Wayang Kulit Palembang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Tutup lawang Sigotaka dari wayang kulit Palembang yang digelar pada 30 Juni 2019 di The Sultan Convention Center

Wayang Kulit Palembang adalah sebuah bentuk pewayangan dengan visi dan versi dari masyarakat Palembang itu sendiri, jenis kesenian ini diperkirakan tumbuh pada sekitar abad 19 (tahun 1800an) pada masa pemerintahan Arya Damar. Bentuk fisik wayang Palembang sama dengan yang ada pada wayang purwa milik suku Jawa sehingga yang membedakan diantara keduanya adalah bahasa pengantarnya dimana wayang Kulit Palembang menggunakan bahasa Melayu Palembang[1] baik dialek Pasaran maupun Bebaso.

Rekaman pagelaran Wayang Kulit Palembang pada tahun 1970 oleh dalang Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid dengan lakon Pandito Cakromayo yang digelar di sanggar Sri Palembang

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kayon Wayang Kulit Palembang yang asli dengan tinggi sekitar 70 cm sedang dipegang oleh tetangga Kiagus Rusdi Rasyid (sanggar Sri Palembang)

Palembang dapat dikatakan sebagai pewaris dari kesenian-kesenian yang ada di pesisir utara pulau Jawa, seperti kesenian musik dan drama, hal itu menurut RMH Nato Dirajo yang masih keturunan bangsawan Palembang terjadi dikarenakan kerajaan Palembang menjadi bawahan dari kerajaan Majapahit sejak tahun 1365, setelah Ki Gede ing Temayan (pejabat dari Jawa) datang ke Palembang pada abad ke 16, bahasa dari pulau Jawa tersebut kemudian menjadi bahasa pergaulan dikalangan komunitas keraton Palembang. Pada masa selanjutnya, istilah yang biasa digunakan di pulau Jawa seperti negara agung (wilayah utama kerajaan) dan mancanagara (wilayah provinsi) mulai dikenal dan dipakai secara umum, para pangeran biasanya menguasai wilayah wilayah mancanagara kerajaan Palembang di hulu dan hilir, pada masa itu wilayah mancanegara kerajaan Palembang meliputi wilayah-wilayah yang juga dihuni oleh suku Besemah.[2]

Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid (kedua dari kanan) sedang memegang wayang Bilawa (Birawa) bersama rekannya yang memegang Werkudara Foto diambil pada saat kunjungan wartawan Radio Republik Indonesia ke kediaman Kiagus (Kgs) Amiruddin yang berseberangan dengan rumah Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid tempat dimana wayang-wayang tersebut

Pada tahun 1525, sultan Trenggana menunjuk Ki Gede ing Suro Tuo (Raden Ketib)[3] anak dari adipati Karang Widara (pangeran Surodirejo) untuk menjadi wakil bagi kesultanan Demak di Palembang. Pada masa pemerintahan pangeran Surodirejo, di Palembang terkenal nama pangeran Seda ing Lautan yang merupakan bangsawan Demak yang mengabdikan diri kepada kesultanan Demak.[4] Pangeran Seda ing Lautan gugur dalam penyerangan ke Melaka, keluarganya memang sudah berada di Palembang sebelum beliau meninggal dalam penyerangan ke Melaka yang dikuasai Portugis tahun 1521.

Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid (kedua dari kanan) bersama dengan rekannya yaitu pak Dalyono. Foto diambil pada saat rombongan wayang kulit Palembang sedang berkunjung ke Jakarta dalam rangka festival wayang pada tahun 1970

Raden Ketib resmi menjalankan pemerintahan sebagai wakil Sultan Demak untuk Palembang dari tahun 1528 - 1545[5]

Pada masa selanjutnya, Kemas (Ki Mas) Anom Jamaluddin putra dari Pangeran Wirakusuma (cucu penguasa Cirebon pertama Walangsungsang)[3] dari istrinya Nyimas (Nys) Ilir (anak Pangeran Surodirejo) pergi dari Surabaya menuju Palembang[2] untuk menghindari kemelut tahta kesultanan Demak pasca meninggalnya Sultan Trenggana pada tahun 1546. Beliau naik tahta dengan gelar yang sama yaitu Ki Gede ing Suro untuk menghormati pamannya dikarenakan pamannya Raden Ketib tidak memiliki keturunan. Kemas Anom Jamaluddin inilah yang kemudian mendirikan fondasi kesultanan Palembang Darussalam yang bernuansa Islami.[6]

Kiagus (Kgs) Amiruddin (paling kiri) sedang berdiri dibelakang rekannya ketika menghadiri Festival Wayang 1970 di Jakarta, Kiagus (Kgs) Amiruddin merupakan adik dari Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid, beliau merupakan wiyaga (penabuh Gamelan) pada sanggar Sri Palembang selama tiga generasi, di dalam keluarganya yang satu generasi, beliaulah yang terakhir meninggal.

