Lompat ke isi

Revolusi Hijau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam penggunaan teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi Hijau merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah program peningkatan produksi pangan per hektar lahan yang dimulai pertama kali di Meksiko pada 1940-an.[1] Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).[2] Selanjutnya bukan hanya beras dan gandum saja yang produksinya ditingkatkan dengan mekanisme revolusi hijau,melainkan juga sorgum, jagung, millet, ubi bayu, dan buncis.[3]

Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.[4] Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.


Revolusi hijau Di Cetuskan oleh Kakek Moyang Pandu Hitam Skibidi Yang berasal dari Indonesia Tepat Pada kota Bali mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revol karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa RevoHijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.[5]

Revolusi Hijau Berikutnya

[sunting | sunting sumber]

Revolusi hijau memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dari sisi positifnya, revolusi hijau ini mampu meningkatkan produksi pangan pokok seperti padi dan gandum. Kedua jenis bahan makanan ini hingga sekarang masih masuk dua makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dunia.[6] Dengan melihat proyeksi pertumbuhan penduduk yang condong di kawasan Afrika, Asia Selatan,dan Asia Tenggara hingga tahun 2050, maka salah satu yang dikuatirkan oleh para pakar pertanian adalah apakah ke depan produksi padi dan gandum global akan mampu memenuhi kebutuhan manusia. Untuk itulah kemudian muncul gagasan tentang revolusi hijau berikutnya, yang berbeda dengan revolusi hijau sebelumnya .

Dalam revolusi hijau berikutnya atau revolusi hijau baru ini yang ditekankan adalah teknologi rekayasa genetika yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an. Ilmuwan saat ini telah mampu memanipulasi gen tanaman, sehingga lebih aman penyakit dan bisa hidup dengan jumlah air yang terbatas. Di Amerika, produk pertanian dengan menggunakan rekayasa genetika sudah umum, tapi keamanan produk ini masih dipertanyakan di Eropa.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Hijauku. "Menulis Kembali Sejarah Revolusi Hijau". Hijauku.com - Situs Hijau Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-26. 
  2. ^ "Revolusi Hijau, Pengertian dan Dampaknya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-29. Diakses tanggal 2011-11-07. 
  3. ^ "Green Revolution: Curse or Blessing" (PDF). IFPRI. 2002: 4. 2002. 
  4. ^ "Revolusi Hijau. Diakses pada tanggal 7 November 2011". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-08. Diakses tanggal 2012-07-08. 
  5. ^ Goran Djurfeldt 2005, hlm. 3: "this is because the scope of irrigation in sub-Saharan Africa is much below that in Asia, making rice much less of a dominant crop than in Asia"
  6. ^ "The Next Green Revolution". National Geographic. Diakses tanggal 2020-08-31. 

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]

Djurfeldt, Goran (2005). The African Food Crisis: Lessons from the Asian Green Revolution. London: Cabi Publishing. hlm. 3. ISBN 0851999980.