Kebebasan berbicara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebebasan berbicara (Inggris: Freedom of speech) adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dapat diidentikkan dengan istilah kebebasan berekspresi[1] yang kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan bukan hanya kepada kebebasan berbicara lisan, akan tetapi, pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang dipergunakan. Walaupun kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi terkait erat dengan sebuah kebebasan, tetapi berbeda dan tidak terkait dengan konsep kebebasan berpikir atau kebebasan hati nurani.

Kebebasan berbicara atau berekspresi, menurut Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, mencakup kebebasan untuk bebas berpendapat tanpa adanya intervensi.[2]

Kebebasan berekspresi atau berbicara merupakan hak dasar dari setiap manusia sesuai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang telah di amandemen. Hak kebebasan dalam berpendapat yang disesuaikan pada pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepatutnya dilaksanakan oleh semua pihak karena Undang-Undang Dasar telah mengamanatkan tentang kebebasan dalam berbicara dan mengeluarkan pendapat. Keharusan bagi kita sebagai warga masyarakat yang bernaung dalam wilayah administrasi Indonesia. Bung Hatta menggagas sebuah ide tentang kebebasan berpendapat yang berbunyi hak rakyat untuk menyatakan perasaan baik itu berbentuk lisan dan tulisan, berkumpul dan bersidang diakui oleh negara dan ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945.[3] Kebebasan berpendapat atau menyatakan pendapat dimuka umum merupakan bagian dari wujud demokrasi dan dijamin oleh negara. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang memiliki persamaan hak sesuai dengan kaidah dan normal yang berlaku pada masyarakat itu sendiri. Bisa dikatakan kebebasan berbicara dijamin oleh negara selama tidak menyalahi dan merugikan pihak lain serta disampaikan secara sopan.

Proses demokratisasi di Indonesia saat ini menempatkan publik sebagai pemilik atau pengendali utama kebebasan dalam berbicara. Kebebasan berbicara begitu penting untuk dimiliki oleh setiap manusia untuk mengungkapkan ide, opini, pendapat dan ungkapan perasaannya untuk didengar oleh pihak lain. Kebebasan ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan sudah barang tentu kebebasan ini jangan sampai melanggar kepentingan publik pihak lain. Wahid mengatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi berlaku untuk semua jenis ide termasuk yang mungkin sangat offensive atau menyanggung namun dapat dipertanggung jawabkan dan dapat dibatasi secara sah oleh pemerintah apabila melanggar etika kesopanan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melarang perkataan yang mendorong kebencian dan hasutan dan pembatasan tersebut dapat dibenarkan. Hak berpendapat atau berbicara boleh disampaikan dengan terbuka berdasarkan norma ketentuan yang berlaku di masyarakat demi melindungi kepentingan publik dan hak reputasi orang lain. Baik itu hak berbicara dan berekspresi kedua-duanya terkait erat satu sama lain, namun berbeda dengan konsep hak kebebasan berpikir dan hati nurani.[4]

Kebebasan Berbicara di Era Digitalisasi[sunting | sunting sumber]

Masa ketika mulai hadirnya teknologi informasi karena dengan mudah untuk di akses dan cara memperolehnya begitu cepat akibat penggunaan teknologi digitalisasi dimana fenomena ini disebut era digital. Perkembangan teknologi dengan perantara sistem komputerisasi terhubung melalui internet.[5] Abad 21 merupakan zaman dimana hampir seluruh bidang baik itu tatanan hidup telah dipengaruhi oleh teknologi digital. Istilahnya dapat diartikan sebagai munculnya teknologi yang mengambil alih teknologi sebelumnya manusia menggunakan mekanik kini teknologi digital. hadirnya Internet telah merubah banyak hal bahkan mempengaruhi pola pikir masyarakat digital Indonesia. Bisa dikatakan masyarakat era digital adalah masyarakat tanpa batas wilayah negara dan benua. Transisi elektro analog ke digital begitu disambut oleh masyarakat karena berbagai kemudahan dapat dirasakan tanpa adanya batasan bahkan cakupannya mendunia. Kemudahan yang ditawarkan teknologi digital membuat segala ranah kehidupan mulai bergantung pada internet dengan fitur beragam baik itu berkomunikasi, membagi informasi dan jasa bisnis.[6] Kebebasan berbicara di era digital berkembang sangat bebas dan tak terkendali di sosial media sehingga tak sedikit masyarakat Indonesia mengekspresikan gagasan atau pendapatnya melalui sosial media tersebut.

