Zaman Logam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Zaman logam atau masa perundagian di dalam peradaban bergantung pada logam. Sifat Batu yang tidak lentur; batu tidak bisa dibentuk sesuai kebutuhan; batu tidak bisa digurinda hingga sisinya tajam. Tidak mengherankan bahwa di masa itu manusia mulai mencari pengganti batu pada logam yang lebih mudah dibentuk dan lebih lunak seperti emas, perak, timah, dan tembaga. Orang-orang Indian Amerika mendapatkan tembaga dari pertambangan dekat Danau Superior (Lake Superior) dan mengolah logam itu menjadi mata panah, pisau, dan kapak, dengan meniru peralatan dari batu. Bangsa barbar lainnya telah melakukan hal yang sama. Pada kenyataannya, menempa logam umumnya lebih dahulu dilakukan sebelum melebur logam.[1]

Penghargaan untuk penemuan metalurgi perlu diberikan pada orang-orang Mesir, Beberapa dari sebagian besar kuburan kuno di Mesir, yang tertanggal dari 4.000 S.M., berisi jarum dan alat pahat yang dibuat dengan cara melebur bijih-bijih tembaga kasar yang ditemukan di lembah Nil. Orang-orang Babylonia mungkin memperoleh tembaga dari wilayah yang sama. Sumber lain tembaga adalah pulau Siprus, yang kaya dengan kandungan tembaga. Nama pulau Siprus ini memiliki "tembaga" atau "cooper" (bahasa Yunani Kupnas). Peralatan tembaga secara perlahan menyebar ke Eropa, dan dengan digunakannya peralatan logam, Jaman Logam menggantikan Jaman neolitikum. Tetapi peralatan tembaga terlalu lunak sehingga bagian yang tajam tidak bertahan lama. Sejumlah tukang besi kuno, yang lebih berbakat daripada tukang besi sebelumnya, menemukan bahwa penambahan sedikit timah pada tembaga menghasilkan logam yang lebih keras dan kenyal yang dinamakan perunggu. Dimana penemuan sederhana tetapi paling penting ini terjadi. Perunggu muncul di Mesir setidaknya di awal 3000 S.M. dan kemudian menyebar ke Siprus, Crete, Asia Kecil, dan pantai Yunani. Para pedagang secara bergantian membawa logam baru ini ke seluruh Eropa.[1]

Daya tahan dan kekerasan besi pasti telah dilihat oleh para metalurgis, tetapi, jika dibandingkan dengan tembaga dan timah, besi sulit untuk ditambang dan dilebur. Karena itu pengenalan besi terjadi di periode akhir, dan di beberapa negara setelah dibukanya era sejarah, orang-orang Mesir tampaknya telah menggunakan besi sebelum 1500 S.M. Mereka menamakan besi "Logam dari Surga", seolah-olah mereka mendapatkan besi dari meteorit. Di lima buku pertama Injil, besi disebutkan hanya tiga belas kali, walaupun tembaga dan perunggu disebutkan empat puluh empat kali. Dalam puisi Homer Yunani kuno kita mendapati bahwa besi sangat berharga sehingga satu gumpalan besi senilai satu hadiah utama lomba atletik. Eropa barat dan utara mengenal besi di seribu tahun terakhir sebelum Kristus.[1]

Kualitas super besi menjadikan besi sebagai logam utama di antara logam-logam lainnya. Namun demikian, bangsa-bangsa tanpa pengetahuan tentang besi masih bisa dijumpai di wilayah-wilayah terpencil di dunia ini. Suku-suku Australia, misalnya, terus membuat peralatan dari batu bentuknya masih kasar seperti peralatan batu buatan saat Paleolitikum di Eropa. Pulau-pulau di Samudera Selatan, d nakan fermasi khususnya, tidak memiliki kandungan logam. Pada kepulauan ini, ketika ditemukan beberapa abad yang lalu, masih di Jaman Batu, tidak tahu apa-apa tentang besi sehingga mereka menanam kuku besi yang didapat dari orang-orang Eropa dengan harapan bisa menumbuhkan kuku besi tersebut. Di antara orang-orang Malaya dan negro Afrika, pengetahuan dan penggunaan besi terjadi segera setelah Jaman Batu. Orang Indian Amerika, sebelum penemuan Dunia Baru, tidak tahu apa-apa tentang besi, Sebagian besar dari mereka menggunakan peralatan batu seperti yang digunakan orang-orang neolitikum Eropa, bersama dengan tembaga, emas dan perak yang belum dilebur. Namun demikian, di Meksiko dan Peru, tembaga dan perunggu (lebur telah dikenal, India, Indo-China, dan China juga memiliki bukti penggunaan tembaga, perunggu, dan besi.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Hutton, Webster (2021). World History: Sejarah Dunia Lengkap. Yogyakarta: IndoLiterasi. hlm. 18–20. ISBN 978-602-0869-90-2.