Sadrach

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kiai Sadrach)
Radin Abas Sadrach Soerapranata.

Sadrach (lahir tahun 1835 – meninggal di Purworejo, 14 November 1924) adalah salah seorang yang menjadi penyebar agama Kristen (penginjil) di tanah Jawa. Ia dilahirkan sekitar tahun 1835, di daerah Keresidenan Jepara. Sumber lain ada yang mengatakan dia lahir di karesidenan Demak. Gelar imamat Kyai masih melekat hingga kini, karena sebelum menjadi penginjil, dia adalah seorang muslim yang punya banyak pengikut.[1][2]

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru di pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Akan tetapi, setelah belajar di Jombang ia pun hijrah ke Semarang dan bertemu dengan seorang penginjil yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo tersebut.

Di dalam proses Kelas Katekisasi tersebut, ia berkenalan dengan seseorang yang sudah sepuh (tua) bernama Ibrahim Tunggul Wulung yang asalnya sedaerah dengan Radin, yaitu dari daerah Bondo, Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menyatakan kehendaknya menjadi murid Tunggul Wulung.

Dibaptis[sunting | sunting sumber]

Setelah menjadi murid Tunggul Wulung, mereka berdua pun sempat bepergian ke Batavia. Di Batavia inilah Radin dibaptis pada tanggal 14 April 1867 dan menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Saat dibaptis dia berusia 26 tahun dan memiliki nama baptisan Sadrach. Semenjak saat itu dia tidak lagi dipanggil Radin Abas, akan tetapi Sadrach Radin yang lambat laun hanya dipanggil Sadrach saja. Sejak saat dibaptis itulah dia bertugas untuk menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen, dari rumah ke rumah di seputar Batavia.[3]

Setelah dibaptis dan menyebarkan brosur-brosur kekristenan, Sadrach pun kembali ke Semarang. Di sana Tunggul Wulung telah mendirikan beberapa desa Kristen, yaitu Banyutowo, Tegalombo, dan yang paling terkenal adalah desa Bondo di Utara Jepara.

Setelah sempat menjadi pemimpin jemaah Bondo, karena Tunggul Wulung berkeliling untuk menarik orang-orang untuk tinggal di Bondo. Setelah Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach pun keluar dari Bondo dan keliling menuju Kediri saat berusia 35 tahun dan pergi ke Purworejo.

Di Purworejo-lah Sadrach diangkat anak oleh Pendeta Stevens-Philips. Sadrach tinggal di Purworejo pada tahun 1869 selama setahun dan pindah ke Karangjasa sekitar 25 kilometer sebelah Selatan Purworejo.

Keputusan Sadrach untuk meninggalkan Steven-Philips merupakan keputusan khas dari orang Jawa pada saat itu, yaitu motif kepercayaan diri dan semangat untuk mandiri dan merdeka. Untuk itu pun, Sadrach lebih bebas berkarya tanpa di bawah pengawasan Philips lagi.

Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, desa tetangga, adalah orang pertama yang dikristenkan oleh Sadrach dengan metode debat umum. Orang kedua yang dikristenkan adalah Kasanmetaram yang terkenal pada zaman itu. Metode yang dipergunakan oleh Sadrach adalah debat yang berlangsung hingga beberapa hari lamanya.

Semenjak itu orang yang berdebat dan akhirnya tidak lagi ikut katekisasi dengan Steven-Philips, akan tetapi menerima ajaran katekisasi dari Sadrach. Namun hubungan Sadrach dengan Stevens-Philips tetap berlanjut. Sadrach menganggap Philips sebagai pelidungnya secara formal yang menjembatani dengan para penguasa Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh Pendeta dari Pekabar Injil Belanda.[4][5]

Sadrach di tengah Kristenisasi Zending[sunting | sunting sumber]

