Sosiologi budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sosiologi budaya merupakan subdisiplin sosiologi yang fokus mempelajari aspek kultural atau budaya masyarakat sebagai objek kajiannya. Budaya sendiri merupakan sebuah istilah dengan lingkup definisi yang cukup luas. Budaya dapat meliputi beragam unsur yang mengekspresikan pola hidup dan kehidupan manusia.

Sosiologi budaya melihat budaya sebagai elemen penting yang membentuk interaksi dan relasi sosial masyarakat. Budaya meliputi segala aspek kehidupan sosial baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Budaya memiliki beragam ekspresi yang membentang dari artefak dan teknologi sampai sistem keyakinan, pola pikir dan bahasa.

Secara sederhana budaya dapat dilihat sebagai apa yang kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya. Sebagai contoh, cara kita berbicara, berjalan, duduk, berlari, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat adat dan sebagainya merupakan bentuk ekspresi kebudayaan. Menari, menyanyi, main sosmed juga merupakan bagian dari praktik kebudayaan.

Kebudayaan yang dipraktikkan masyarakat, selain terbagi menjadi materi dan immateri, juga terbagi ke dalam sakral dan profan atau sekuler. Ritual keagamaan, adat yang dipraktikkan oleh komunitas religius merupakan kebudayaan yang sakral. Rutinitas olah raga, belajar, latihan balet, kursus memasak, belajar memahami adat dan semacamnya juga dapat disebut kebudayaan yang sifatnya profan.

Teori-teori sosiologi budaya

Secara struktural terdapat dua teori besar yang bisa digunakan sebagai pendekatan sosiologis dalam memahami budaya.

  1. Pertama, pendekatan struktural fungsional. Pendekatan ini mendapat inspirasi dari sosiolog Perancis Emile Durkheim. Menurut durkheim, kultur atau budaya, baik yang bersifat material maupun immaterial sama-sama berperan penting dalam menjaga solidaritas dan soliditas kelompok. Kesamaan nilai, keyakinan, ritual dan sebagainya mengarahkan kelompok sosial yang mempraktikkannya untuk mencapai tujuan bersama dengan menyandang identitas kolektif yang sama. Menurut Durkheim, ketika individu berpatisipasi dalam ritus kultural atau ritual tertentu, artinya individu ikut mengarfirmasi dan mengakui eksistensi budaya tersebut sehingga keberadaan budaya tersebut semakin kuat dan pada akhirnya menguatkan solidaritas kelompok.
  2. Kedua, pendekatan kritis. Pendekatan ini mendapat insipirasi dari pemikir sosial Karl Marx. Menurut Marx kultur atau budaya merupakan instrumen atau alat dominasi pihak berkuasa atau mayoritas terhadap pihak yang didominasi atau minoritas yang lemah. Selain itu, budaya juga dapat menjadi sarana perlawanan fisik atau ideologis pihak yang didominasi kepada pihak yang mendominasi. Pihak yang mendominasi cenderung disponsori oleh sistem ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, ideologi mainstream mendoktrin bahwa sukses artinya kaya dan punya uang. Untuk sukses seseorang karyawan harus bekerja keras, dan mendedikasikan dirinya untuk bekerja agar bisa kaya seperti bosnya. Sementara pada kenyataannya pekerjaan dengan gaji setara bos jumlahnya sedikit. Budaya kerja keras yang dilakukan oleh karyawan malah membuat bos semakin kaya. Sementara kebanyakan karyawan akan selalu tetap di bawah bosnya.

Peran[1][sunting | sunting sumber]

  • Perencanaan Sosial
    • Memahami perkembangan kebudayaan masyarakat
    • Memahami hubungan manusia dan sekitarnya
  • Penelitian
  • Pembangunan
  • Pemecahan Masalah Sosial

Penerapan[sunting | sunting sumber]

  • Tentang nilai dan norma sosial
  • Tentang interaksi dan peran sosial
  • Tentang proses sosialisasi dan pembentukan kepribadian
  • Tentang prilaku menyimpang dan pengendalian sosial
  • Tentang status individu dan masyarakat

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Mahfudhoh, Alifia (25 September 2017). "PERAN, FUNGSI DAN PENERAPAN PENGETAHUAN SOSIOLOGI". Universitas Negeri Semarang (artikel). Diakses tanggal 12 Oktober 2020.