Lompat ke isi

Republik Somalia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Republik Somalia

Jamhuuriyadda Soomaaliyeed
Repubblica Somala
جمهورية الصومالية
Jumhūriyyat aṣ-Ṣūmālīyyah
1960–1969
Somalia
Lambang
Lokasi Republik Somalia.
Lokasi Republik Somalia.
Ibu kotaMogadishu
Bahasa yang umum digunakanSomali · Arab · Italia · Inggris
Agama
Islam
PemerintahanKesatuan republik konstitusional semi-presidensial
Presiden 
• 1960–1967
Aden Abdullah Osman Daar
• 1967–1969
Abdirashid Ali Shermarke
Perdana Menteri 
• 1960, 1967–1969
Muhammad Haji Ibrahim Egal
• 1960–1964
Abdirashid Ali Shermarke
• 1964–1967
Abdirizak Haji Hussein
LegislatifMajelis Nasional
Era SejarahPerang Dingin
1 Juli 1960
• Kudeta
21 Oktober 1969
Luas
1961[1]637.657 km2 (246.201 sq mi)
1969[1]637.657 km2 (246.201 sq mi)
Populasi
• 1961[1]
2,027,300
• 1969[1]
2,741,000
Mata uangShilling Afrika Timur
(1960–1962)
Somalo
(1960–1962)
Shilling Somalia
(1962–1969)
Kode ISO 3166SO
Didahului oleh
Digantikan oleh
Wilayah Perwalian Somaliland
Negara Somaliland
Republik Demokratik Somalia
Sekarang bagian dariSomalia
Somaliland[a]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Republik Somalia (bahasa Somali: Jamhuuriyadda Soomaaliyeed; bahasa Italia: Repubblica Somala; bahasa Arab: الجمهورية الصومالية, translit. Jumhūriyyat aṣ-Ṣūmālīyyah) adalah sebuah negara berdaulat yang pernah ada (terdiri dari Somalia dan Somaliland) setelah penyatuan Wilayah Perwalian Somaliland ( bekas Somaliland Italia) dan Negara Bagian Somaliland (bekas Somaliland Britania). Sebuah pemerintahan dibentuk oleh Abdullahi Issa Mohamud dan Muhammad Haji Ibrahim Egal dan anggota lain dari administrasi perwalian dan protektorat, dengan Haji Bashir Ismail Yusuf sebagai Presiden Majelis Nasional Somalia dan Aden Abdullah Osman Daar sebagai Presiden Republik Somalia. Pada 22 Juli 1960, Daar mengangkat Abdirashid Ali Shermarke sebagai Perdana Menteri. Pada tanggal 20 Juli 1961 dan melalui referendum rakyat, Somalia meratifikasi konstitusi baru, yang pertama kali dirancang pada tahun 1960. Konstitusi baru ditolak oleh Somaliland.[2][3][4]

Pemerintahan berlangsung hingga 1969, ketika Dewan Revolusi Tertinggi (SRC) merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah dan mengganti nama negara itu menjadi Republik Demokratik Somalia.

Terbentuknya persatuan

[sunting | sunting sumber]

Tuntutan rakyat memaksa para pemimpin Somaliland Italia dan Somaliland Britania untuk melanjutkan rencana penyatuan negara. Pemerintah Britania menyetujui tuntutan publik nasionalis Somalia dan setuju untuk mengakhiri kekuasaannya atas Somaliland Britania pada tahun 1960 dan protektoratnya bergabung dengan Wilayah Perwalian Somaliland (bekas Somaliland Italia) pada tanggal kemerdekaan yang telah ditetapkan oleh PBB. Pada April 1960, para pemimpin kedua wilayah bertemu di Mogadishu dan sepakat untuk membentuk negara kesatuan. Seorang presiden terpilih akan menjadi kepala negara. Kekuasaan eksekutif penuh akan dipegang oleh seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada Majelis Nasional terpilih yang terdiri dari 123 anggota yang mewakili dua wilayah. Dengan demikian, Somaliland Britania bersatu sesuai jadwal dengan Wilayah Perwalian Somaliland untuk mendirikan Republik Somalia.[5]

