Suwarni Pringgodigdo
Suwarni Pringgodigdo atau Soewarni Pringgodigdo adalah salah satu perintis dan pemimpin feminis Indonesia.Berasal dari keluarga yang tidak mampu yang memiliki enam anak, Soewarni Pringgodigdo sudah menunjukkan ketertarikan dengan isu sosial politik sejak dini. Lahir pada 31 Maret 1910 di Bogor, Soewarni pada usia 12 tahun sudah membaca buku karya Multatuli (Douwes Dekker) yang berisi tentang keserakahan Belanda serta kejahatan pemerintah kolonial yang terjadi di pertengahan abad 19.
Menginjak remaja kemudian berperan di organisasi perempuan Jong Java, dan selanjutnya memimpin Putri Indonesia, sayap keputrian lembaga Pemuda Indonesia pada 1926. Dari sana ia mulai senang membaca buku-buku mengenai hak pilih, feminisme, dan sosialisme. Soewarni juga sangat senang dengan ideologi dari tokoh perempuan pencetus gerakan sosial asal Amerika, seperti Charlotte Perkins Stetson.
Pada tahun 1931, ia menikah dengan pegawai Departemen Statistik bernama AK Pringgodigdo, yang kemudian menjabat sebagai pemimpin Kantor Pusat Perencanaan.
Pada 1947, Suwarni Pringgodigdo masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta. Lalu ia bergabung dalam parlemen sementara pada tahun 1950 sampai dengan 1955.
Ia pun berperan di Partai Sosialis Indonesia. Pada tahun 1959, rumah tangga yang ia bangun bersama Pringgodigdo kandas dan mereka memutuskan untuk berpisah.
Kiprah
[sunting | sunting sumber]Soewarni adalah salah satu nama pahlawan perempuan Jawa yang keras dan tidak pernah ragu dalam menyampaikan pendapatnya. Ia selalu tegas saat menuntut perubahan serta kemerdekaan, termasuk soal hak dan kemerdekaan perempuan di dalam pernikahan.
Soewarni termasuk yang bersuara keras pada kongres Pemuda Indonesia tahun 1927 di Bandung. Kongres yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir itu diwarnai berdebatan antara Soekarno dengan Soewarni Pringgodigdo, yang merupakan ketua organisasi Putri Indonesia pada waktu itu.
Soewarni mengkritik gaya pidato Sukarno yang senang menggabungkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia-Melayu. Padahal lewat kesepakatan sebelumnya, setiap perundingan atau rapat pemuda harus memakai bahasa Indonesia-Melayu sebagai pengantar. Ia juga memprotes gaya Soekarno yang selalu meninggikan serta membesar-besarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masih baru pada waktu itu.
Kritik Soewarni pada satu titik membuat Soekarno tidak bisa berkutik, sebelum ia membentak perempuan berusia 17 tahun dalam bahasa Belanda. Semua peserta rapat pun langsung tegang.
Sjahrir, sebagai pemimpin kongres, memukul meja dengan palu. Meski berusia lebih muda sembilan tahun dibandingkan Soekarno, ia dengan gamblang meminta seniornya untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar untuk perempuan Indonesia.
Soekarno terkejut atas aksi keras Sjahrir kepada dirinya. Ia kemudian meminta maaf kepada seluruh peserta kongres, khususnya kepada Soewarni Pringgodigdo.
Beberapa tahun kemudian, Soewarni juga menolak keras hasil kongres Aisyiyah pada Maret 1932 yang mendukung poligami dengan alasan bisa mengurangi pelacuran. Menurut Soewarni, pernikahan monogami akan menciptakan harmoni karena istri tidak akan bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.
Pada tanggal 22 Maret 1930, Soewarni merombak perkumpulan Putri Indonesia yang kemudian menjadi Isteri Sedar. Organisasi ini dibentuk untuk memberdayakan perempuan yang masih terbelenggu nilai-nilai tradisional supaya tidak merasa lebih rendah dari laki-laki.
Polemik antara Soewarni dengan Soekarno pada zaman itu tak mengganggu hubungan keduanya. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, Soekarno bertemu dengan Soewarni dan memintanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh perempuan dalam ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Soewarni lalu diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dari bulan September tahun 1945 sampai dengan bulan Desember tahun 1949.[1]