Lompat ke isi

Teologi kontekstual

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Teologi Kontekstual)

Teologi kontekstual adalah cabang ilmu teologi Kristen yang menelaah bagaimana ajaran Kristen dapat menjadi relevan di konteks-konteks yang berbeda.[1] Teologi ini merupakan bagian dari teologi pembebasan.[2] Beberapa contoh teolog yang mengangkat isu teologi kontekstual adalah Kosuke Koyama, C. S. Song, dan Gustavo Gutierrez.[3]

Sejarah Singkat

[sunting | sunting sumber]

Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20.[1] Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.[4] Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi.[1] Namun, ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkulturasi, dan teologi pribumi.[1]

Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga.[4] Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab.[4] Contohnya adalah inkarnasi Yesus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi.[4] Oleh karena itu, para teolog beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya.[4] Istilah-istilah itu adalah pribumi, inkulturasi, akomodasi dan adaptasi.[4]

Model-model Pendekatan Kontekstual

[sunting | sunting sumber]

Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa model pendekatan.[1]

Model Akomodasi

[sunting | sunting sumber]

Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli.[1] Sikap ini dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis.[1] Objek akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal.[1] Dalam pendekatan ini, terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan nilai-nilai Kristiani.[1] Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab.[1] Selama ini, Alkitab dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.[1]

Model Adaptasi

[sunting | sunting sumber]

Model ini berbeda dengan model akomodasi.[1] Model ini tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam nilai-nilai Kristiani.[1] Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam kekristenan.[1] Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab dalam istilah setempat (indigenous terms).[1] Hal ini dilakukan agar istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks yang berbeda.[1]

Model Prossesio

[sunting | sunting sumber]

Prossesio adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif.[1] Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi.[1] Kelompok yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah dirusak oleh dosa.[1] Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan.[1] Model ini juga memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.[1]

Model Transformasi

[sunting | sunting sumber]

Model ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr mengenai Allah dan kebudayaan. Allah dipahami berada di atas kebudayaan.[1] Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia.[1] Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.[1]

Model Dialektis

[sunting | sunting sumber]

Model ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan.[1] Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks juga memberi perubahan bagi Kekristenan.[1] Contohnya dalam teologi, kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan Kekristenan di tengah konteks yang ada.[1]

Matteo Ricci

[sunting | sunting sumber]
Matteo Ricci (kiri) dan Xu Guangqi(徐光启) (kanan) dalam Unsur Euclid edisi Cina(《几何原本》)

Matteo Ricci adalah pastur dari Ordo Yesuit di Italia.[5] Ia diutus menjadi misionaris di Cina selama Dinasti Ming.[5] Ia memperkenalkan budaya Barat ke Cina.[5] Ia juga salah satu misionaris yang menggunakan model pendekatan akomodasi.[5]

Gustavo Gutierrez

[sunting | sunting sumber]

Gustavo Gutierrez adalah seorang imam Katolik.[6] Ia juga seorang teolog.[6] Ia lebih dikenal sebagai teolog pembebasan.[6] Ia mencetuskan ide teologi pembebasan.[6] Ide itu berakar pada konteks saat itu.[6] Ia melihat bahwa gereja tidak memihak kepada yang miskin.[6] Gereja hanya mementingkan dirinya sendiri.[6]

C. S. Song

[sunting | sunting sumber]

Choang Seng Song atau yang dikenal sebagai C. S. Song adalah salah satu teolog kontekstual di Asia.[7] Ia memahami bahwa ilmu teologi yang selama ini diajarkan dan dikembangkan oleh gereja-gereja di Asia tidak menyentuh budaya lokal.[7] Dalam pandangannya, teologi semestinya menyentuh konteks.[7]

Kosuke Koyama

[sunting | sunting sumber]

Kosuke Koyama adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Jepang.[8] Ia tidak hanya seorang teolog, tetapi juga seorang misionaris.[8] Salah satu teologi kontekstual yang ia kembangkan adalah teologi kerbau.[8]