Pada tanggal 26 Juni 1960, Somaliland Britania memperoleh kemerdekaan dari Beitania sebagai Negara Bagian Somaliland. Pada 1 Juli 1960, Negara Bagian Somaliland bersatu dengan Wilayah Perwalian Somaliland, membentuk Republik Somali. Legislatif menunjuk pembicara ACT OF UNION SOMALIA Hagi Bashir Ismail Yousuf sebagai Presiden Pertama Majelis Nasional Somalia. Pada hari yang sama Aden Abdullah Osman Daar menjadi Presiden Republik Somalia. Kemudian Daar pada 22 Juli 1960 menunjuk Abdirashid Ali Shermarke sebagai Perdana Menteri pertama. Shermarke membentuk pemerintahan koalisi yang didominasi oleh Liga Pemuda Somalia (SYL) tetapi didukung oleh dua partai utara berbasis klan, Liga Nasional Somalia (SNL) dan Partai Persatuan Somalia (USP). Penunjukan Osman sebagai presiden diratifikasi setahun kemudian dalam referendum nasional.[5]

Selama periode sembilan tahun demokrasi parlementer setelah kemerdekaan Somalia, kebebasan berekspresi secara luas dianggap sebagai hak setiap orang. Salah satu cita-cita nasional yang dianut oleh orang Somalia adalah kesetaraan politik dan hukum di mana nilai-nilai sejarah Somalia dan praktik-praktik Barat yang ada berpadu. Politik dipandang sebagai ranah yang tidak terbatas pada satu profesi, klan, atau kelas, tetapi terbuka untuk semua anggota masyarakat laki-laki. Walaupun peran perempuan lebih terbatas, namun perempuan telah memiliki hak pilih di Somaliland Italia sejak pemilihan kota pada tahun 1958. Hak pilih kemudian menyebar ke bekas Somaliland Britania pada Mei 1963, ketika majelis teritorial menyetujuinya dengan selisih 52 berbanding 42.[5]

Bulan-bulan awal persatuan

[sunting | sunting sumber]

Meskipun bersatu sebagai satu bangsa pada saat kemerdekaan, namun dari perspektif kelembagaan, kedua Somaliland (selatan dan utara) merupakan dua negara yang terpisah. Italia dan Inggris telah meninggalkan keduanya dengan sistem administrasi, hukum, dan pendidikan yang berbeda sehingga administrasi dilakukan menurut prosedur dan bahasa yang berbeda.[5] Janina Dill, Assosiasi Professor Kebijakan Luar Negeri AS, menyatakan:[6]

"Sementara pemerintahan Inggris di utara memungkinkan pelestarian struktur pemerintahan tradisional Somalia, kolonialisme Italia di selatan mengikis struktur pemerintahan tradisional dengan administrasi kolonial"

— Timothy A. Ridout, Building Peace and the State in Somalia: The case of Somaliland (Membangun Perdamaian dan Negara di Somalia: Kasus Somaliland), hal. 10

Polisi, pajak, dan nilai tukar mata uang masing-masing juga berbeda. Elit terpelajar mereka memiliki kepentingan yang berbeda dan kontak ekonomi antara kedua wilayah tersebut hampir tidak ada. Pada tahun 1960, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Konsultatif untuk Integrasi, sebuah dewan internasional yang dipimpin oleh pejabat PBB Paolo Contini, untuk memandu penggabungan bertahap sistem dan lembaga hukum negara baru dan untuk mendamaikan perbedaan di antara mereka. (Pada tahun 1964 Komisi Permusyawaratan Legislasi menggantikan badan ini. Terdiri dari Somalia, badan ini mengambil pekerjaan pendahulunya di bawah kepemimpinan Mariano.) Tetapi banyak orang selatan percaya bahwa, karena pengalaman yang diperoleh di bawah perwalian Italia, mereka lebih siap dari dua wilayah untuk pemerintahan sendiri. Elit politik, administrasi, dan komersial utara enggan mengakui bahwa mereka sekarang harus berurusan dengan Mogadishu.[5]

