Pangal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangal, juga disebut Meitei Pangan, Pangahal atau Muslim Manipur, adalah kelompok etnoreligius yang berasal dari negara bagian Manipur, Assam, Tripura, dan Nagaland di India, serta Divisi Sylhet di Bangladesh.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Muslim Manipur, yang dikenal sebagai Pangal, diduga telah eksis sejak abad ketujuh. Berbagai sumber sejarah mencatat waktu yang berbeda mengenai kedatangan Islam pertama kali ke Manipur. Beberapa sumber menyebutkan Islam masuk sekitar tahun 930 M. Namun, tahun yang tampaknya paling akurat adalah tahun 1606 Masehi. Asal-usul komunitas Pangal pun tak kalah beragam. Pada awal abad ketujuh belas, Mubariz Khan melakukan ekspedisi dan menemukan sebuah suku yang tinggal di antara tanah Khasi dan Kachari, yang menyebut diri mereka sebagai Mughal. Catatan Mughal mengklaim bahwa suku ini merupakan keturunan dinasti Timuriyah yang berasal dari rumpun Turko-Mongol. Sumber mengatakan bahwa Timur Lenk pada akhir abad ke-12 berhasil menguasai kawasan itu dan meninggalkan sekelompok suku Mongol untuk mempertahankan daerah tersebut sebelum pulang ke ibu kotanya di Baghdad. Anggota suku ini berkulit putih, berbicara bahasa Sino-Tiber, memakan segala jenis hewan dan sayuran, dan mengenakan turban besar dan anting-anting kuningan besar (tunkal). Mubariz berhasil mengalahkan suku ini dengan susah payah, dan menggabungkan sebagian tanah mereka ke Bengal Subah.[1]:324–325 Suku ini dianggap sebagai orang Meitei karena mereka berbicara bahasa Meitei, yang merupakan bahasa Sino-Tibet. Di Assam dan Sylhet Raya, suku Meitei kerap disebut sebagai "Mei-Moglai".[2]

Sumber lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Kerajaan Kangleipak pada tahun 1606. Kala itu, Pangeran Sanongba meminta bantuan dari Raja Kachari, Dimasha Prataphil untuk mengalahkan saudaranya, Khagemba. Dimasha Prataphil menyadari kuatnya militer Khagemba dan tahu bahwa pasukannya sendiri takkan bisa menang. Oleh karena itu, ia meminta seorang Naib dari Taraf yang bernama Muhammad Nazir untuk mengirim pasukan guna membantunya, yang kemudian pasukan itu dikirim di bawah pimpinan Muhammad Sani. Usai perang, Khagemba dan tentara Muslim dari Taraf sepakat berdamai dan tentara Muslim diizinkan tinggal di lembah Manipur.[3][4] Sementara itu, tentara Burma melancarkan serangan melawan Kangleipak di lembah Kabaw. Raja Khagemba meminta bantuan tentara Muslim guna menghalau serbuan Burma (Myanmar), lalu mereka setuju dan berperang bersama Meitei. Untungnya, tentara Meitei memenangkan pertempuran tersebut. Raja Khagemba sangat senang dengan hal itu dan Yang Mulia memberi mereka nama Pangal (Pangal berarti Kekuatan dalam bahasa Meitei). Orang Pangal menikahi wanita lokal, mengadopsi bahasa Meitei dan berbagai tradisi setempat yang tidak melanggar syariat Islam.

Pada pertengahan abad ke-17, Manipur memberi perlindungan kepada Shah Shuja, seorang pangeran Mughal yang melarikan diri dari murka saudaranya, Kaisar Aurangzeb. Menurut Henry Rule Kathe, Muslim Manipur merupakan hasil dari percampuran berbagai kaum yang datang di zaman yang berbeda dan dari arah yang berbeda pula - Bengal, Arakan, Kachar dan Manipuri. Komoditas sutra adalah barang dagangan yang dijual secara luas.[5]

Sementara umat Muslim sudah eksis di Manipur sejak sebelum 1660, sejumlah pengungsi Muslim datang menyusul kekalahan Shah Shuja (Shangkusum) dari Hindustan dalam perang perebutan takhta dengan Aurangzeb. Pelarian Shuja tercatat dengan baik dalam cerita rakyat Muslim di timur laut India dan Bangladesh.

