Sindrom Ruminasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sindrom Ruminasi
Pengukuran tekanan manometri dari pasien penderita Sindrom Ruminasi
Informasi umum
SpesialisasiPsikiatri Sunting ini di Wikidata

Sindrom Ruminasi adalah sebuah sindrom atau kondisi dimana seseorang memuntahkan kembali secara alami makanan yang telah ditelan kemudian mengunyahnya kembali dan menelan kembali atau memuntahkannya.[1] Sindrom ini termasuk dalam gangguan fungsi pencernaan dan sering terjadi pada bayi atau anak-anak.[2] Sindrom ini pada umumnya terjadi pada anak-anak yang mengalami keterlambatan pertumbuhan atau gangguan neurologis.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kata "ruminasi" diambil dari istilah latin ruminationem atau ruminare yang memiliki arti "mengunyah makanan yang telah dimuntahkan".[4] Sindrom ini pertama kali disebutkan di tulisan Aristotle dan didokumentasikan secara klinis pada tahun 1618 oleh seorang ahli anatomi Italia bernama Fabricus ab Aquapendende yang menulis gejala-gejala dari pasiennya.[5][6]

Salah satu kasus Sindrom Ruminasi paling awal terjadi pada Charles-Édouard Brown-Séquard. Ia melakukan eksperimen tentang respon asam lambung terhadap berbagai macam makanan menggunakan dirinya sendiri. Ia akan menelan sepon yang telah diikat dengan tali sebelumnya kemudian menariknya kembali untuk diteliti. Hal itu menyebabkannya menjadi terbiasa mengeluarkan makanannya kembali dan menderita Sindrom Ruminasi.[7]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Belum diketahui secara pasti apa penyebab dari sindrom ini. Namun diduga sindrom ini disebabkan oleh peningkatan tekanan perut. Sindrom ini sering terjadi pada bayi atau anak-anak yang memiliki gangguan pertumbuhan dan orang-orang yang memiliki gangguan kecemasan, depresi, atau gangguan psikologi lainnya.[1] Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Rumilasi, seperti memiliki penyakit akut dan pernah menjalani operasi besar.[8]

Gejala[sunting | sunting sumber]

  • Pemuntahan kembali makanan yang telah ditelan tanpa kesulitan (secara alami), biasanya terjadi 10 menit setelah makan
  • Sakit perut yang disebabkan oleh pemuntahan kembali makanan
  • Rasa kenyang terus menerus
  • Rasa mual
  • Kesulitan bernapas
  • Berat badan menurun
  • Perut kembung
  • Kerusakan gigi[1]

Diagnosa[sunting | sunting sumber]

Diagnosa penyakit ini tidak perlu melalui tes tertentu dan dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialami oleh pasien. Setidaknya pasien telah mengalami "pemuntahan kembali makanan" selama kurang lebih 2 bulan. Pemuntahan kembali tersebut biasanya terjadi tidak lama setelah makanan masuk. Pasien juga tidak mengalami "muntah-muntah" karena pemuntahan kembali makanan pada Sindrom Ruminasi terjadi tanpa kesulitan atau paksaan (terjadi secara alami). Pasien tidak mengidap penyakit refluks gastroesofagus dan tidak ada inflamasi pada proses anatomik, metabolisme atau neoplastik.[2]

Penanganan medis[sunting | sunting sumber]

Terapi perilaku[sunting | sunting sumber]

Terapi perilaku untuk Sindrom Ruminasi berfokus pada mengubah kebiasaan mengeluarkan kembali makanan. Ada berbagai alternatif dan pendekatan medis yang dapat dilakukan. Cara yang paling mudah dan efektif adalah dengan latihan pernapasan diafragma, yaitu pencegahan pengeluaran kembali makanan dengan menarik napas dalam dan merelaksasikan diafragma karena pengeluaran kembali makanan tidak dapat terjadi saat diafragma rileks.[9]

Usaha lainnya untuk pengobatan sindrom ini adalah mengubah posisi tubuh saat makan siang dan malam, menghilangkan gangguan saat makan, mengurangi stress, dan melakukan psikoterapi.[9]

Penanganan dengan obat[sunting | sunting sumber]

Jika sindrom ini mempengaruhi kerongkongan, penghambat pompa proton seperti esomeprazol (Nexium) atau omeprazol (Prilosec) dapat diberikan. Obat-obatan ini dapat melindungi kerongkongan selama terapi perilaku dilakukan.[10]

Selain itu, obat-obatan untuk merilekskan perut setelah makan juga dapat berguna bagi penderita Sindrom Ruminasi.[10]

Komplikasi[sunting | sunting sumber]

Komplikasi fisik[sunting | sunting sumber]

  • Kekurangan gizi
  • Daya tahan yang lemah terhadap infeksi dan penyakit
  • Penyakit pencernaan seperti maag
  • Dehidrasi
  • Masalah pernapasan seperti Pneumonia
  • Pengeroposan gigi
  • Penurunan berat badan yang tidak sehat
  • Bau napas tidak sedap
  • Kematian[1]