Sebuah hak yang paling fundamental dan diakui negara berlandaskan hukum yang demokratis serta menjujung tinggi hak asasi manusia tentunya bagian dari kemerdekaan berbicara atau berekspresi dimana telah dijamin oleh Negara melalui UUD 1945 sejak Indonesia merdeka. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia kebebasan berbicara itu telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan tidak ada tawar menawar mengenai hal ini. Sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara itu maka pada tahun 2008 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik (singkat: UU ITE). Harapannya adalah agar ruang digital menjadi lebih sehat, beretika dan produktif. Perkembangan peraturan ini tidak dibarengi dengan dinamika masyarakat yang sangat berkembang kemudian pemerintah kembali melakukan revisi agar demokrasi tetap kuat dan melindungi hak kebebasan sipil lainnya. Upaya peningkatan literasi digital terus digalakkan demi meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya kebebasan berekspresi atau berbicara secara positif.[7] Sepatutnya kebebasan berbicara harus disesuaikan dengan kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat agar tidak menjadi tindakan anarkistis digital terhadap hasill karya maupun opini orang lain.

Kebebasan berbicara dalam dunia digital ditandai dengan hadir dan berkembangnya ragam platform sosial media dan situs berita atau website dalam jejaring. Sebelumnya kebebasan berbicara hanya seputar mengemukakan pendapat dan berekspresi di muka umum. Dalam dunia digital ditandai dengan hadir dan berkembangnya ragam paltform sosial media dan situs berita atau website dalam jejaring. Sebelumnya kebebasan berbicara hanya seputar mengemukakan pendapat dan berekspresi di muka umum. Dua jenis platform tersebut yang marak di era digital adalah sosial media dan media online. Berikut ulasannya:

Platform Media Sosial[sunting | sunting sumber]

Platform ini sangat ramai digunakan oleh semua khalayak sejak memasuki awal abad 21. Seperti contoh jejaring sosial media yang bernama facebook yang khusus memberikan ruang baru dan menarik minat para penggunanya di Indonesia. Riwayat perjalanan facebook dewasa ini tak hanya sebatas jejaring pertemanan melainkan jagat virtual. Sosial media facebook telah mengalami rekonstruksi sosial yang oleh para penggunanya menjadi sebuah media alternatif dalam menyuarakan pendapat atau aspirasi.[8] Jejaring sosial facebook di rasa mampu menjadi jembatan penyaluran aspirasi dalam kebebasan berbicara atau berpendapat. Selain facebook, masih banyak lagi jejaring sosial media lainnya yang ikut berkembang diantaranya adalah instagram dengan pengguna yang begitu banyak, twitter,youtube, whatsapps, reddit, line, tiktok dan lain sebagainya.

Platform Media Online[sunting | sunting sumber]

Berbagai jenis website serta aplikasi yakni situs berita, perusahaan, lembaga, instansi, blog, forum komunitas dan situs jualan. Pada praktiknya media online tersebut sebagai fungsi informasi, sosialisasi, diskusi, pendidikan, kebudayaan, hiburan dan integrasi.[9] Zaman telah berkembang lalu memberikan media baru sebagai bentuk adanya dinamika dalam dunia digital dengan mengemas media elektronik menjadi media digital atau online. Contohnya adalah situs berita online yang menyuguhkan berita yang update. Media online juga merupakan salah satu sarana dalam menyampaikan aspirasi serta bebas berekspresi yang termasuk dalam kebebasan berbicara sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang informasi dan teknologi.

Perkembangan Kebebasan Berbicara[sunting | sunting sumber]

Mengenai kebebasan berbicara disini dibagi menjadi dua point sudut pandangnya yakni, sudut pandang konstitusional dan sudut pandang perundang-undangan dimana suatu sudut pandang hukum nasional akan dikaitkan dengan kebebasan berpendapat atau berbicara dengan berbagai macam tujuan. Para ahli komunikasi menyakini bahwa peradaban manusia telah menggenggam teknologi dimana sebuah kebudayaan akan informasi sebagai komoditas pertama dengan adanya interaksi sesama masyarakat berbasis teknologi, informasi dan komunikasi. Keyakinan disebut masyarakat informasi. Salah satu peradaban itu adalah hadirnya ruang publik baru bagi kelas menengah Indonesia. Konsep ini berasal dari Habermas yang menilai ruang itu sebagai bagian dari proses komunikasi. Cyberspace sebagai bentuk kemajuan informasi ruang baru bersifat artifisial serta menjadi wadah baru manusia untuk berbondong-bondong berpindah dari dunia nyata ke dunia maya. Suatu tatanan masyarakat yang dapat melihat proses dan distribusi sebuah informasi sebagai bagian dalam keseluruhan aktivitas sosial dan ekonomi serta bidang lainnya yang relevan.[10] Perkembangan teknologi yang begitu pesatnya baik itu dalam bentuk alat komunikasi dan informasi menyebabkan berkembangnya internet sebagai bentuk layanan banyak situs dan media sosial online. Mudahnya informasi menyebabkan transaksi dan informasi yang didapatkan akan lebih mudah. Dalam hal ini tentu saja memberikan dampak secara positif maupun secara negatif dalam mengakses informasi itu. Perkembangan teknologi membuat perkembangan kebebasan berbicara menjadi lebih luas tentunya dalam bentuk yang positif sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.