Pengabaran Kristen Sadrach sebenarnya mendapat pertentangan yang cukup berat dari kelompok zending. Semua zending rata-rata bekerja di Nusantara pada abad ke-19 dan ke-20. Saat itu, atau sekitar tahun 1817-1942, zending kolonial Belanda yang bertugas umumnya adalah zending Barat, walaupun mereka seringkali melibatkan kelompok pengabar pribumi atau disebut zending Nusantara. Zending Barat yang ada berasal dari Belanda, Jerman. Swiss, dan Amerika. Zending Belanda misalnya Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), Nederlandsch Zendings-Vereeniging (NZV), Utrechtsche Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV), dan Gereformeerde Zending. Zending Jerman adalah Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) dan dari Swiss Basler Mission. Kemudian zending Amerika diantaranya Board of Foreign Mission of the Methodist Episcopal Church. Adapun yang berasal dari Inggris diantaranya London Missionary Society (LMS) yang benerja di Hindia Belanda mulai abad ke-19. Ada beberapa perbedaan mendasar antar organisasi zending, tetapi umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, kebanyakan zending dari Barat bukanlah zending gerejawi, dalam artian bukan zending yang didirikan dan diurus gereja. Itu berarti kebanyakan zending didirikan dan diurus secara partikelir oleh anggota jemaat yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh persaingan. Zending semacam itu selalu mengukur jumlah jemaat dengan nilai bersifat materi. Kedua, karena itu kebanyakan zending Barat tidak mau memebawa ajaran tata gereja dari gereja tertentu ke Nusantara.

Sementara gerakan zending yang bertugas di Karesidenan Bagelen, Banyumas, dan Pekalongan berasal dari unit Nederlands Gereformeerd Zendings-Vereeniging (NGZV). NGZV didirikan pada Desember 1858 di Nederland dan bulan April 1859 di Utrech oleh Ds. C.Schwartz. Ekspedisi zending pertama kelompok NGZV dilakukan pada tahun 1860 oleh Wilkens di Salatiga. Aktivasinya dilanjutkan A Vermeer dengan menyertakan 34 orang jemaatnya dari Belanda ke Banyumas dan Pekalongan. Schwartz sendiri lalu bertugas melakukan pengabaran di Maluku dan Tegal. Tidak kalah menarik dengan usaha pengabaran mirip PA dari tuan dan nyinya Oostrom di Banyumas. Keduanya telah memiliki 60 anggota jemaat yang kebanyakan berasal dari pekerja peternakan, perkebunan dan usaha lain, mirip usaha pengabaran Oostrom, Mevr. Philips melakukan hal yang sama di Desa Ambal Karesidenan Bagelen.

Perkembangan Kristen di pedesaan Jawa Tengah terdapat dua pola, khususnya sesaat setelah munculnya gairah dari pengabar pribumi. Pola pertamanya mendampingi kekaryaan zending. Komunitas Kristen formal dalam arti adanya struktur organisasi kekristenan yang lengkap dan rapi seperti majelis, pepantan, klassis, dan sinode merupakan pola yang diwariskan gerakan zending. Waktu itu zending kerap mendirikan Indische Kerk di berbagai wilayah Kristen (christen-gemeenten). Pada awalnya pola tersebut berkembang dan menyerap banyak jemaat di wilayah perkotaan. Sementara pola kedua umumnya diusung oleh pengebar pribumi seperti Sadrach yang mirip-mirip perkumpulan tarekat dalam Islam. Tidak ada struktur organisasi yang ketat, tetapi memiliki sosok kultus bagi patron jemaat. Komunitas Sadrach sering disebut Kerasulan. Karena komunitasnya yakin banhwa Sadrach adalah Rasul Tuhan yang dikirim khusus untuk orang Jawa. Walaupun Sadrach sendiri lebih suka menyebut komunitasnya sebagai “Wong Jawa Kristen Kang Mardika”. Masing-masing pola tentu berdampak pada perbedaan ajaran dan ritual. Perbedaan ini didasari pada pertimbangan penyesuaian dengan kondisi lokal, penafsiran ajaran, dan kemampuan mengakomodasi pelajaran-pelajaran yang diterima sebelumnya.

