Lompat ke isi

Tantio Adjie

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Tantio Adjie (lahir 28 Oktober 1955) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa lukisan dengan kekhasan gambar pewayangan. Dia telah menggelar pameran di berbagai kota, dalam, dan luar negeri antara lain di Jerman, Amerika Serikat, Belanda, dan Filipina. Tantio merupakan salah satu akademikus di Institut Kesenian Jakarta.[1][2]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Tantio Adjie lahir di Medan, Sumatera Utara. Dia menyelesaikan SMA-nya di Jakarta. Kemudian meneruskan kuliah di Institut Kesenian Jakarta pada di Fakultas Seni Rupa, jurusan seni murni, serta menyelesaikan program pasca sarjana di kampus tersebut dengan judul karya Petruk, Sapa Suruh Datang Jakarta. Kini ia menjadi pengajar Gambar Anatomi, Seni Lukis dan Gambar Dasar pada jurusan seni murni di Institut Kesenian Jakarta. Tantio dikenal aktif mengikuti kegiatan senirupa yang diadakan di dalam maupun luar negeri. Karya pewayangan kerap ia tampilkan dalam beberapa pameran yang di ikutinya. Seperti dalam pameran senirupa yang diadakan di halaman Gedung Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat. Ketika itu, ia mengusung tema Sapa suruh datang Jakarta?, yang juga merupakan sindiran buat kalangan urban (pendatang) di Jakarta. Sindirannya tersebut disampaikannya lewat pajangan wayang dengan tokoh para punawakan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong).[3]

Deretan wayang dengan tokoh sentral Petruk ini mengingatkan setumpuk problem yang sering mencuat di Jakarta, mulai pengangguran, banjir, tingginya kriminalitas, maraknya korupsi di kalangan pejabat birokrat, terpampang lewat tulisan-tulisan yang digores di bagian dada para wayang dengan tokoh-tokoh Punawakan itu. Pajangan wayang ini juga seolah mengingatkan kaum urban agar tidak sembarangan berbondong-bondong mendatangi ibu kota negeri yang penuh masalah ini. Bentuknya memang seperti wayang kulit. Tapi ia membuatnya bukan dari kulit binatang, melainkan dari bahan-bahan kayu lapis, cat minyak, kain layar, dan bambu gerobak. Karena itu wajar kalau jika wayang kulit yang biasanya berwarna paduan kuning keemasan dan hitam itu menjadi berwarna-warni oranye, merah muda, hijau, putih, biru, di tangannya. Lewat karyanya tersebut, Tantio seolah-olah berorasi, memprotes berbagai ketimpangan sosial lewat goresan gambar wayangnya. Beberapa wayang dia bubuhi tulisan "Negara kaya raya, rakyatnya miskin". "Tahanan KPK bisa tertawa?". Sementara wayang lain bertuliskan, "Jual Suara".[4]

Hal yang sama juga ia tampilkan ketika mengikuti pameran bersama senirupa di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2014). Dalam pameran senirupa bertajuk Kasih tak bertepi yang juga di ikuti sejumlah seniman senirupa tersebut, ia menampilkan beberapa karya dengan figur sosok tokoh-tokoh Punawakan dalam dunia pewayangan. Selain di kenal sebagai perupa, ia juga kerap diminta hadir untuk menjadi saksi ahli dalam beberapa kasus pemalsuan dan pelanggaran hak karya intelektual.[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Situs resmi Taman Ismail Marzuki Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 16 Maret 2015
  2. ^ Institut Kesenian Jakarta: Pengajar Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 16 Maret 2015
  3. ^ Nasional-Kompas, diakses 16 Maret 2015
  4. ^ Indonesia Art News Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 16 Maret 2015
  5. ^ Joglosemar: Sidang Pemalsuan kain PT Sritex Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 16 Maret 2015