Sultan Demak (diperkirakan Arya Penangsang) pada masa Palembang dipimpin oleh Kemas Anom Jamaluddin suka membantu penguasa Palembang menghadapi musuh-musuhnya dan hubungan keduanya kemudian diperkuat dengan saling mengirimkan kapal dengan barang muatan yang berharga, misalnya saja barang yang dikirim dari Demak untuk penguasa Palembang berisikan gamelan Slendro, Pelog dan satu set wayang kulit Purwa yang sekarang dikenal dengan nama wayang Kulit Palembang, dikemudian hari juga terdapat kunjungan dari para seniman Demak ke Palembang untuk mengajarkan bagaimana caranya menggunakan gamelan dan memainkannya dalam bentuk sebuah pentas kesenian, cara yang diajarkan para seniman Demak ini kemudian diadaptasikan ke dalam gaya keseharian masyarakat Palembang yang melayu selama berabad-abad.[2]

Pada saat sultan Demak (Arya Penangsang) kalah dalam peristiwa perebutan tahta Demak dengan Hadiwijaya (adipati Pajang, menantu Trenggana) maka Kemas Anom Jamaluddin pada sekitar tahun 1552 tetap mempertahankan dan membawa panji-panji dan piagam Jipang (kerajaan asal wilayah Arya Penangsang, berada disekitar Cepu, Blora, kerajaan Jipang bergabung dengan kesultanan Demak dikarenakan Raden Fatah menikah dengan putri Raja Jipang) ke Palembang[7]

Pada tahun 1575, Kemas Anom Jamaluddin meninggal dunia, beliau hanya memiliki seorang putri yang menikah dengan putera sultan Jambi bernama Abdul Qahar, hal ini membuat putera sultan Jambi mengklaim hak atas tahta tersebut namun ditentang oleh saudara laki-laki Kemas Anom Jamaluddin, diantaranya Kemas (Ki Mas) Depati dan Raden (Den) Arya, perseteruan kemudian dimenangkan oleh saudara-saudara laki-laki Kemas Anom Jamaluddin, Kemas Depati kemudian memerintah hingga meninggal pada tahun 1587, beliau dimakamkan di makam Panembahan (makam Sabakingkin), pengganti beliau adalah Den Arya, namun masa pemerintahan beliau hanya satu tahun disebabkan beliau terbunuh oleh seorang suami yang istrinya diambil oleh sang Raja[5]

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Dalang dan para wiyaga wayang kulit Palembang. Pada acara pemberian gelar adat di keraton Kesultanan Palembang Darussalam oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin Dari kiri ke kanan : Novriananda (asisten dalang/pemain kecrek), Kiagus (Kgs) Wirawan Rusdi (dalang, putera dari Kiagus (Kgs) Rusdi Rasyid), Kiagus (Kgs) Ali Imron (penabuh gambang), Ari Nanda Saputra (pemain gendang)

Pada era masuknya Jepang ke Palembang sekitar 1942, kesenian wayang kulit Palembang dikatakan masih dapat bertahan, penggemarnya kebanyakan berada di kota Palembang dan sekitarnya[8]

Pada tahun 1984, di Palembang hanya tinggal grup Sri Palembang saja yang masih bertahan, grup ini didirikan oleh Rasyid, beliau banyak menggali tentang kesenian-kesenian tradisional Palembang.[9]

Gaya Pagelaran[sunting | sunting sumber]

Foto diambil pada saat rombongan wayang kulit Palembang sedang berkunjung ke Jakarta dalam rangka Festival Wayang pada tahun 1970

Pagelaran wayang kulit Palembang memiliki ciri khas pada tidak digunakannya suluk, pesinden dan dok-dok, berbeda dengan gaya pada pagelaran wayang kulit Jawa yang menggunakan suluk seperti sebuah keharusan, bahkan untuk transisi antar adegan atau dalam adegan itu sendiri sang dalang wayang kulit Jawa bila diperlukan akan melagukan suluk tersebut, pagelaran wayang kulit Jawa tanpa suluk akan dirasakan hambar namun tidak dengan wayang Kulit Palembang, keunikan lainnya dari gaya Pagelaran wayang Kulit Palembang adalah cara penggunaan kecrek, jika pada pagelaran wayang kulit lainnya sang dalang sendiri yang memegang kendali kecrek untuk menambah tekanan-tekanan pada permainan wayangnya, maka pada wayang Kulit Palembang dalang tidak memegang kendali pada kecrek namun orang lain lah yang bertugas memainkan kecreknya[9] karakter bunyi kecrek pada wayang Kulit Palembang sama dengan yang ada pada wayang Kulit Cirebon

Pegelaran dalam pentas wayang kulit Palembang masih memiliki ciri lainnya yaitu hanya menggunakan satu batang pisang untuk penancapan wayang-wayangnya, hal ini berarti dalam pengkategorian (cacak) wayang tidak terdapat klasifikasi derajat antara raja dan bawahannya, antara satria dan punakawan atau antara pendeta dengan cantriknya, dikarenakan seluruh wayang berada pada satu tempat yang sama.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Selvi. 2015. Wayang Kulit Palembang. Palembang: Palembang Tourism
  2. ^ a b c Kartomi, Margaret . 2012. Musical Journeys in Sumatra. Champaign: University of Illinois Press
  3. ^ a b Sunyoto, Agus. 2003. Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar, Volume 5. Bantul: PT LKiS Pelangi Aksara
  4. ^ Sejarah Kesultanan Palembang[1]
  5. ^ a b Abdullah, Drs. Ma'moen.1991. Sejarah Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan
  6. ^ Utomo, Bambang Budi. Mulyawan Karim, Ekowati Sundari. 2009. Treasures of Sumatra. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
  7. ^ Gunawan, Myra. 1999. Musi riverside tourism development: prosiding seminar akademik. Bandung: Penerbit ITB
  8. ^ tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1992. Kongres Kebudayaan 1991, Volume 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
  9. ^ a b c Haryanto, S. 1988. Pratiwimba adhiluhung: sejarah dan perkembangan wayang. Jakarta: Djambatan