Beberapa manuskrip kerap meyebutkan bahwa jemaat Sadrach yang lebih dahulu mengembangan kekristenan di pedesaan Dieng. Majelis atau pepantan Karangkobar misalnya, pertama kali didirikan oleh Dangin San dan Kouw Tek San pada tahun 1892. Demikian pula dengan majelis-majelis di wilayah Batur, Pweden, dan Wanayasa didirikan oleh murid Sadrach Tidak ketinggalan, Kasimpar adalah salah satu dari beberapa wilayah yang dibuka hutan oleh Sadrach. Jemaatnya lalu mendirikan masjid dan majelis di Kasimpar, Cepiring, Katembelan, dan Purbo. Sebagaimana disebut di atas, pada awalnya, Komunitas Sadrach menjadi anak didik dari zending, tetapi dalam pengembangan Kristen, mereka lebih memilih format dan strategi sendiri. Masyarakat miskin dan berpenyakit selalu mengharapkan kedatangan Sadrach seperti layaknya seorang Ratu Adil. Mereka beranggapan dan berkeyakinan bahwa Sadrach dapat memberi kesejahteraan, perdamaian, keadilan, dan kemakmuran bagi kaum pribumi. Pada setiap wilayah yang dibuka Sadrach dan muridnya, komunitas Kerasulan dapat berkembang pesat dan bersifat fanatik di awal-awal perkembangannya.

Di satu sisi Komunitas Sadrach menjadi cermin keberhasilan pengembangan Kristen pribumi, tetapi di sisi lain, tumbuh pesatnya Komunitas Sadrach dalam paham Kristen berbeda dengan zending, sangat menghawatirkan terjadinya ketidakmurnian agama. Secara politis, kekuasaan Sadrach dan massa fanatik juga mengundang kekhawatiran terjadinya pemberontakan terhadap pemerintah. Kemungkinan itu yang mendorong organisasi zending (zendingconsulaat) dan himpunan pengabar pribumi hasil zending, diwadahi oleh Pesamoehan-pesamoehan Gereformeerde ing Djawi Tengah Sisish Kidoel, mengupayakan proses pemurnian Komunitas Sadrach ke dalam gereja-gereja mereka. Atas dasar kedekatan ajaran, ritual, dan kesamaan bibit Kristen yang sama-sama berasal dari paham Gereformeerde, komunitas Sadrach paling cocok diakuisisi ke dalam GKJ, sebagaimana disebutkan dalam Akta Sidang Klasis Banyumas Utara Ke XX17-18 Juli 1961.

Jauh sebelum GKJ mengakuisisi Komunitas Sadrach, komunitas ini sebenarnya telah menguasai paham kekristenan di dua pedesaan. Sebelum tahun 1957, Komunitas Sadrach di Kasimpar telah mencapai jumlah 517 orang, atau hampir sama dengan jumlah semua orang Kristen di pedesaan itu. Jumlah yang besar disebabkan oleh keberadaan majelis dan masjid yang terus melakukan “hubungan spiritual” dengan Gereja Kerasulan yang ada di Karangyoso. Tidak demikian dengan Karangkobar, di wilayah ini tidak ada masjid Sadrach yang dibangun Komunitas Sadrach, di Karangkobar lebih banyak menghimpunkan diri pada pepantan nongereja yang tersebar. Ketidakmatangan pepantan untuk menjadi majelis tidak berdampak pada penambahan jumlah Komunitas Sadrach. Dalam sebuah wawancara dengan Marmowitono disebutkan bahwa Komunitas Sadrach di Karangkobar sebelum tahun 1957 hanya mencapai bilangan 162 orang. Mereka tersebar di seluruh pedesaan Karangkobar tanpa ada koordinasi yang baik.

