Tumenggung Tanubaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tumenggung Tanubaya atau Ki Somahita adalah bupati dari Kabupaten Parakanmuncang. Kabupaten ini ada semasa pemerintahan konial Belanda. Kini Parakanmuncang menjadi sebuah kecamatan dengan berganti nama Cimanggung dan secara administratif masuk ke Kabupaten Sumedang. Tumenggung Tanubaya adalah gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada Ki Somahita, Bupati Parakanmuncang pertama (sekarang Kecamatan Cimanggung bagian Kabupaten Sumedang) karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur tahun 1632. Disebut juga sebagai Adipati Tanubaya I.[1]

Silsilah[sunting | sunting sumber]

Masyarakat sering menyebut Tumenggung Tanubaya sebagai "Dalem Tanubaya". Hal ini tercantum dalam Wawacan Parakanmuncang.[2] Tumenggung Tabubaya adalah putra Tumenggung Demung. Dalam Naskah Wawacan Parakanmuncang ini berisi beberapa buah silsilah yang berhubungan dengan keluarga bangsawan Timbanganten Parakanmuncang, Pagaden dan Sumedang. Pada umumnya silsilah-silsilah tersebut diawali dari Nabi Adam sebagai manusia pertama, kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Wanara dan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, Ratu Galuh dianggap sebagai raja pertama di Pulau Jawa.

Keluarga bangsawan Parakanmuncang muncul sejak Dalem Tanubaya Samaita memerintah Kabupaten Parakanmuncang. Ia putera Tumenggung Demung, cucu Sunan Pagerbatang, cicit Waktuhayu, piut Batara Kawindu. Batara Kawindu putera Sempujaya, cucu Batara Sumaryang, cicit Sumun, piut Demang Batara Sakti. Demang Batara Sakti putera Demung Sadakamulan, cucu Batara Tunggal, dan cicit Prabu Siliwangi.

Sementara itu, Dalem Tanubaya Samaita digantikan oleh saudaranya yang bernama Dalem Dipati Tanubaya, yang lalu dimakamkan di Bujil. Ia berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Karasak, Galunggung, berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Cibodas, Parakanmuncang, berputera Dalem Patrakusumah yang menjadi bupati di Sumedang dan dimakamkan di Jakarta, sebagai Bupati Parakanmuncang diganti oleh menantunya bernama Dalem Suriya Natakusumah, berputera (wanita), Raden Riyakusumah; berputera Raden Ahmad yang menjadi patih Parakanmuncang; berputera Raden Jayuda; berputera Raden haji Ahmad Kanapiyah yang menjadi wedana pensiun Cicalengka dan dimakamkan di Cipetak, Cicalengka.

Selanjutnya, dikemukakan pula secara singkat mengenai kisah (sejarah) bangsawan Parakanmuncang yang bernama Raden Patrakusumah yang memerintah di Sumedang. Ia diangkat menjadi bupati Sumedang, karena yang berhak menjadi bupati Sumedang, di sini disebut Pangeran Sumedang Sepuh, masih kanak-kanak sewaktu kedudukan itu kosong. Raden Patrakusumah membawa seorang putri ke Sumedang bernama Raden Canderanegara. Putri tersebut dinikahkan dengan Raden Suriyanagara, putra bupati Sumedang almarhum yang kemudian menjadi Pangeran Sumedang Sepuh. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang putri bernama Raden Rajanagara Talun. Raden Siruyanagara membenci mertuanya, kemudian ia lari ke Limbangan dan terus ke Cianjur. Di Cianjur Raden Suriyanagara menikah lagi dengan saudaranya Dalem Cikalong Sepuh. Istri kedua pun akhirnya dicerai dan menikah lagi dengan Raden Suradimaja di Sumedang. Dari pernikahan tersebut terakhir mempunyai putra bernama Raden Anggayuda yang menikah dengan Raden Nataningrum, putra Suradireja.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Tumenggung Tanubaya sebagai Umbul Sindangkasih terlibat dalam konflik dengan Dipati Ukur. Ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menyerang Banten. Akan tetapi untuk menyerang Banten telah terhalang oleh keberadaan VOC di Batavia yang sedang membuat benteng pertahanan. Untuk itu Sultan Mataram menghendaki Dipati Ukur yang telah diangkat oleh Sultan Mataram sebagai bupati wedana di Priangan sanggup membantu Sultan Mataram untuk mengusir VOC di Batavia. Guna menyerang VOC, Sultan Agung melakukan berbagai persiapan, disebabkan jalan dan hutan yang harus dilalui belum memadai.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal), agar memimpin pasukan untuk menggempur VOC di Batavia. Setelah kedua pejabat itu berunding, mereka berangkat menuju Batavia. Dipati Ukur memakai jalan darat dan Bahurekso melalui laut, masing-masing membawa 10.000 prajurit. Mereka berjanji untuk bertemu di Karawang. Pasukan Dipati Ukur terdiri atas 9 umbul, yaitu umbul-umbul: Batulayang, Saunggatang, Taraju, Kahuripan, Medangsasigar, Malangbong, Mananggel, Sagaraherang dan Ukur, masing-masing selaku kepala pasukan di bawah komando Dipati Ukur. Pasukan itu berangkat dari Tatar Ukur, melewati Cikao (terletak di Purwakarta sekarang), dan berbelok ke arah utara sampai Karawang.

