Lompat ke isi

Paksiwisata

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Paksiwisata atau aviturisme dapat didefinisikan sebagai kegiatan wisata yang dilakukan di luar lingkungan untuk melihat burung pada habitat aslinya. Burung dapat dijadikan sebagai objek wisata dikarenakan memiliki peran secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis, burung dapat berperan sebagai penyebar biji, membantu penyerbukan, dan pengontrol hama. Secara ekonomis, burung dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan, serta menjadi daya tarik tempat wisata karena suara dan bulunya yang indah[1].

Burung bangau putih

Paksiwisata merupakan salah satu atraksi dan hiburan alternatif pada suatu tempat wisata dengan tujuan untuk meningkatkan nilai wisata. Paksiwisata merupakan bagian dari ekowisata yang difokuskan secara khusus pada burung. Paksiwisata berdasarkan prinsip ekowisata memiliki potensi untuk berkontribusi pada masyarakat lokal, yaitu dengan cara mendidik tentang nilai keanekaragaman hayati, serta menciptakan insentif lokal dan nasional untuk pelestarian burung pada kawasan yang masih alami[2].

Paksiwisata merupakan sebutan bagi pengunjung wisata yang melakukan perjalanan jauh untuk melihat spesies burung yang belum pernah dilihat, serta juga dapat mengamati spesies burung secara teratur pada tempat wisata di sekitar rumah[3]. Paksiwisata umumnya memperoleh informasi tentang spesies burung, tujuan lokasi, dan kegiatan wisata yang diinginkan sebelum melakukan perjalanan. Namun, beberapa avitourist juga dapat melakukan perjalanan secara mandiri dengan menggunakan jasa perusahaan komersial, yang sering memastikan informasi-informasi tertentu terkait burung[4].

Walaupun kegiatan paksiwisata memiliki nilai penting dan sudah dikenal oleh para pengunjung wisata, penelitian mendalam terkait paksiwisata masih relatif sedikit. Penelitian di bidang ini masih memiliki pendekatan yang sangat beragam, serta pola penelitian yang masih sulit untuk diidentifikasi[3]. Paksiwisata memiliki potensi untuk memberikan manfaat yang cukup besar, akan tetapi perlu dievaluasi juga secara tepat untuk menilai kemampuan dari tempat wisata dalam memberikan dampak konservasi berkelanjutan. Hal tersebut dapat menjadi sebagai acuan bagi para peneliti di masa depan agar dapat memprioritaskan dalam memperdalam dan mengembangkan manajemen paksiwisata yang berkelanjutan[5].

Sejarah dan Perkembangan Avitourism

[sunting | sunting sumber]

Avitourism muncul salah satunya karena meningkatnya jumlah pengamat burung sehingga sejarah avitourism tidak lepas dari sejarah birdwatching. Berdasarkan jejak sejarah yang ditemukan berupa lukisan burung di dinding dua, nenek moyang kita telah mengamati burung sejak belasan ribu tahun yang lalu, meskipun tujuan mereka melihat burung berbeda dengan tujuan kita pada umumnya. Selain digunakan untuk ritual, lukisan tersebut diduga digunakan sebagai ‘fieldguide’ karena sebelum memburu mereka juga perlu mengetahui satwa yang mereka buru. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada zaman dahulu, manusia telah memiliki dorongan untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan hal-hal di sekitar mereka. Sekitar 10.000-8.000 tahun yang lalu kegiatan mengamati burung juga dilakukan untuk mengamati perilaku migrasi burung sehingga mereka dapat menentukan waktu terbaik untuk menanam dan memanen[6].

Sejarah dan Perkembangan Avitourism di Dunia

[sunting | sunting sumber]

Saat ini, avitourism terus berkembang seiring berkembangnya birdwatching akibat mobilitas global yang kian meningkat[7]. Avitourism banyak dikembangkan di berbagai negara karena dapat meningkatkan pendapatan lokal baik di negara maju maupun negara berkembang. Pengembangan avitourism di Britania Raya salah satunya dilakukan dengan cara melakukan reintroduksi jenis burung. Pada tahun 1975, reintroduksi burung elang laut dilakukan di Pulau Mull, Skotlandia. Pada tahun 2006 terhitung bahwa keberadaan burung tersebut dapat meningkatkan jumlah wisatawan dan juga pemasukkan sekitar 1,4-1,6 juta euro setiap tahunnya. Avitourism lain yang terkenal di Britania, yaitu Loch Garten di Skotlandia, di mana terdapat burung elang tiram yang membuat sekitar 290.000 pengamat burung datang dan meningkatkan pendapatan lokal sekitar 3,5 juta euro per tahun[8]. Pada musim dingin, avitourism di Skotlandia mampu mendatangkan sekitar 40.000 orang per hari untuk mengamati angsa yang menyumbang pemasukkan lokal sekitar 1.5 juta euro[9]. Sekitar 20.000 pengamat burung juga datang ke Mull of Galloway untuk mengamati burung laut dan berkontribusi terhadap ekonomi lokal sebesar 550.000 euro[10].