Komplikasi mental[sunting | sunting sumber]

  • Rasa malu
  • Tersisihkan dari masyarakat[1]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]


Diagram pasien pengidap Sindrom Ruminasi berdasarkan umur[11]

Sindrom ruminasi dapat terjadi pada semua usia baik anak-anak, remaja, orang dewasa maupun orang tua. Sindrom ini juga dapat terjadi pada wanita maupun pria. Berdasarkan pengamatan disebutkan bahwa jumlah pasien bayi dan orang dewasa hampir sama. Yaitu 6-10% dari populasi untuk bayi dan 8-10% populasi untuk orang dewasa.[12] Untuk bayi, biasanya terjadi pada usia 3-12 bulan.[13]

Belum diketahui apakah faktor keturunan mempengaruhi dalam terjadinya sindrom ini.[14] Namun, terdapat sebuah kasus dimana terdapat sebuah keluarga yang seluruh anggotanya menderita Sindrom Ruminasi.[15]

Ruminasi pada binatang[sunting | sunting sumber]

Sindrom Ruminasi sangat lumrah terjadi pada binatang seperti sapi, kambing, dan jerapah. Meski disebut ruminasi karena mengunyah kembali makanan yang dimuntahkan, namun ruminasi pada binatang berbeda dengan Sindrom Ruminasi pada manusia. Pada binatang, ruminasi adalah hal biasa.[16] Binatang yang melakukan ruminasi dikenal sebagai "binatang memamah biak" atau ruminant.[14]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e "Diseases Conditions: Rumination Syndrome" (dalam bahasa Inggris). Mayo Clinic. 27 September 2018. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  2. ^ a b "Rumination Syndrome" (dalam bahasa Inggris). Nation Wide Children. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  3. ^ "Rumination Syndrome – Miguel Saps, Carlo Di Lorenzo, in Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease (Fourth Edition), 2011" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  4. ^ "Etimologi "Runimasi"" (dalam bahasa Inggris). Online Etymology Dictionary. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  5. ^ Olden, Kevin W (2001), "Rumination", Current Treatment Options in Gastroenterology, 4 (4): 351–358, doi:10.1007/s11938-001-0061-z, PMID 11469994, diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Februari 2012 
  6. ^ Brockbank, EM (1907), "Merycism or Rumination in Man", British Medical Journal, 1 (2408): 421–427, doi:10.1136/bmj.1.2408.421, PMC 2356806alt=Dapat diakses gratis, PMID 20763087 
  7. ^ Kanner, L (Februari 1936), "Historical notes on rumination in man", Medical Life, 43 (2): 27–60, OCLC 11295688 
  8. ^ "Risk Factors of Rumination Syndrome". Healthline. 11 Desember 2017. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  9. ^ a b "Treatment of Rumination Syndrome". Healthline. 11 Desember 2017. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  10. ^ a b "Diagnosis and Treatment of Rumination Syndrome" (dalam bahasa Inggris). Mayo Clinic. 27 September 2018. Diakses tanggal 10 Desember 2019. 
  11. ^ Chial, Heather J; Camilleri, Michael; Williams, Donald E; Litzinger, Kristi; Perrault, Jean (2003), "Rumination syndrome in children and adolescents: diagnosis, treatment, and prognosis", Pediatrics, 111 (1): 158–162, doi:10.1542/peds.111.1.158, PMID 12509570 
  12. ^ Papadopoulos, Vassilios; Mimidis, Konstantinos (Juli–September 2007), "The rumination syndrome in adults: A review of the pathophysiology, diagnosis and treatment", Journal of Postgraduate Medicine, 53 (3): 203–206, doi:10.4103/0022-3859.33868, PMID 17699999 
  13. ^ Rasquin-Weber, A; Hyman, PE; Cucchiara, S; Fleisher, DR; Hyams, JS; Milla, PJ; Staiano, A (1999), "Childhood functional gastrointestinal disorders", Gut, 45 (Supplement 2) (Suppl 2): 1160–1168, doi:10.1136/gut.45.2008.ii60, PMC 1766693alt=Dapat diakses gratis, PMID 10457047 
  14. ^ a b Ellis, Cynthia R; Schnoes, Connie J (2009), "Eating Disorder, Rumination", Medscape Pediatrics, diakses tanggal 7 September 2009 
  15. ^ Brockbank, EM (1907), "Merycism or Rumination in Man", British Medical Journal, 1 (2408): 421–427, doi:10.1136/bmj.1.2408.421, PMC 2356806alt=Dapat diakses gratis, PMID 20763087 
  16. ^ Vendl, C. et al. (2017). "Merycism in western grey (Macropus fuliginosus) and red kangaroos (Macropus rufus)". Mammalian Biology. 86: 21–26. doi:10.1016/j.mambio.2017.03.005. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]