Umbul Sindangkasih[sunting | sunting sumber]

Serangan Dipati Ukur ke VOC di Batavia mengalami kekalahan. Terjadi konflik antar bangsawan hingga Dipati Ukur kemudian menjadi pemberontak terhadap Mataram. Ia bersembunyi di Gunung Pongporang, Dipati Ukur membangun benteng dan bermusyawarah dengan para pengikutnya. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan penyerangan VOC di Batavia, ia akan mendapat hukuman berat dari Raja Mataram, seperti hukuman yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur berniat membangkang terhadap Mataram. Dipati Ukur menghendaki mereka tetap bertahan di Gunung Pongporang sambil menyusun rencana penyerangan ke Mataram yang sedang berkonsentrasi menyerang Batavia. Namun rencana itu tidak disetujui oleh empat orang umbul pengikut Dipati Ukur, yaitu umbul-umbul Sukakerta, Umbul Sindangkasih (pimpinan Tumenggung Tanubaya), Cihaurbeti, dan Indihiang Galunggung. Keempat umbul itu tidak ingin berlama-lama di Gunung Pongporang. Karena tidak ada kesepakatan, keempat umbul itu akhirnya meninggalkan Gunung Pongporang dan melanjutkan perjalanannya ke Mataram.

Di Mataram, Bahurekso melaporkan kekalahannya kepada Sultan Agung, termasuk tindakan Dipati Ukur menyerang ke Batavia tanpa menunggu kedatangan pasukan Bahurekso. Bahurekso menilai, bahwa kekalahan Mataram disebabkan oleh terpecahnya kekuatan pasukan. Sultan Agung merasa kecewa mendengar laporan tersebut. Kekecewaan itu bertambah ketika keempat umbul pengikut Dipati Ukur telah sampai di Mataram. Mereka melaporkan tentang kekalahan pasukan Dipati Ukur terhadap VOC dan memberitahukan lokasi persembunyian Dipati Ukur di Gunung Pongporang. Kekalahan Dipati Ukur dan tidak kembalinya Dipati Ukur ke Mataram dianggap oleh Sultan Agung sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Versi kisah penangkapan Dipati Ukur, antara lain pendapat Karel Frederik Holle yang menyebutkan bahwa Dipati Ukur tertangkap di suatu tempat sekitar 7 km di sebelah barat Jakarta (sekarang bernama Cengkareng). Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada tahun 1632.

Bupati Sumedang XI (1773 - 1775)[sunting | sunting sumber]

Tumenggung Adipati Tanubaya yang berasal dari Parakanmuncang menjabat Bupati Sumedang pada tahun 1773 - 1775. Dalam Daftar Bupati Sumedang, periode waktu jabatannya semasa zaman kolnialisme VOC, Belanda dan Inggris.

Ia dinilai sangat berjasa oleh Sultan Agung Mataram atas keberhasilannya meringkus Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.

Parakanmuncang Sekarang[sunting | sunting sumber]

Sekarang warga Cimanggung menuntut kepada Bupati Sumedang untuk mengubah nama kembali menjadi Parakanmuncang yang lebih memiliki nilai historis.

Pergantian nama kecamatan tersebut berlatar belakang karena masyarakat luas lebih mengenal nama Parakanmuncang dibanding dengan Cimanggung, dan juga masyarakat berpendapat sejarah Parakanmuncang sebagai nama kabupaten lebih dulu dibadingkan dengan penamaan Cimanggung bahkan dengan Kabupaten Sumedang, kata salah satu tokoh masyarakat dari Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Adipati Tanubaya I - Rodovid ID". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2018-03-21. 
  2. ^ "wawacan sejarah parakan muncang". deanzmpchildz.blogspot.co.id. Diakses tanggal 2018-03-21. 
  3. ^ Center, PT Indonesia News. "Warga Ingin Cimanggung Diubah Jadi Parakanmuncang". Inilah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-20. Diakses tanggal 2018-03-20.