Perang parit

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang parit ialah perang yang kedua kubu bertempur pada posisi bertahan atau salah satu maju menyerang. Perang ini terkenal saat Perang Dunia 1 yang berlangsung antara tahun 1914 hingga 1918.

Taktik Perang[sunting | sunting sumber]

Perang ini lebih condong ke arah defensif. Ini disebabkan mereka yang membangun pertahanan berupa galian tanah yang memanjang dan paralel, dan memasang barikade berupa kawat yang dipasang pada garis depan. Dari dalam parit mereka menembaki musuh yang mendekat dengan senapan, pistol, melempar granat, dan dibantu senapan mesin. Jika musuh sudah memasuki parit, mereka bertarung jarak dekat dengan bayonet, atau sekop yang ditajamkan ujungnya.

Perang ini sungguh perang yang memulai era baru persenjataan, yaitu ditemukannya pistol mitraliur yang efektif pada jarak dekat. Dan ditemukannya tank yang tahan tembakan peluru senapan.

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

Perang parit digunakan pada Perang Dunia 1 secara umum. Contoh perang parit yang terkenal adalah Perang Somme yang terjadi tahun 1916. Namun perang jenis ini dirasa tidak efisien dan efektif. Sering sekali kubu pemenang menderita kerugian berupa kehilangan prajurit hingga ±120.000 orang dan hanya memajukan garis batas sejauh 5 km. Dan pengalaman Perang Somme menunjukan bahwa perang ini dapat memakan waktu hingga 5 bulan.

Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.

Efektivitas Perang Parit[sunting | sunting sumber]

Strategi perang parit tidak efektif, sejak ditemukannya tank yang dapat melintasi parit selebar 2 meter. Flamethrower yang daya tembaknya lebih menyebar mampu membersihkan seisi parit. Perang ini lebih menyedihkan daripada semua perang yang terjadi. Sering prajurit terkena disentri akibat minum air yang tidak bersih akibat buruknya logistik. Banyak tentara yang cacat akibat terkena pecahan mortir. Banyak yang buta karena terkena gas klorin seperti yang pernah diderita Adolf Hitler, pemimpin fasis Jerman.

Saat era perang dunia 2 dan sesudahnya, parit tetap digunakan sebagai salah satu taktik pelengkap untuk bertahan. Memang tidak bisa dikatakan efektif jika dijadikan strategi perang untuk waktu lama dan strategi inti, tetapi perang parit tetap menjadi bagian dalam perang baik perang kuno atau post modern sekalipun.