Pelanggaraan Kebebasan Berbicara di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Bentuk demokrasi yang modern dan efektif serta berpihak pada rakyatnya adalah menjunjung tinggi kebebasan berpendapat menjadi landasan utama berbangsa. Kebebasan berbicara dewasa kini cenderung di analogikan pada sisi negatif sehingga selalu benturan dengan peraturan maupun norma yang berlaku di masyarakat. Setiap orang berhak untuk berbicara dan mengemukakan pendapat tapi tidak musti benturan dengan hak privasi orang lain. Sebuah ancaman pada kebebasan berbicara tidak hanya dari segelintir golongan tetapi ancaman itu berasal dari diri kita sendiri. berikut contoh-contoh kasus pelanggaran hak kebebasan berbicara antara lain,[11]

  • Beradu Argumentasi pada sosial media.

Perkembangan internet yang begitu signifikan meyebabkan masyarakat indonesia menjadi konsumtif terhadap jejaring sosial media. Internet sebagai dunia yang begitu ganas karena para penggunanya akhir-akhir ini tidak segan-segan melawan komentar yang tidak sepaham cara berpikirnya. Alhasil hujatan dan ujaran kebencian mewarnai sosial media.

  • Serangan para anonymous.

Kelompok yang mengatasnamakan mereka adalah seseorang yang tak dikenali mulai mengkritik bahkan menyuarakan pendapatnya tanpa melihat dan memperhatikan nilai atau kaidah norma yang berlaku. Hal ini samgat membahayakan tentunya karena mengancam kebebasan berbicara atau berpendapat.

  • Peningkatan Kasus Penistaan

Dewasa ini kita harus bijak dalam menggunakan sosial media dan mulailah untuk tidak menyinggung hak pribadi seseorang. Kasus penistaan melalui media sosial memang sangat marak terjadi di Indonesia.

  • Protes

Kalangan pengguna media sosial banyak menggunakan media sosial sebagai bentuk protes mereka. Akan tetapi protes itu pun sering menyalahi aturan perundang-undangan dan norma yang berlaku karena disampaikan dengan penuh kebencian dan amarah.

  • Perang melawan Jurnalisme

Media massa sepertinya telah menjadi sasaran kebencian dari segala sisi dan ini tidak dibenarkan karena kebebasan pers sama halnya dengan kebebasan berpendapat dan berbicara.

Selain itu, ada juga kasus lain yang menjerat salah satu musisi tanah air pada tahun 2019 lalu. Beliau mengunggah tulisan di media sosial yang dianggap dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat sehingga musisi tersebut dijatuhkan hukuman pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku.[12]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_ccpr.htm Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
  2. ^ Nations, United. "Universal Declaration of Human Rights". United Nations (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-02. 
  3. ^ Novelica, Indrianto (2018). "Implementasi Asa Kebebasan Berbicara Dalam Pasal 27 Ayat 3 UU No 11 Tahun 2008" (PDF). eprints.umm. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  4. ^ "Ketentuan Kebebasan Berpendapat dalam UUD". www.mkri.id. 14/12/2020. Diakses tanggal 3/12/2021. 
  5. ^ "Mendidik Anak di Era Digital". www.kemdikbud.go.id. 2018. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  6. ^ "Apa Itu Era Digital". www.divedigital.id. 6 Juli 2020. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  7. ^ Nurcahyadi, Ghani (26 Juni 2021). "Masyarakat Diajak Bijak Berekspresi di Dunia Digital". www.mediaindonesia.com. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  8. ^ Najib, Rahmat (2011/1 Januari-Maret). "KEBEBASAN BERPENDAPAT PADA MEDIA JEJARING SOSIAL" (PDF). Komunikasi. 1: 80. 
  9. ^ "Pengertian Media Online: Kelebihan dan Kekurangannya". www.akudigital.com. 8 Desember 2021. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  10. ^ Raharjo, Wasisto (2016). "Cyberspace Internet dan Ruang Publik Baru". www.jurnal.ugm.ac.id. Diakses tanggal 5/12/2020. 
  11. ^ Lumbantobing, Alexander (11 Mei 2017). Lumbantobing, Alexander, ed. "7 Kasus yang Mengancam Kebebasan Berpendapat". Liputan6.com. Diakses tanggal 5/12/2021. 
  12. ^ Konstitusi, Advokat (3 Maret 2021). "Kebebasan Berbicara di Era digital dalam Presfektif HAM". advokatkonstitusi. Diakses tanggal 5/12/2021. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]