Pada tanggal 6 Juni 1660, Shuja berpergian dari Daka (Dhaka) melalui Chittagong ke Arakan (Rakhine).[6][7] Arakan, ibu kota Kerajaan Mrauk U, menjadi tujuannya, karena Sanda Sudamma (Thudamma) berjanji akan menyediakan kapal untuk membawa Shuja dan rombongannya ke Mekkah untuk naik haji. Shuja bepergian bersama istrinya Piari Banu Begum (alias Praveen Banu, Piara Banu, atau Pai Ribanu) dan saudara perempuannya Sabe Banu, putra-putranya Zainul Abidin (Zainibuddin, Bon Sultan atau Sultan Bang), Buland Akhtar dan Zain-ul-Din Muhammad (Zainul Abedi), dan putri Gulrukh Banu, Roshanara Begum dan Amina Begum,[8] serta dua bejana emas dan perak, permata, harta karun dan hiasan kerajaan lainnya, di punggung setengah lusin unta, sementara sekitar 1.000 tandu diangkut membawa harem milik Shuja. Setelah singgah sebentar di Chittagong, Shuja mengambil jalur darat (masih disebut Jalan Shuja) ke arah selatan. Shuja melakukan salat Idulfitri di sebuah tempat bernama Edgoung di Dulahazra. Rombongannya melintasi Sungai Naf, setengah mil di utara Maungdaw, yang terkadang masih dikenal sebagai "Desa Shuja". Rute terakhirnya melalui laut ke Arakan di mana Shuja disambut oleh utusan raja Sanda Sudamma dan diantar ke tempat yang telah disiapkan untuknya. Namun, setelah Shuja tiba di Arakan, Sudama mengingkari janjinya dan menyita sebagian harta Shuja. Sebagai pembalasan, Zainul Abidin dan seorang saudara lainnya memimpin serangan Mughal ke Sudama dan hampir berhasil membakar istana kerajaan. Dua atau tiga putra Shuja tewas selama pertempuran berikutnya atau saat lari ke hutan. Banyak tentara Mughal lainnya tewas dibantai. Putri Shuja Gulrukh dilaporkan melakukan bunuh diri setelah ditangkap dan diperkosa oleh Sudama. Anggota rombongan Shuja yang masih hidup ditolong oleh suku Mughal dan Pathan di Arakan,[9] sisa rombongan melakukan perjalanan ke utara bersama para pelaut Portugis.

Raja-raja Hindu di Tripura dan Manipur adalah tuan rumah yang menyenangkan - mungkin karena mereka tidak menyukai kebijakan ekspansionis Aurangzeb - dan memainkan peran penting dalam menyembunyikan keberadaan Shuja. Shuja dan para penyintas lainnya tiba di Tripura pada 16 Mei 1661,[6] lalu di Manipur pada Desember 1661.[10] Menyadari bahwa para pengintai dan mata-mata Aurangzeb sedang mencari mereka,[11] informasi palsu disebar bahwa Shuja telah tewas di Arakan, atau dalam perjalanannya ke Mekkah.[9] Sebagai bentuk pencegahan, Shuja diungsikan dengan gajah ke desa perbukitan Ukhrul. Mir Jumla II mengetahui situasi tersebut dan segera mengirim tiga orang ke Manipur pada akhir Desember 1661, untuk menahan keluarga Shuja.[12] Namun, Qazi Manipur, Muhammad Sani, menahan utusan utama Mughal, Nur Beg untuk memastikan utusan lainnya, Dur Beg dan Rustam Beg, tidak membocorkan informasi mengenai kehadiran Shuja di Manipur.[13] Saat itu, Shuja bersembunyi di sebuah gua yang kemudian dikenal dengan Shuja-lok ("Gua Shuja"),[14] di Haignang, Kairang (timur Imphal). Menurut beberapa catatan, dia meninggal di gua tersebut.