Komunitas Sadrach beserta anak cucunya kemudian terpecah menjadi tiga kelompok. Peristiwa ini terjadi pada rentang waktu 1958-1987. Tahun 1957 merupakan proses resmi akuisisi Kerasulan Kasimpar ke GKJ. Rasa kaget atas akuisisi tersebut masih dirasakan mantan anggota Jamaah Kerasulan. Konversi orang-orang PKI di tahun 1966 juga memberikan arah baru bagi pemantapan akuisisi, juga dengan kedatangan pendeta bernama Kristian yang kharismatik-purifikatif di tahun 1987, akan menegaskan model diri sebagai orang Kristen GKJ. Ada jemaat yang tetap bertahan mengikuti keyakinan dan tradisi seperti apa yang digariskan Sadrach. Mereka yang masuk kelompok ini jumlahnya tidak mencapai 15%. Kebanyakan dari Komunitas Sadrach, sebesar 75% menerima pemurnian Kristen dan akuisisi Kristennya ke GKJ. Kelompok ketiga sebanyak 10% dari Komunitas Sadrach lebih memilih masuk Islam. Mereka menganggap bahwa Islam lebih mempribumi ketimbang Kristen GKJ yang bersifat Eropa. Setelah tahun 1987-2005 Komunitas Sadrach di dua desa atas betul-betul tenggelam dan menerima pemurnian Kristen dari GKJ.

Hampir 99% kelompok Kristen di Kasimpar diakuisisi oleh paham Kristen GKJ. Sementara hanya 1% dianut paham kegerejaan lain seperti Baptis, Advent, dan Pantekosta. Dalam posisi ini, Kristen warisan zending kemudian tetap eksis di Kasimpar. Demikian halnya di Karangkobar, Komunitas Sadrach menerima pemurnian Kristen beserta afiliasinya ke GKJ. Sebanyak 87% Komunitas Sadrach menerima GKJ, dan 5% dari Komunitas Sadrach yang berasal dari etnis Cina lebih memeilih menjadi anggota GKI, dan bergabung bersama jemaat yang sebelumnya ada di gereja Hervormd Wonosobo dan perkumpulan THKTKH-CHH. Sebanyak 3% memeilih paham gereja lain, dan 4% lainnya disinyalir masuk ke Islam. Meskipun demikian, Komunitas Sadrach di GKJ pun kemudian terpecah ke dalam varian-varianinternal keberagamannya.

Identitas Kesadrachan dalam Budaya Naluri[sunting | sunting sumber]

Secara umum, dapat dikatakan bahwa komunitas zending menentang Sadrach beserta komunitasnya sebelum mereka diakuisisi ke dalam GKJ. Oleh karena itulah, beberapa variasi internal kekristenan dipengaruhi oleh pertentangan itu. Demikian juga pola-pola hubungan internal varian di antara mereka sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai interaksi tradisionalisme dengan modernisme progresif. Siapa kemudian yang agresif? Sifat semacam ini tergantung pada wilyahnya masing-masing. Setelah diakuisisi, secara kelembagaan, konflik internal varian besar Kristen tidak begitu tampak. Komunitas Sadrach, yang ada sekarang tidak lagi bersifat majelis gereja. Ritual mereka masih mengikuti tradisi yang telah ditetapkan GKJ. Walau demikian, komunitas Sadrach sesungguhnya melakukan ta’niyah (kamuflase) di dalam GKJ dan GKI. Komunitasnya berdiri sebatas pembentengan ideology versi Sadrach yang masuk dalam kategori Kristen naluri. Berdasarkan kasus di wilayah Kasimpar, pihak GKJ Kasimpar menganggap sifat ta’niyah atau ideology komunitas Sadrach bukan sebuah ancaman yang membahayakan GKJ. Sebaliknya, bagi GKJ sendiri ancaman terbesar berasal dari paham-paham gereja lain baik bersifat kolektif (sinode) ataupun kharismatik non-struktural (karunia ruh yang bertutur). Secara eksternal, tentu Islam beserta varian internalnya menjadi ancaman serius bagi kelompok Kristen secara kelembagaan maupun perorangan.

