Tanah Kao

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tanah Kao atau Kao Raya adalah sebutan untuk wilayah yang dihuni oleh suku Kao di Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.[1] Secara administratif, wilayahnya meliputi kecamatan Kao, Kao Teluk, Kao Barat, Kao Utara, dan Malifut.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Dalam jurnal berjudul Situs Kampung Tua Kao: Identitas Asal Usul dan Jejak Peradaban Islam di Wilayah Pedalaman Halmahera Utara yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa hubungan Tanah Kao dengan Kesultanan Ternate di Pulau Ternate tidak banyak disebutkan dalam berbagai literatur. Sebagian besar literatur menyebut tentang Tobelo dalam kaitannya dengan sejarah Hibualamo dan Kerajaan Moro. Namun, berdasarkan tradisi tutur masyarakat menyebutkan bahwa identitas asal-usul komunitas orang Halmahera Utara berasal dari Telaga Lina di Tanah Kao. Atas dasar tradisi tutur itulah yang menjadi dasar penelitian di situs bersejarah Kampung Tua Kao. Penelitian tersebut mengungkap penelusuran identitas komunitas yang mendiami Kampung Tua Kao pada masa lalu dan jejak-jejak peradaban Islam di Kampung Tua Kao dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan, survei lapangan, dan ekskavasi arkeologi. Hasil penelitiannya mengungkapkan berdasarkan hasil penelusuran pustaka dan penelitian terdahulu terdapat sejumlah teori yang menjelaskan identitas asal-usul komunitas Kao. Namun, apabila dirunut ke belakang semuanya berasal dari Telaga Lina di Tanah Kao. Berdasarkan survei dan ekskavasi arkeologi di situs Kampung Tua Kao ditemukan sejumlah tinggalan arkeologis berupa artefak dan fitur. Tinggalan artefak yang ditemukan antara lain beragam fragmen gerabah dan keramik asing, sedangkan tinggalan fitur yang dijumpai antara lain sejumlah makam kuno, nisan makam, lutur, dan umpak-umpak masjid. Berdasarkan data-data tersebut, penelitian tersebut membuktikan keberadaan komunitas Muslim pernah hidup dan mendiami situs Kampung Tua Kao di masa lalu dan terjadi berbagai interaksi budaya di dalam komunitas tersebut.[2]

Tanah Kao sendiri adalah sebuah wilayah di bagian utara Halmahera yang didiami oleh empat sub-suku Kao, yakni Pagu, Modole, Boeng, dan Towiliko. Keempat suku tersebut merupakan pemilik hak ulayat tanah yang didalamnya terkandung sumber daya alam yang melimpah yakni emas, biji besi, dan mineral lainnya yang belum diolah dan menjadi sebuah 'daya tarik' bagi korporasi asing datang di wilayah tersebut.[3]

Pada tahun 1990-an, korporasi asing mulai mengeksplorasi sumber daya alam di wilayah Kao-Malifut. Pada 19 Februari 1998, dalam situasi negara sedang mengalami krisis moneter sehingga perlunya pemulihan ekonomi nasional, maka investasi tambang salah satu alternatif. Pemerintah diwakili Menteri Pertambangan dan Energi meneken kontrak karya dengan PT Nusa Halmahera Minerals (PT NHM) yang ditandai dengan Surat Persetujuan Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/I/1998 Pasal 4.[3]

Husen Alting dalam jurnalnya, Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara: Rakyat versus Penguasa dan Pengusaha, mengurai dengan eksplisit bahwa dalam perspektif perusahaan, kontrak karya yang telah diberikan diatas tanah negara, sehingga tidak ada sangkut paut dengan hak masyarakat, meskipun terdapat lahan yang digarap masyarakat di atas wilayah kontrak karya, tetapi itu bukan merupakan status hak milik. Konsekuensinya pemberian ganti rugi lahan yang diberikan kepada masyarakat hanya pada tanaman yang termasuk dalam daerah eksplorasi perusahaan. Hal itulah yang menjadi awal konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang. Protes masyarakat tak terhindarkan, berunjuk rasa sampai pemboikotan telah dilakukan, namun permasalahan terus berlanjut. Hal itu karena, semakin banyak masyarakat yang sadar dan lahirnya generasi-generasi muda yang terdidik, kritis, dan progresif, bahwa hak ulayat di wilayah Kao-Malifut telah dirampas. Tanahnya dikeruk secara masif tanpa ganti rugi dengan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat selaku wilayah terdampak atas eksploitasi tambang.[3]

Wacana pemekaran[sunting | sunting sumber]

Kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo di Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, menjadi momentum bagi 4 lembaga adat di kecamatan Kao dan Malifut untuk menyampaikan aspirasi. Sekretaris adat suku Boeng, Dominggus Isack Bitjara, mengatakan 4 sub-suku Kao, yakni Pagu, Towiliko, Modole, dan Boeng sendiri menyiapkan sedikitnya 3 poin aspirasi untuk Presiden Joko Widodo. Kata Dominggus, "Kami dari empat lembaga adat akan memanfaatkan momentum bersejarah ini untuk mengutarkan impian kami yang belum teralisasi".[4]

Kabupaten Kao Raya meliputi wilayah yang termasuk kedalam Tanah Kao, yakni kecamatan Kao, Malifut, Kao Teluk, Kao Utara, dan Kao Barat. Ibukota dari kabupaten ini rencananya berada di Kao.[5]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Ritual Tagi Jere di Tanah Kao". etnis.id. Diakses tanggal 25-05-2023. 
  2. ^ "SITUS KAMPUNG TUA KAO: Identitas Asal Usul dan Jejak Peradaban Islam di Wilayah Pedalaman Halmahera Utara". Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 25-05-2023. 
  3. ^ a b c "23 Tahun NHM Mengeruk Emas di Tanah Kao". www.qureta.com. Diakses tanggal 25-05-2023. 
  4. ^ "Pemekaran 4 Lembaga Adat di Halmahera Utara Dorong Pemekaran Kao Raya". halmaherapost.com. Diakses tanggal 25-05-2023. 
  5. ^ "Bakal Bentuk 4 Kabupaten Daerah Otonomi Baru Pemekaran Wilayah di Provinsi Maluku Utara, Ini Penjelasannya..." palpos.disway.id. Diakses tanggal 25-05-2023.