Pada masa kemerdekaan, wilayah utara memiliki dua partai politik yang berfungsi: SNL, mewakili keluarga klan Isaaq yang merupakan mayoritas numerik di sana; dan USP, yang sebagian besar didukung oleh Dir dan Daarood. Di Somalia yang bersatu, bagaimanapun, Isaaq adalah minoritas kecil, sedangkan Daarood utara bergabung dengan anggota klan-keluarga mereka dari selatan di SYL. Dir, yang memiliki sedikit sanak saudara di selatan, di satu sisi ditarik oleh ikatan tradisional dengan Hawiye dan di sisi lain oleh simpati regional yang sama terhadap Isaaq. Partai oposisi selatan, Greater Somalia League (GSL), pro-Arab dan militan pan-Somalis, menarik dukungan dari SNL dan USP melawan SYL, yang telah memiliki sikap moderat sebelum kemerdekaan.[5]

Kekhawatiran Utara tentang terlalu kuatnya kekuasaan di selatan ditunjukkan pada pola pemungutan suara dalam referendum konstitusi Juni 1961, yang pada dasarnya merupakan pemilihan nasional pertama Somalia. Meskipun rancangan itu sangat disetujui di selatan, namun di utara hanya didukung oleh kurang dari 50 persen pemilih.[5]

Ketidakpuasan pada distribusi kekuasaan di antara keluarga klan dan antara dua wilayah memuncak pada bulan Desember 1961, ketika sekelompok perwira tentara junior yang dilatih Inggris di utara memberontak sebagai reaksi atas penempatan perwira selatan berpangkat lebih tinggi (yang telah dilatih oleh Italia untuk tugas polisi) untuk memerintahkan unit mereka. Para pemimpin kelompok mendesak pemisahan utara dan selatan. Petugas non-komisi utara menangkap para pemberontak, tetapi ketidakpuasan di utara tetap ada.[5]

Pada awal tahun 1962, pemimpin GSL Haaji Mahammad Hussen, yang sebagian berusaha untuk mengeksploitasi ketidakpuasan utara, berusaha untuk membentuk sebuah partai gabungan yang dikenal dengan Persatuan Demokratik Somalia (SDU). Partai ini mendaftarkan elemen utara, beberapa di antaranya tidak senang dengan perwakilan SNL utara dalam pemerintahan koalisi. Upaya Hussein gagal. Namun, pada Mei 1962, Egal dan menteri SNL utara lainnya mengundurkan diri dari kabinet dan membawa banyak pengikut SNL bersama mereka ke dalam partai baru, Kongres Nasional Somalia (SNC), yang mendapat dukungan luas di utara. Partai baru juga memperoleh dukungan di selatan ketika bergabung dengan faksi SYL yang sebagian besar terdiri dari Hawiye. Langkah ini memberi negara itu tiga partai politik yang benar-benar nasional dan selanjutnya berfungsi untuk melebur perbedaan utara-selatan.[5]

Somalia Raya

[sunting | sunting sumber]
Perkiraan luas Somalia Raya.