Sebagai orang desa, Komunitas Sadrach tentu tidak memiliki keberanian besar untuk melawan secara konsep dan fisik dari kelembagaan GKJ. Mereka juga mustahil mengumpulkan pepantan-pepantan Sadrach yang berserakan di wilayah pegunungan Dieng. Selain usia mereka telah sangat lanjut taua masa generasinya tidak pernah berjumpa langsung dengan Sadrach, juga tidak adanya pimpinan dan dukungan organisasi yang dihasilkan dari generasi penerus Sadrach. Memang sejak tahun 1988-2005 telah lahir paham gereja Kerasulan Baru di Bagelen. Namun, ajaran mereka tidak selaras lagi dengan ide-ide yang digariskan Sadrach.

Seperti disebutkan di atas, bahwa interaksi antarkelompok Kristen sesungguhnya terbagi ke dalam tiga kualitas, yaitu Kristen taat, Kristen naluri (Kristen Sadrach dan Kristen abangan) dan Kristen KTP (beli taat). Kualitas pertama adalah kelompok Kristen taat. Dalam konteks lokal, kualitas ini dilekatkan bagi mereka yang masuk dan aktif dlam identitas kekristenan GKJ dan GKI. Gereja-gereja semacam Baptis dan Advent berada di kawasan perbatasan klaim kebenaran. Tidak jarang, kelompok Kristen taat ini memberikan penilaian miring atas keberadaan dua jemaat gereja itu. Mereka bahkan dimasukkan ke dalam kelompok Kristen beli taat alias KTP. Bagi kelompok Kristen taat, GKJ Kasimpar dalam bentuk fisik dan ideologinya adalah pusat konsentrasi seluruh partisipasi sosial dan keaagamaan, termasuk juga ekonomi keluarga. Seluruh potensi dan rangkaian partisipasi itu diarahkan untuk mendukung berjalannya poros kekuatan gereja. Tanpa pikir panjang mereka mengumpulkan derma non-sedekah (di luar kolekte) berupa uang, beras, gula, petaakan tanah, dan kayu potongan demi suksesnya putaran kegiatan gereja, dan penyelenggaraan pendidikan SD Kristen Kasimpar. Identitas kelompok Kristen taat lebih banyak dipegang secara komunal oleh jaringan keluarga enam dari dekapan trah generasi Kristen murid Sadrach di Kasimpar yang mengafiliasikan diri ke GKJ setelah tahun 1952, walaupun secara organisasi terpusat akuisisi itu dilakukan sejak tahun 1924.

Kelompok kedua, orang-orang Kristen yang masuk dalam kategori Kristen naluri. Identitas naluri dan “setengah” sengaja dilekatkan berdampingan dengan Kristen karena terdapat banyak pertimbangan, seperti keabsahan kekristenan, praktik ritual keagamaan yang tercampur dengan naluri (tradisi) Kasimpar, prinsip-prinsip hidup yang dipegang, dan tata cara mereka bergaul dengan orang Kristen sendiri. Dengan banyak pertimbangan, sesungguhnya identitas tersebut ingin dilekatkan kepada prinsip dasarkristen Sadrach, atau sengaja membaur dan membentuk Komunitas Sadrach. Walau jumlah mereka tidak mencapai 10% dari jumlah orang Kristen GKJ, tetapi jumlah ini membuat “hati tidak nyaman” bagi kelompok status quo, yaitu komponen formal kegerejaan GKJ yang menyebut dirinya sebagai Kristen taat. Para pendeta, konsulen, guru injil, dan pengurus majelis gereja kerap menyebut mereka dengan “orang Kristen yang masih di dalam hutan Karangyoso”.

