Sepak bola dan politik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sepak bola dan politik terpaut dalam identitas klub, bentrokan antarsuporter, dan pemain sepak bola yang memperlihatkan simbol-simbol untuk kepentingan politik dan pemenuhan hak sipil tertentu ketika berada di arena pertandingan. Di kawasan Eropa, sepak bola telah menjadi penanda identitas yang berbeda dari setiap negara, sekaligus memperkuat hubungan yang mengikat di antara mereka. Hal serupa terjadi di kawasan Amerika Latin, tempat sepakbola sering dimanfaatkan alat kampanye politik. Menurut Macon Benoit, sepak bola Eropa mengalami transformasi besar -besaran selama era Perang Dunia II (1933-1945).

Peningkatan popularitas permainan yang tajam datang pada saat intensitas politik yang tinggi, yang mengarah ke politisasi sepakbola. Benoit menulis bahwa selama periode tersebut, sepak bola Eropa mulai mewujudkan empat karakteristik utama yaitu: 1) sebagai agen hubungan internasional; 2) sebagai sumber propaganda politik, karena sepak bola digunakan untuk membangun kebanggaan nasional dan menetapkan legitimasi gerakan politik; 3) sebagai alat untuk pengamanan sosial bagi kelompok yang apolitis, dan 4) sebagai jalan untuk protes atas berbagai ketimpangan sosial-ekonomi dan politik. Menurut Benoit, semenjak Perang Dunia II, stadion sepak bola Eropa telah mengambil peran lain sebagai tempat perlindungan dan lokasi pemberontakan politik dan serangan teroris. Bahkan, tak jarang sepak bola dimanfaatkan sebagai sarana ekspresi politik global.

Contoh mengenai pertautan sepakbola dan politik adalah keputusan FIFA melarang Rusia ikut serta dalam kualifikasi Piala Dunia FIFA 2022 dengan alasan invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Selain itu, sejumlah timnas pada Piala Dunia FIFA 2022 di Qatar menggunakan simbol terkait hak-hak sipil seperti hak kaum LGBT.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]