Isu politik terpenting dalam politik Somalia pascakemerdekaan adalah penyatuan semua wilayah yang secara tradisional dihuni oleh etnis Somalia menjadi satu negara – sebuah konsep yang diidentifikasi sebagai Somalia Raya (Soomaaliweyn). Para politisi khawatir hal ini akan menimbulkan kehancuran bagi Somalia karena menimbulkan konflik dengan negara-negara tetangga yang menduduki wilayah Somalia. Pada akhirnya, perang meletus antara Somalia dan Ethiopia dan pertempuran terjadi di Distrik Perbatasan Utara di Kenya.[5]

Secara hukum, Majelis Nasional tidak mampu memfasilitasi masuknya wilayah baru sebagi bagian dari Somalia setelah penyatuan. Bendera nasional juga menampilkan bintang berujung lima yang melambangkan lima wilayah yang diklaim sebagai bagian dari negara Somalia: bekas Somaliland Italia dan Somaliland Inggris, Ogaden, Somaliland Prancis, dan Distrik Perbatasan Utara. Selain itu, pembukaan konstitusi yang disetujui pada tahun 1961 dalam pernyataan: "Republik Somalia memperkenalkan dengan cara yang sah dan damai, penyatuan wilayah." Konstitusi juga menetapkan bahwa semua etnis Somalia, di mana pun mereka tinggal, adalah warga negara republik. Orang Somalia tidak mengklaim kedaulatan atas wilayah yang berdekatan, melainkan menuntut agar orang Somalia yang tinggal di dalamnya diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Para pemimpin Somalia menegaskan bahwa mereka akan puas hanya ketika sesama warga Somalia di luar republik memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri apa status mereka.[5]

Pada tahun 1948, di bawah tekanan dari sekutu Perang Dunia II mereka dan dari Somalia,[5] Inggris "mengembalikan" Haud (daerah penggembalaan penting Somalia yang mungkin 'dilindungi' oleh perjanjian Inggris dan Somalia pada tahun 1884 dan 1886) dan Ogaden ke Ethiopia, berdasarkan perjanjian yang mereka tandatangani pada tahun 1897 di mana Inggris menyerahkan wilayah Somalia kepada Kaisar Ethiopia Menelik II sebagai imbalan atas bantuannya melawan serangan dari klan Somalia.[7] Inggris memasukkan ketentuan bahwa penduduk Somalia akan mempertahankan otonomi mereka, tetapi Ethiopia segera mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut.[8] Pemerintah Somalia secara khusus menolak untuk mengakui keabsahan Perjanjian Anglo-Ethiopia tahun 1954 yang mengakui klaim Ethiopia atas Haud atau, secara umum, relevansi perjanjian yang mendefinisikan perbatasan Somalia-Ethiopia. Posisi Somalia didasarkan pada tiga hal: pertama, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mengabaikan perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan tokoh-tokoh Somalia yang telah menempatkan mereka di bawah perlindungan Inggris; kedua, bahwa orang-orang Somalia tidak diajak berkonsultasi mengenai syarat-syarat perjanjian dan pada kenyataannya tidak diberitahu tentang keberadaan mereka; dan ketiga, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut melanggar prinsip penentuan nasib sendiri.[5] Hal ini mendorong tawaran yang gagal oleh Inggris pada tahun 1956 untuk membeli kembali tanah Somalia yang telah diserahkannya.[8]

Permusuhan yang terus tumbuh, akhirnya menimbulkan tindakan skala kecil antara Tentara Nasional Somalia dan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Ethiopia di sepanjang perbatasan. Pada bulan Februari 1964, konflik bersenjata meletus di perbatasan Somalia-Ethiopia dan pesawat Ethiopia menyerbu target di Somalia. Konfrontasi berakhir pada bulan April melalui mediasi Sudan, bertindak di bawah naungan Organisasi Persatuan Afrika (OAU). Di bawah ketentuan gencatan senjata, komisi gabungan dibentuk untuk memeriksa penyebab insiden perbatasan, dan zona demiliterisasi selebar sepuluh hingga lima belas kilometer didirikan di kedua sisi perbatasan. Setidaknya untuk sementara, konfrontasi militer lebih lanjut dapat dicegah.[5]