Dalam konteks Kaismpar, pendukung setia dari kelompok Kristen naluri di atas berasal dari satu garis keluarga keturunan mantan murid Sadrach yang bernama Partarejo. Keluarga ini sangat enggan melepaskan ke-Sadrachannya. Mereka memberi alasan bahwa prinsip-prinsip dan ajaran ajaran Sadrach sangat cocok bagi rasa kepercayaan diri terhadap Yang Kuasa. Di bawah ini ada pernyataan kedekatan agama dengan budaya setempat yang berasal dari kelompok Kristen naluri.

“Bagaimana mau memisahkan alam dengan Tuhan kita? Bagaimana pula kita mau melepaskan keris-keris kita, padahal dia adalah tetesan darah Sang Kristus? Bagaimana pula kami harus berpindah ke GKJ, padahal kami telah diberi wangsit oleh nenek moyang kami, untuk tetap berkunjung ke Karangyoso? Bagaimana pula kami harus mempercayai seorang pendeta yang berpakaian seperti kaum penjajah, padahal kami adalah orang pribumi? Bagaimana kami bisa memerdekakan diri, bila kami harus terikat aturan klassis yang merepotkan keuangan kami?”.

Demikian satu deretan keluh kesah dan prinsip terucap, suatu uangkapan berbagi rasa dari keturunan Partorejo, yakni Masmuan, Jayadi, dan Supranoto. Walaupun berbeda prinsip, mereka tidak mengganggu Kristen taat dan gereja GKJ. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dari kutipan di atas hampir sama persis dengan prinsip-prinsip dasar Sadrach dan para muridnya di Karangyoso.

Kelompok terakhir, orang Kristen KTP atau wong beli taat. Mereka seperti kelompok Islam yang bertipologi sama, yaitu orang-orang malas beribadah dan di sisi lain kerap mempraktekkan kehidupan kejawen tanpa kemasan Kristen, bukan pula jenis orang yang mengikuti jejak Kristen Sadrach. Di dalamnya juga termasuk orang-orang yang terkena predikat “jatuh dosa” yang tidak segera mengurusi administrasi dan pertaubatan ke dan dari gereja. Mereka tidak pernah mengikuti kegiatan, ritual-ritual, dan perkumpulan doa yang diselenggarakan gereja. Jumlah mereka mencapai 15% dari keseluruhan orang Kristen di Kasimpar.

Seperti halnya kaum abangan pada kelompok Islam Kristen naluri dan Kristen beli taat hampir sama. Mereka mencapur-adukkan konsepsi-konsepsi jawa dengan keyakinan Kristen. Kelompok ini adalah sisa kelompok Kristen yang menjauhi dan masih mendendam dari sentuhan perintah dan pengajaran pendeta kharismatik yang bernama Kristian di tahun 1987. Mereka tidak menuruti perintah bukan berarti tidak meyakini ketuhanan atau ritual Kristen, tetapi meraka hanya tidak ingin meninggalkan naluri yang telah diwariskan secara turun temurun. Bagi mereka, mengehntikan naluri dalam keyakinan benda-benda keramat dan laku, berarti telah menyalahi tradisi budaya keluarga. Orang bisa dianggap baik dan berbakti, bila mereka masih menghormati dan menghargai kehadiran nenek moyang saat mereka beraktivitas dalam siklus kehidupannya.

