Sanghyang Sasana Maha Guru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru
Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru

Sanghyang Sasana Maha Guru adalah naskah Sunda kuno yang ditulis dalam aksara Sunda kuno menggunakan bahasa Sunda kuno dan Jawa Kuno pada lempiran daun lontar. Secara harfiah Sanghyang Sasana Mahaguru berarti "ajaran suci dari Maha Guru, yang berisi pedoman-pedoman hidup bagi para pengabdi darma (sang sewaka darma)."[1] Teksnya berbentuk prosa tutur dengan 47 bagian penjelasan.[1] Naskah ini sekarang disimpan di Layanan Koleksi Khusus kelompok Layanan Naskah Kuno, Perpustakaan Nasional RI dengan nomor koleksi L 621 peti 15. Dalam pengkodean lama biasa disebut "kropak 621".[2]

Pemerian Naskah[sunting | sunting sumber]

Naskah ini dilaporkan oleh Krom sebagai naskah yang berasal dari Bandung pemberian Bupati Bandung R.A.A. Martagenara kepada lembaga BGKW.[2] Pada Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, naskah ini diberi judul Serat Darma Sunya.[3] Dalam sebuah lampiran artikel tentang Carita Purnawijaya, C.M. Pleyte memberi judul Sanghyang Pustaka.[4] Penelitian mutakhir dari Aditia Gunawan menunjukkan bahwa judul yang tepat adalah Sanghyang Sasana Maha Guru berdasarkan tinjauan pada kolofon teks.[2]

Deskripsi Fisik Naskah[sunting | sunting sumber]

Dalam pengelolaan Layanan Koleksi Khusus kelompok Layanan Naskah Kuno, Perpustakaan Nasional RI, naskah Sanghyang Sasana Maha Guru disimpan dalam peti kabinet nomor 15, sedangkan naskahnya diberi label L 621. Naskah disimpan dalam kotak karton khusus bebas asam. Secara umum naskah terdiri dari tiga bagian, yaitu dua buah bambu pengapit, seutas tali serat alami, dan 42 lempir lontar berisi tulisan. Tiga lempir lontar dianggap bukan bagian dari naskah ini, karena berbeda karakter aksara dan isinya.[2] Ukuran daun lontar yaitu 34,3 x 3 cm, sedangkan ukuran ruang teksnya yaitu 32 x 2,6 cm. Aksara yang digunakan dalam naskah ini adalah aksara Sunda kuno yang ditulis dengan cara digores menggunakan pisau pangot. Jenis aksara pada naskah ini kemungkinan besar adalah apa yang disebut oleh Danasasmita (1987)[5] sebagai aksara Sunda kuno persegi, yaitu jenis aksara periode terakhir dari aksara Sunda.[2] Teksnya masih bisa terbaca cukup jelas, walaupun pada beberapa bagian ada yang patah dan berlubang karena ngengat.[2] Penomoran halaman menggunakan angka asli (Sunda kuno) mulai dari nomor 1 sampai 34, terletak di sebelah kanan teks setiap halaman verso.[2]

Perkiraan Waktu Penulisan[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan analisis Aditia Gunawan (2009), jika naskah Sanghyang Sasana Maha Guru bukan salinan, maka kemungkinan ditulis sekitar awal abad ke-16, yaitu ketika Sri Baduga Maharaja menjadi raja Pajajaran.[2] Analisis demikian berdasarkan perbandingan penggunaan beberapa istilah seperti pangurang, dasa, calagara, upeti dan panggeres yang selaras digunakan pada naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (ditulis/disalin 1418 Masehi) dan Prasasti Kabantenan. Istilah-istilah tersebut tercantum pada bahasan tentang Pancakapataka (bagian 15) teks Sanghyang Sasana Maha Guru.

Perkiraan Tempat Penulisan[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua kemungkinan tempat penulisan naskah ini. Pertama, naskah ini mungkin ditulis di wilayah Jawa Timur, dengan bersandar pada nama Desa Mahapawitra dan Gunung Jedang pada kolofonnya. Gunung Mahapawitra disebut pula sebagai tempat penulisan teks Sang Hyang Hayu.[6] Di dalam tradisi kesusastraan Jawa Kuno, Pawitra disebutkan dalam Tantu Panggelaran dan Nagarakertagama.[2] Gunung Jedong mungkin memiliki korelasi penyebutan di masa lalu dengan Candi Jedong, tetapi penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kemungkinan ini.[2]

Kemungkinan kedua adalah Pawitra yang disebutkan oleh Bujangga Manik ketika ia berada di puncak Gunung Papandayan. Tepatnya, yang dimaksud adalah tenggeran atau poros tapal batas di Panahitan.[2] Dari peninggalan artefak berupa arca Ganesha di puncak Gunung Raksa di Pulau Panaitan,[7] menjadi salah satu ciri bahwa di masa lalu tempat itu dianggap sakral.[8] Di dalam teks Kawih Pangeuyeukan, Panaitan disebut sebagai tempat yang berisi kabuyutan (tempat sakral).[9] Kemungkinan lain adalah nama Gunung Jedong mirip dengan Gunung Jreding dalam teks Bujangga Manik, namun belum bisa dipastikan mengenai letak dan konteksnya secara pasti sehubungan dengan kolofon pada Sanghyang Sasana Maha Guru.[2]

Pembagian Bahasan[sunting | sunting sumber]

Keempat puluh tujuh bagian yang dibahas dalam teks Sanghyang Sasana Maha Guru, beberapa di antaranya mengandung unsur bilangan tiga (tri), empat (catur), lima (panca), dan sepuluh (dasa), di samping menggunakan beberapa istilah khusus. Berikut ini poin-poin bahasan selengkapnya:[1]

