia.

Orde Baru (1966–1998)

Reformasi (1998–sekarang)

Catatan

  1. ^ Prasasti Kelurak menyebutkan bahwa pemujaan kepada Siwa, Wisnu, dan Brahma merupakan titik awal kesadaran menuju Manjusri.
  2. ^ Pupuh 139 bait 5 dalam Kakawin Sutasoma tertulis: "Rwanekā dhātu winuwus Buddha Wiswa, bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" yang berarti "Konon (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen dasar. (Keduanya) tidak tunggal, terpisah, konon karena dapat segera dibagi dua. (Padahal) kebenaran Jina ("yang berhasil menaklukkan", yaitu Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua."
  3. ^ Perihal penghapusan Pasal 177 Indische Staatsregeling (IS), Suara Muhammadiyah no I bulan April 1939 menuliskan bahwa "Berdasarkan perintah Allah, Nasrani dan Yahudi dengan taktik mereka masing-masing akan selalu melawan Islam dan berusaha memasukkan muslim ke dalam agama mereka, keluar dari Islam. Oleh sebab itu kita harus selalu waspada dan bersedia untuk berdiri melawan mereka, dengan cara memperkuat dan menyebarkan Islam ke seluruh Indonesia."
  4. ^ NU cenderung mengkritik ketidaksensitifan umat Nasrani terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam serta pemberian subsidi yang tidak adil antara umat Nasrani dan Muslim, yang sekali lagi memicu kemarahan Muhammadiyah. Mereka menyuarakan pemberian subsidi yang adil atau penghapusan subsidi sama sekali. Mengenai permasalahn Pasal 177 dan 178 Indische Staatsregeling (IS), suara mereka terpecah antara mendukung penghapusan kedua pasal, atau hanya Pasal 178, atau mempertahankan keduanya. Meskipun NU berupaya agar tidak terjadi polemik terhadap umat Nasrani, insiden pemakaman di Wonosobo menyebabkan mereka menuntut pemerintah untuk memberikan ketegasan bahwa pemakaman Islam tidak boleh digunakan untuk memakamkan umat Nasrani."
  5. ^ Bisjron A. Wardy (1964) menerbitkan pamflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang menduga konferensi yang dilakukan gereja-gereja Katolik dan Kristen pada tahun 1962 adalah untuk menyusun rencana pengonversian iman muslim di seluruh Jawa dalam kurun waktu 50 tahun. Kebenaran isi pamflet tersebut ditolak keras oleh pihak Katolik maupun Kristen, mengingat kedua agama tersebut tidak pernah bekerja sama dalam hal misionaris dan bahkan kerap terjadi pergesakan diantara keduanya dari segi iman.
  6. ^ Carel Poensen (1872) beranggapan bahwa dalam segi sastra, Suluk Gatholoco kurang berharga dan vulgar meskipun mengangkat tema tentang akhlak dan kebajikan. Ia berusaha agar karya tersebut tidak tersebar karena isinya yang mempermalukan umat Islam dan para pembawanya, serta "kaum putihan" yang menggerakkan reformasi Islam 1870an.
  7. ^ Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, berpendapat bahwa Suluk Gatholoco merupakan pengingat umat Islam bahwa "setelah syariat yang informatif, masih ada bentuk yang lebih lanjut yaitu tarekat yang transformatif, hakekat yang konformatif, dan pada akhirnya akan berpuncak pada makrifat yang illuminatif." Heru Nurcahyo dalam bukunya yang berjudul "Jalan Jalang Ketuhanan" menyatakan bahwa suluk ini "hadir untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri."
  8. ^ Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dalam pembukaan "Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU", 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta, berkata, "Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara".
  9. ^ Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dipandang tidak jelas oleh kelompok Islam sehingga diajukan untuk ditambah tujuh kalimat yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
  10. ^ Mohammad Natsir menyebutkan dalam tulisannya yang berjudul "Islam dan Kristen di Indonesia" bahwa utusan kelompok Kristen dari Indonesia Timur tidak bermaksud melakukan diskusi melainkan menyampaikan peringatan bahwa "ada 7 kata yang tercantum dalam Muqqadimah Undang-undang Dasar Republik yang harus dicabut" atau mereka "tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia."

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Edy Sedyawati (Januari 2011). "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Warta Hindu Dharma NO. 529)". Parisada Hindu Dharma Indonesia. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  2. ^ a b c d e Sukamto (2015). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai Sebelum Masuknya Portugis. Deepublish. hlm. 1-4. ISBN 6022806917. 
  3. ^ Tim Edu President (2015). Tes CPNS 2015 Edisi Lengkap Sistem CAT. Cmedia. hlm. 68. ISBN 6021609875. 
  4. ^ a b "Tengger; Sejarah, Legenda, dan Budayanya". Wacana. 3-10-2015. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  5. ^ Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi ziarah makam leluhur pada masyarakat Jawa". Jurnal Sejarah dan Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. ISSN 1907-9605. 
  6. ^ Dwi Pravita G. (6 Mei 2011). "…Umbul JUMPRIT Sendang MATA AIR Berkah, Yang TAK Pernah KERING…". NRM.News. Diakses tanggal 24 Juli 2016. 
  7. ^ "Penyebaran Agama Kristen di Indonesia". Seputar Pendidikan. 26-11-2014. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  8. ^ a b c d e Jeremy Menchik (2016). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 54-56. ISBN 1107119146. 
  9. ^ a b c d e f Sukamto, Amos (2013). "Ketegangan Antar Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari konflik Perumusan Ideologi Negara sampai Konflik Fisik". 1 (1). Jurnal Teologi Indonesia. 
  10. ^ Rizem Aizid (2015). Islam Abangan & Kehidupan. DIPTA. ISBN 978-602-7695-82-5. 
  11. ^ Riyadi, M. Irfan (2012). "Arah Perkembangan Ajaran Theosofi Islam Dalam Literatur Sastra Pujangga Jawa (Pendekatan Genealogi)". 10 (2). Dialogia. 
  12. ^ Michael Laffan (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. hlm. 51-55. ISBN 6022910587. 
  13. ^ Aryono (12-12-2012). "Kitab Lelaki Sejati". Historia. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  14. ^ Syaifullah (25-5-2013). "Munculnya Gerakan Islam Militan Menjadi Tantangan NU". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  15. ^ Mahbib (22-4-2015). "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  16. ^ Heyder Affan (15-7-2015). "Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara'". BBC Indonesia. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  17. ^ Mohamad Guntur Romli (2016). Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara. Jakarta: Ciputat School. 
  18. ^ "Lima Usulan FPI Dalam Simposium Anti PKI". Front Pembela Islam. 20-2-2016. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  19. ^ a b Wright, Jonathan; Casey, Steven (2015). Mental Maps in the Era of Détente and the End of the Cold War 1968–91. Springer. hlm. 124-125. ISBN 1137500964. 
  20. ^ M.C. Ricklefs (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 480-482. ISBN 9790241151. 
  21. ^ Firman Noor (2-10-2015). "Masyumi dan Sikap Anti-PKI". Republika. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  22. ^ van der Kroef, Justus M. (1961). "New Religious Sects in Java". Far Eastern Survey. 30 (2): 18–15. doi:10.1525/as.1961.30.2.01p1432u. JSTOR 3024260. 
  23. ^ a b c Abdul Moqsit Ghozali (2002). Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan: bunga rampai pemikiran ulama muda. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 145-148. ISBN 9799492580. 
  24. ^ Presiden Republik Indonesia (1965). "PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA". Presiden Republik Indonesia.