Kelompok Kristen beli taat sebenarnya hampir mirip dengan kelompok Komunitas Sadrach. Bedanya terletak pada ketidakmauan mengakui Sadrach sebagai Rasul Kristen. Mereka tetap mengakui bahwa Yesus dan 12 Rasul adlah Tuhan dan nabinya. Mereka tidak mau mengikuti perjalanan selasa selapanan yang kerap dilakukan kelompok Kristen naluri di atas. Kelompok Kristen beli taat seolah mem-patron-kan diri kepada Sumadi, mantan anggota PKI yang melakukan konversi ke Kristen di tahun 1966. Sumadi mempunyai daya pikat dan kharisma yang dapat memobilisasi sebagian massa Kristen. Kharisma atas dasar kekuatan alam dan sesuatu di luar alam, seperti magi dalam pengertian Frazer, sebagai suatu orientasi kea rah roh, dewa-dewa atau hal-hal lain yang melampaui susunan alam atau kosmos fisik ini. Karenanya, magi sama sekali tidak berkaitan dengan agama, diperoleh dari kegiatan laku yang sering dilakukan di bekas candi peninggalan Hindu di Gumelem, Telaga Hendra, dan pegunungan Dieng. Sumadi pun menjadi anggota dari perkumpulan Hyaning Purbojati, sebuah lembaga kepercayaan khas masyarakat pedesaan Dieng yang meyakini bahwa Dieng adalah poros dunia.

Kelompok Kristen taat memosisikan diri sebagai kelompok yang berpaham purifikatif. Sedangkan dua kelompok Kristen terakhir dapat dikategorikan kelompok keagamaan yang berpaham akomodatif atas tradisi dan budaya lokal. Kelompok terakhir dalam tataran interaksi sosial paling cocok bergaul dengan kelompok kedua dan dalam banyak kasus kontak-kontak dengan kelompok Muslim pun dilakukan oleh mereka. Akhirnya, atas dasar prinsip tepaseliru dan ora tega warase, ora tega patine, kelompok kedua dan ketiga dapat bergaul baik dengan kelompok Kristen pertama, maupun dengan komunitas Islam sekalipun. Seandainya dua kelompok berbeda keagamaan itu, khususnya pada masing-masing tingkat pertama dan kedua mau menyelesaikan masalah-masalah (konflik) sosialnya. Kelompok terakhir sebenarnya paling cocok diposisikan sebagai fasilitator atau mediator dari masing-msing kepentingan kelompok. Namun, karena ketiadaan niat untuk duduk bersama dan menemukan solusi, mereka pun malah diacuhkan dari gereja.

Dari sekian aspek identitas dan interaksi sosial di atas, sepertinya tradisi naluri yang kemudian menjadi dasar dalam pelekatan varian internal Kristen dan Islam, menjadi penting untuk dibahas sebagai mekanisme internal perekat harmoni kelompok-kelompok masyarakat di pedesaan Jawa, khususnya desa-desa yang dibuka oleh Kiai Sadrach. Tradisi naluri yang kemudian dipraktekkan menjadi budaya bersama itu merupakan cara hidup masyarakat dalam memahami orang, baik dalam satu agama yang sama ataupun mereka yang berbeda agama tanpa konflik dan tanpa pula meninggalkan pengakuan kebenarannya secara internal. Kharisma kepemimpinan, walaupun itu pun bersifat mitologis sekalipun, telah mengayomi semua orang dengan berbagai warna agamanya, dalam penyelesaian masalah dengan cara mengembalikan kepada mitologi yang ada sebelumnya telah membuat praktek budaya harmoni menemukan konteks ruang dan waktunya. Dapat dikatakan bahwa konsepsi dan praktik budaya naluri tersebut terlahir dari lintasan kesejarahan sebelumnya, yaitu kerjasama para pembabad alas yang berbeda agama dan keyakinan; Ki Cirebon Purwojati (mewakili Islam); Kiai Sadrach (mewakili Kristen); dan Ki Ageng Panderesan (mewakili kelompok abangan); yang membangun pemukiman bersama dan kemudian mengembangkan startegi kehisupan bersama dalamsemua sendi. Terlebih ketika Kiai Sadrach berusaha mengakomodasi unsur-unsur lokal Jawa dan kepercayaannya masuk dalam bagian terpenting internalisasi ke-Kristenannya. Praktek budaya naluri akhirnya menjadi bagian penting hidup masyarakat yang mampu mengharmonisasikan seluruh ajaran agama-agama tanpa menghilangkan identitas keagamaan dan pengakuan kebenarannya secara internal, dan juga menjadi pusat gravitasi dari kerukunan umat beragama pada konteks lokal.