  1. Pancawedani (lima air sapu lidi)
  2. Siksa Kandang, Siksa Kurung, Siksa Dapur
  3. Dasapurwa/Dasawredi (sepuluh awal)
  4. Trimala & Trimala Wisesa (tiga noda perbuatan)
  5. Dasakalesa (sepuluh keadaan kotor)
  6. Dasamala (sepuluh noda)
  7. Dasanaraka (sepuluh neraka)
  8. Pancaiyatna (lima peringatan)
  9. Caturupaya (empat usaha)
  10. Pancabyakta (lima kenyataan)
  11. Caturpangabakti (empat tanda bakti)
  12. Pancapreyana
  13. Tributa (tiga elemen)
  14. Caturpasanta (empat penenang)
  15. Pancakapataka (lima malapetaka)
  16. Pancatriyak (lima hewan)
  17. Caturmula (empat permulaan)
  18. Caturwirya (empat kekuatan)
  19. Caturkalepa (empat peraturan suci)
  20. Trikaya Mandala Parisuda
  21. Caturrahayu (empat keselamatan)
  22. Dasasila (sepuluh tingkah laku)
  23. Dasamarga (sepuluh cara)
  24. Dasaindriya (sepuluh alat persepsi)
  25. Dasapangaku (sepuluh pengakuan)
  26. Dasautama (sepuluh keutamaan)
  27. Dasapasanta (sepuluh penenang)
  28. Dasabumi
  29. Dasawisesa (sepuluh kekuasaan)
  30. Dasa Mahawisesa (sepuluh kekuasaan agung)
  31. Dasa Tankawisesa (sepuluh ketidakberdayaan)
  32. Caturmulia, Caturutama (empat kemuliaan, empat keutamaan)
  33. Caturnermala (empat kesucian)
  34. Ndah Sang Hyang Hayu
  35. Tigaajnyana (tiga pengetahuan)
  36. Ajnyana Jati (inti pengetahuan terunggul)
  37. Katunggalan (bentuk tunggal)
  38. Bayu, Sabda, Hidep (napas, ucapan, pikiran)
  39. Wungawari (kembang wera)
  40. Wuku Sandi (bagian-bagian rahasia)
  41. Sembawa (keberadaan)
  42. Tigarahasya (tiga rahasia)
  43. Kaleupaseun
  44. Si Krataka lawan Si Dum (pekerja dan pemberi tugas)
  45. Tangkes (kesimpulan)
  46. Rahasya Pandita (rahasia pendeta)
  47. Sabda Padesa

Keterkaitan dengan Teks Lain[sunting | sunting sumber]

Sanghyang Sasana Maha Guru memiliki keterkaitan cukup erat dengan beberapa teks yang telah diketahui sebelumnya, salah satunya dengan teks prosa Sanghyang Siksa Kandang Karesian.[10][11] beberapa penjelasan bagian seperti dasaindriya, siksa kandang, trikaya mandala parisuda, dan tiga unsur: bayu, sabda, hidep disebutkan dalam kedua teks dan saling melengkapi. Teks lain yang memiliki korelasi dengan Sanghyang Sasana Maha Guru adalah Sewaka Darma.[5] Walaupun Sewaka Darma berbentuk puisi, tetapi unsur penjelasan istilah dan ajarannya saling berhubungan erat. Misalnya dalam pencapaian menuju unsur bayu, sabda, hidep dan kelepasan jiwa. Pada bagian ke-38 di dalam Sanghyang Sasana Maha Guru disebutkan penjelasan Ndah Sang Hyang Hayu, yaitu makna filofofis dan magis dari setiap suku kata. Di sisi lain terdapat naskah Sang Hyang Hayu yang pada permulaan teksnya persis menyebutkan ungkapan itu.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Gunawan, Aditia. "(2011) Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru". Konferensi Internasional Budaya Sunda (dalam bahasa Inggris). 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Gunawan, Aditia (2009). Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 
  3. ^ Behrend, T. E. (1998). Katalog induk naskah-naskah nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yayasan Obor. 
  4. ^ "Index:Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde, LVI.pdf - Wikisource" (PDF). wikisource.org. Diakses tanggal 2020-11-27. 
  5. ^ a b Sewaka darma (Kropak 408) ; Sanghyang siksakandang karesian (Kropak 630) ; Amanat Galunggung (Kropak 632): transkripsi dan terjemahan. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1987. 
  6. ^ a b Darsa, Undang Ahmad (1998). Sang Hyang Hayu: kajian filologi naskah bahasa Jawa Kuno di Sunda pada abad XVI. 
  7. ^ Hatmadji, Drs H. Tri (2007). Ragam Pusaka Budaya Banten. Direktorat Jenderal Kebudayaan. ISBN 978-979-99324-0-2. 
  8. ^ W, Etty Saringendyanti; Skober, Tanti R. (2010). Percandian di tatar Sunda masa Hindu Budha. Sastra Unpad Press. ISBN 978-602-8795-06-7. 
  9. ^ Ruhimat, Mamat; Gunawan, Aditia; Wartini, Tien (2014). Kawih pangeuyeukan: tenun dalam puisi Sunda kuna dan teks-teks lainnya. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Sunda. ISBN 978-979-008-685-2. 
  10. ^ Nurhamsah, Ilham,. Siksa kandang karesian : teks dan terjemahan : alih bahasa. Perpustakaan Nasional (Indonesia),, Masyarakat Pernaskahan Nusantara,. Jakarta. ISBN 978-623-200-212-8. OCLC 1161997235. 
  11. ^ Sanghyang Siksakanda ng Karesian: naskah Sunda kuno tahun 1518 Masehi. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1981.