Sebuah referendum diadakan di negara tetangga Djibouti (kemudian dikenal sebagai Somaliland Prancis) pada tahun 1958, saat malam kemerdekaan Somalia pada tahun 1960, untuk memutuskan apakah akan bergabung dengan Republik Somalia atau tetap bersama Prancis. Referendum ternyata mendukung hubungan yang berkelanjutan dengan Prancis, sebagian besar karena gabungan suara setuju oleh kelompok etnis Afar yang cukup besar dan penduduk Eropa.[9] Ada juga kecurangan suara yang terjadi dimana Prancis mengusir ribuan orang Somalia sebelum petugas referendum mencapai tempat pemungutan suara.[10] Mayoritas dari mereka yang memilih tidak adalah orang Somalia yang sangat mendukung untuk bergabung dengan Persatuan Somalia, seperti yang diusulkan oleh Mahmoud Harbi, Wakil Presiden Dewan Pemerintah. Harbi tewas dalam kecelakaan pesawat dua tahun kemudian secara misterius.[9][11]

Pada pertemuan London 1961 tentang masa depan Koloni Kenya, perwakilan Somalia dari Distrik Perbatasan Utara (NFD) menuntut agar Inggris mengatur pemisahan wilayah sebelum Kenya diberikan kemerdekaan. Pemerintah Inggris menunjuk sebuah komisi untuk memastikan pendapat umum di NFD atas pertanyaan tersebut.[5] Plebisit informal menunjukkan keinginan yang luar biasa dari penduduk wilayah tersebut, yang sebagian besar terdiri dari Somalia dan Oromos, untuk bergabung dengan Republik Somalia yang baru dibentuk.[12] Sebuah editorial tahun 1962 di The Observer, surat kabar Minggu tertua di Inggris, secara bersamaan mencatat bahwa "dengan setiap kriteria, orang Somalia Kenya memiliki hak untuk memilih masa depan mereka sendiri[...] mereka berbeda dari orang Kenya lainnya tidak hanya secara suku tetapi dalam hampir segala hal[ ...] mereka Hamitik, memiliki kebiasaan yang berbeda, agama yang berbeda (Islam), dan mereka mendiami padang pasir yang berkontribusi sedikit atau tidak sama sekali terhadap ekonomi Kenya[...] tidak ada yang bisa menuduh mereka mencoba untuk mengacaukan kekayaan nasional".[13] Terlepas dari aktivitas diplomatik Somalia, pemerintah kolonial di Kenya tidak melakukan tindakan apapun atas temuan komisi tersebut.[5] Pejabat Inggris percaya bahwa format federal yang kemudian diusulkan dalam konstitusi Kenya akan memberikan solusi melalui tingkat otonomi yang memungkinkan wilayah yang didominasi Somalia dalam sistem federal. Solusi ini tidak mengurangi tuntutan Somalia untuk unifikasi, dan federalisme sedikit demi sedikit menghilang setelah pemerintah pasca-kolonial Kenya memilih konstitusi terpusat pada tahun 1964.[5]

Dipimpin oleh Partai Progresif Rakyat Provinsi Utara (NPPPP), orang Somalia di NFD dengan gencar mendorong persatuan dengan kerabat mereka di Republik Somalia bagian utara.[14] Sebagai tanggapan, pemerintah Kenya yang baru terbentuk, memberlakukan sejumlah tindakan represif guna menggagalkan upaya mereka. Diantaranya adalah praktik salah klaim berbasis etnis dimana mengklaim pemberontak Somalia sebagai aktivitas shifta (bandit), menutup NFD sebagai area "tertutup dan diawasi", menyita atau membantai ternak Somalia, mensponsori kampanye pembersihan etnis terhadap penduduk wilayah tersebut, dan mendirikan "desa lindung" atau kamp konsentrasi yang besar.[15] Konflik ini memuncak dalam Perang Shifta antara pemberontak Somalia dan militer Kenya. Radio Somalia dilaporkan mempengaruhi tingkat aktivitas gerilya melalui siarannya yang dipancarkan ke NFD. Kenya juga menuduh pemerintah Somalia melatih para pemberontak di Somalia, memperlengkapi mereka dengan senjata Soviet, dan memimpin mereka dari Mogadishu. Ia kemudian menandatangani pakta pertahanan bersama dengan Ethiopia pada tahun 1964, meskipun perjanjian itu tidak banyak berpengaruh karena bantuan dari Somalia ke gerilyawan berlanjut.[16] Pada bulan Oktober 1967, pemerintah Somalia dan otoritas Kenya menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum Arusha) yang menghasilkan gencatan senjata resmi, meskipun keamanan regional masih lemah sampai tahun 1969.[17][18]