Ditangkap Belanda[sunting | sunting sumber]

Sadrach menjadi guru yang sangat berpengaruh, karena kemampuannya tidak hanya berdebat umum, akan tetapi juga di dalam menguasai roh-roh kekuatan gelap. Akan tetapi Sadrach sempat ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai ancaman politik yang potensial karena memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pribumi.

Namun Sadrach dibebaskan setelah dipenjara selama hampir 3 bulan, oleh karena Pemerintah Belanda tidak dapat menemukan bukti yang cukup kuat. Setelah keluar penjara, ia kembali dapat bekerja tanpa rintangan. Di dalam metode berikutnya, Sadrach lebih memilih menggunakan simbol. Sadrach tertarik menggunakan simbol yang merupakan aspek yang penting di dalam kebudayaan Jawa. Simbol yang dipilihnya adalah sapu, yang dibagikannya kepada 80 kelompok jemaat setempat. Ia memberikan sapu dengan pesan bahwa jemaat harus bersatu dan kuat, terikat satu sama lain bagaikan sapu yang diibaratkan sebagai Yesus.

Gereja Kiai Sadrach[sunting | sunting sumber]

Karya sosial yang semasa hidup yang ditinggalkan oleh Kiai Sadrach adalah berupa bangunan gereja beserta kompleksnya, yang sekarang dihuni oleh anak keturunannya. Meskipun fungsinya sudah menjadi gereja, bangunan ini lebih menyerupai masjid, dan terkenal dengan nama Gereja Kiai Sadrah. Uniknya, ciri kekristenan sama sekali tidak tampak pada bangunan ini. Di bagian atas atap terpasang lambang senjata cakra, bukan tanda salib. Arsitektur asli gereja ini masih dipertahankan sebagaimana layaknya masjid. Di bagian dalam, ruang kecil menjorok yang biasa digunakan berdiri imam dijadikan mimbar untuk kotbah para pendeta. Sedangkan di bagian kiri dan kanan merupakan tempat duduk para majelis. Selain menjadi tempat wisata umat kristiani, kompleks yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas ini, juga sering didatangi oleh para peneliti dalam rangka menyusun disertasi.[6][7]

Akhir kehidupan[sunting | sunting sumber]

Makam Kiai Sadrach.

Pada 14 November 1924 di dalam usianya yang mendekati 90 tahun, Radin Abas Sadrach Supranata meninggal dunia. Saat pemakamannya hadir kerabat-kerabatnya seperti Bupati Kutoarjo dan Kulon Progo. Sehingga tampak jelas bahwa Sadrach telah dikenal luas pada zaman itu.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "diakses Rooang, 6 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-05. Diakses tanggal 2015-02-06. 
  2. ^ "Wikipedia English, diakses 6 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-08. Diakses tanggal 2015-02-06. 
  3. ^ "Kompasiana, diakses 6 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-08. Diakses tanggal 2015-02-06. 
  4. ^ Biokristi, diakses 6 Feb 2015
  5. ^ "Arkeologi, diakses 6 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-06. Diakses tanggal 2015-02-06. 
  6. ^ Karangyoso, diakses 6 Feb 2015
  7. ^ "BPK Gunung Mulia, diakses 6 Feb 2015". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-07. Diakses tanggal 2015-02-06. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Suatu Ekspresi Keristenan Jawa pada Abad XIX, oleh Soetarman Soeediman Partonadi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001
  • Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa, oleh C. Guillot, Jakarta Grafiti Pers
  • Sadrach, Seorang Pencari Kebenaran, Sebabak Sejarah Pekabaran Injil di Jawa Tengah, oleh I. Sumato Wp, Jakarta BPK Gunung Mulia 1974.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]