Aloysius Pieris

[sunting | sunting sumber]

Aloysius Pieris adalah seorang teolog dari Sri Lanka.[9] Ia juga ikut mengembangkan teologi kontekstual di negara tersebut.[9] Salah satu bentuk teologinya adalah teologi kemiskinan dan kaitannya dengan pluralisme.[9]

Hope S. Antone

[sunting | sunting sumber]

Hope S. Antone adalah salah satu teolog dari Filipina.[10] Ia mengembangkan teologi kontekstual dengan pendekatan pendidikan Kristiani.[10] Ia memahami bahwa Filipina memiliki teologinya sendiri dari budaya yang ada di negara tersebut.[10] Hal ini dicetuskan karena adanya dominasi teologi Barat yang dianggap mengabaikan konteks masyarakat Filipina.[10]

Tokoh-tokoh yang Mengembangkan Teologi Kontekstual di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Andreas A. Yewangoe

[sunting | sunting sumber]

Andreas Anangguru Yewangoe adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[11] Pendeta yang sering disebut A.A. Yewangoe ini mengembangkan teologi penderitaan dalam konteks Asia, khususnya Indonesia.[11] Ia juga memadukan ideologi Pancasila dengan nilai-nilai Kristiani.[11] Salah satu bukunya berjudul Theologia Crucis di Asia: Pandangan Kristen Asia tentang Penderitaan dan Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila.[11]

Eka Darmaputera

[sunting | sunting sumber]

Eka Darmaputera adalah pendeta dan teolog yang cukup berpengaruh dalam teologi kontekstual di Indonesia.[12] Ia mengembangkan teologi dalam studi Pancasila.[12] Ia juga dikenal sebagai tokoh muda yang memajukan pemikiran teologi di Indonesia.[12] Ia sempat menjabat sebagai ketua Gerakan Mahasiswa Kristen di Indonesia (GMKI).[12]

Emanuel Gerrit Singgih

[sunting | sunting sumber]

Emanuel Gerrit Singgih adalah salah satu teolog Perjanjian Lama di Indonesia.[13] Ia juga mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[13] Ia juga dosen di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).[13] Salah satu bukunya berjudul Berteologi dalam Konteks.[13]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia)Y. Tomatala. 1993. Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar.hal 2. Malang: Gandum Mas.
  2. ^ (Indonesia)Drewes, B. F. dan Julianus Mojau. 2007. Apa itu Teologi: Pengantar ke dalam Ilmu Teologi.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  3. ^ (Inggris)Douglas J. Elwood. 2006. Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaan.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  4. ^ a b c d e f (Inggris)Theological Education Fund Staff. 1972. Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund.England: Theological Education Fund.
  5. ^ a b c d (Inggris)Sunquist, Scott W. 2001. A Dictionary of Asian Christianity.Michigan: William B. Eerdman Publishing Co.
  6. ^ a b c d e f g (Indonesia)Lane, Tony. 2007. Runtut Pijar.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  7. ^ a b c (Inggris)Song, C. S. 1982. The Compassionate God.New York: Orbis Books
  8. ^ a b c (Inggris)Koyama, Kosuke. 2009. Water Buffalo Theology.New York: Orbis Books
  9. ^ a b c (Inggris)England, John C. 2009. Asian Christian Theologies: A Research Guide to Authors, Movements, Sources. Volume 1: Asia Region, South Asia, Austral Asia.New Delhi: ISPCK
  10. ^ a b c d (Indonesia)Antone, Hope S. 2003. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  11. ^ a b c d (Inggris)Yewangoe, A. A. 2009. Tidak Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja, Warga Bangsa.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  12. ^ a b c d (Inggris)Darmaputera, Eka. 1988. Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: a Cultural and Ethical Analysis.Leiden, New York: E.J. Brill
  13. ^ a b c d (Inggris)Hamel, Victorius A. 2010. Gerrit Singgih: Sang Guru dari Labuang Baji.Jakarta: BPK Gunung Mulia