Muslim Manipuri adalah keturunan tentara dari Sylhet yang menikah dengan wanita lokal. Raja Manipur memberikan nama belakang berdasarkan pekerjaan mereka. Misalnya, fundreimayum adalah nama belakang yang diberikan kepada mereka yang bekerja di pembubutan. Lalu, nama belakang Chesam diberikan kepada mereka yang bekerja di industri kertas. Di antara Muslim Manipur, Fundreimayum dan Yumkhaibam merupakan keturunan Turko-Afganistan. Leluhur mereka adalah seorang Pathan yang bernama Kundan Khan dan Zamman Khan.

Populasi[sunting | sunting sumber]

Jumlah mereka saat ini adalah 239.886, mencakup 8,40% dari populasi negara bagian Manipur menurut sensus 2011. Mereka sebagian besar menetap di pinggiran Manipur dekat tepi sungai, pesisir danau dan kaki bukit. Suku Pangal terkonsentrasi di dan sekitar Imphal, ibu kota Manipur dan kota Thoubal. Sejumlah besar lainnya hidup di Cachar dan Hojai di Assam, Komolpur di Tripura, serta di Bangladesh. Konon, nenek moyang Pangal yang menetap di luar Manipur pindah dari kampung halamannya selama tujuh tahun kehancuran yang juga dikenal sebagai Chahi-Taret Khuntakpa, suatu masa kelam dalam sejarah Manipur ketika Burma menguasai Assam dan Manipur sekitar tahun 1815 Masehi.

Budaya[sunting | sunting sumber]

Saat ini ada lebih dari 50 nama keluarga Muslim. Pakaian tradisional untuk pria adalah lungi dan piama dan untuk wanita adalah kurti, salwar dan phanek. Mereka juga memakai pakaian bercorak barat. Suku Pangal tetap mempertahankan identitasnya sendiri sembari berasimilasi dan bercampur dengan komunitas lokal lainnya.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ M. I. Borah (1936). "Conquest of a hill tribe". Baharistan-I-Ghaybi – Volume 1. 
  2. ^ Nath, Rajmohan (1948). The back-ground of Assamese culture. A. K. Nath. hlm. 122. 
  3. ^ Khan, Md. Chingiz (2014), "Socio-Cultural And Religious Facets Of Manipuri Muslims During The 17th And 18th Centuries", International Journal of Research (IJR), New Delhi: IJR, 1 (8): 121, ISSN 2348-6848 
  4. ^ Nazir, Ahamad (2013), The Muslims in Manipur: A study in their History and Culture (PDF), Imphal: Manipur University, hlm. 27 
  5. ^ Pangali Musalman: Manipuri Muslims
  6. ^ a b Niccolai Manucci, Storia do Mogor or History of Mughal India, translator William Irvine
  7. ^ Suhas Chatterjee, 2008, The Socio-Economic History of South Assam.
  8. ^ Stanley Lane-Pool, 1971, Aurangzeb, vol.1.
  9. ^ a b Niccolai Manucci, Storia do Mogor.
  10. ^ Cheitharol Kumbaba, 1989.
  11. ^ Janab Khan, 1972, Manipuri Muslim also locally called "Moughlai Muslim".
  12. ^ A. Hakim Shah, 2008, The Manipur Governance
  13. ^ Names of Mughal ambassadors can be known from P. Gogoi, 1961, The Tai and Tai Kingdoms who gave Dur Beg and Rustam; Kheiruddin Khullakpam, 1997, Turko-Afghangi Chada Naoda, Lilong: Circles, gives the Boggy clan ancestor as Noor Bakhsh that must be Noor Beg.
  14. ^ Janab Khan, 1972, Manipuri Muslim.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]