  1. ^ Somaliland tidak diakui secara internasional. Wilayahnya dianggap sebagai bagian dari Somalia. Otoritas Somaliland, bagaimanapun, memegang kekuasaan de facto di wilayah tersebut.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b International Demographic Data Center (U.S.), United States Bureau of the Census (1980). World Population 1979: Recent Demographic Estimates for the Countries and Regions of the World. The Bureau. pp. 137-138.
  2. ^ The Illustrated Library of The World and Its Peoples: Africa, North and East, Greystone Press: 1967, p. 338
  3. ^ Poore, Brad. "Somaliland: Shackled to a Failed State". Stanford Journal of International Law. (45) 1. 
  4. ^ Ramadane, Zakaria Ousman. “Somalia: State Failure, Poverty and Terrorism.” Counter Terrorist Trends and Analyses, vol. 6, no. 7, 2014, pp. 13–16. JSTOR, www.jstor.org/stable/26351270. Accessed 30 Apr. 2021.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Samatar, Said S. (1993). "Historical Setting". Dalam Metz, Helen Chapin. Somalia: a country study (edisi ke-4th). Washington, D.C.: Federal Research Division, Library of Congress. hlm. 26–30. ISBN 0-8444-0775-5. OCLC 27642849. Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik. 
  6. ^ Ridout, Timothy A. (18 April 2011). "Building Peace and the State in Somalia: The case of Somaliland" (PDF). The Fletcher School: 10. 
  7. ^ Laitin, p. 73
  8. ^ a b Zolberg, Aristide R., et al., Escape from Violence: Conflict and the Refugee Crisis in the Developing World, (Oxford University Press: 1992), p. 106
  9. ^ a b Barrington, Lowell, After Independence: Making and Protecting the Nation in Postcolonial and Postcommunist States, (University of Michigan Press: 2006), p. 115
  10. ^ Kevin Shillington, Encyclopedia of African history, (CRC Press: 2005), p. 360.
  11. ^ United States Joint Publications Research Service, Translations on Sub-Saharan Africa, Issues 464-492, (1966), p.24.
  12. ^ David D. Laitin, Politics, Language, and Thought: The Somali Experience, (University Of Chicago Press: 1977), p.75
  13. ^ The Observer (1962). "Time Bomb in Africa". Muslimnews International. 1–2: 276. Diakses tanggal 2 April 2013. 
  14. ^ Bruce Baker, Escape from Domination in Africa: Political Disengagement & Its Consequences, (Africa World Press: 2003), p.83
  15. ^ Rhoda E. Howard, Human Rights in Commonwealth Africa, (Rowman & Littlefield Publishers, Inc.: 1986), p.95
  16. ^ "The Somali Dispute: Kenya Beware" by Maj. Tom Wanambisi for the Marine Corps Command and Staff College, April 6, 1984 (hosted by globalsecurity.org)
  17. ^ Hogg, Richard (1986). "The New Pastoralism: Poverty and Dependency in Northern Kenya". Africa: Journal of the International African Institute. 56 (3): 319–333. doi:10.2307/1160687. JSTOR 1160687. 
  18. ^ Howell, John (May 1968). "An Analysis of Kenyan Foreign Policy". The Journal of Modern African Studies. 6 (1): 29–48. doi:10.1017/S0022278X00016657. JSTOR 158675.