Avitourism di Amerika Serikat meningkat seiring pertambahan jumlah pengamat burung yang sebelumnya pada tahun 1970 hanya sebanyak 4% dari jumlah warga Amerika[11], menjadi sebanyak 25% pada pertengahan tahun 1980-an[12]. Akibatnya, di Amerika banyak kegiatan pengamatan burung yang diselenggarakan seperti The Stork and Cork Mississippi River Birding Festival yang diselenggarakan pada 25-27 Agustus 2006 dengan 145 peserta dan The Hummingbird Migration Celebration yang diadakan pada 7-10 September 2006 dengan 7.970 peserta[13]. Sebuah penelitian[14] menyebutkan jika keberadaan burung jenis kepodang punggung hitam di Pennsylvania mampu mengundang pengamat burung untuk datang dan meningkatkan perekonomian lokal sebesar 223.000 dolar Amerika dalam 67 hari. Beberapa lokasi avitourism lain yang populer di Amerika Serikat yaitu Ramsey canyon dan San Pedro Riparian National Conservation Area dengan jumlah pengunjung sekitar 38.000 orang dari Juli 1991 hingga Juni 1992[15]; Teluk Delaware yang dilewati jalur migrasi burung laut pada musim semi setiap tahunnya menghasilkan pendapatan lokal hampir mencapai 263.000 dolar Amerika dari keberadaan burung tersebut[16]. Cape May dengan pengamat burung yang datang lebih dari 100.000 orang pada tahun 1993[17]; Seattle di mana terdapat burung kicau yang menarik perhatian pengunjung dan berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan lokal sekitar 120 juta dolar Amerika per tahun[18];

Kontribusi avitourism yang besar terhadap perekonomian suatu negara membuat avitourism juga dikembangkan di negara-negara berkembang. Salah satu negara berkembang yang memiliki banyak pengunjung avitourism yaitu Afrika dengan jumlah pengunjung sekitar 21.000 hingga 40.000 setiap tahunnya[19]. Lokasi avitourism yang terkenal di Afrika yaitu Mkhuze Game Reserve dengan pendapatan lokal sebesar 77,8 juta hingga 101 juta per tahun[20]. Pada tahun 1991, Kenya memiliki jumlah pengunjung sebanyak 178.881 yang datang untuk mengamati flamingo di Taman Nasional Lake Nakuru dan memberikan pendapatan sekitar 5-5,5 juta dolar[21]. Negara lainnya yang turut mengembangkan avitourism yaitu Kolombia dengan total pengunjung sebanyak 278.850 orang dan menyumbang sekitar 308 dolar Amerika setiap orangnya[22]; Peru dengan lebih dari 400.000 turis datang karena tertarik dengan migrasi burung pada tahun 2010[23]; Kosta Rica dengan keberadaan burungnya yang mampu mendatangkan pengunjung dari Amerika dan menyumbang pendapatan lokal sekitar 400 juta dolar Amerika setiap tahunnya[24]; serta negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia.

Sejarah dan Perkembangan Avitourism di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Pengelolaan avitourism sudah dimulai sejak lama di Indonesia, namun tidak ada catatan resmi kapan dimulainya avitourism di Indonesia. Negara ini merupakan salah satu negara destinasi terbesar kegiatan ini. Hal ini tidak terlepas dari 17% spesies burung dunia tercatat ada di Indonesia[25]. Mayoritas pengunjung avitourism di Indonesia adalah wisatawan asing, bahkan salah satu perusahaan jasa wisata burung terbesar dunia, BirdQuest telah menjadikan beberapa taman nasional menjadi salah satu destinasi mereka. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Taman Nasional Baluran (TNB), dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan beberapa destinasi rutin mereka. Tidak menutup bahwa avitourism di daerah lain tidak ada, bahkan daerah timur seperti Papua dan Maluku cukup diminati karena adanya salah satu burung cantik di dunia, yaitu cendrawasih.

Burung-burung di Indonesia sangat memenuhi kriteria burung bagi kegiatan avitourism sehingga peluang wisata ini sangat besar karena modal pentingnya adalah kehadiran burung. Dalam sebuah tulisan[26] menyatakan beberapa kriteria burung bagi avitourism yaitu endemik, migran, bernilai konservasi tinggi (HCV), berukuran besar, menarik secara warna, bersuara unik, raptors, nuri, dan nokturnal. Namun karena pengembangan avitourism belum maksimal sehingga populasi burung sebagai modal wisata ini cukup terancam karena banyak masyarakat yang masih menganggap burung hanya bisa dimanfaatkan dengan diburu dan dijual sebagai peliharaan. Masalah lain adalah kurangnya agen lokal untuk kegiatan ini, kebanyakan adalah agen wisata asing, kualitas SDM yang belum mumpuni menjadi tantangan besar bagi wisata ini.Promosi juga masih minim dilakukan sehubungan potensi yang besar ini tidak diimbangi pengetahuan dan kapabilitas SDM sebagai pengelola utama. Kualitas pemandu, promosi, dan pemantapan wilayah merupakan poin-poin penting dalam pengembangan avitourism[27]. Adapun faktor lain yang mendukung avitourism adalah kemudahan aksesibilitas menuju lokasi dan akomodasi yang murah[28].

Burungnesia, sebuah platform data pengamat burung di Indonesia menjadi salah satu LSM yang mulai mengembangkan avitourism ini secara terstruktur. Aplikasi ini dirintis tahun 2015, dengan capaian lebih dari 50.000 data observasi hingga 2020. Akhirnya lembaga ini mulai berani menjadi pengembang avitourism dengan dasar data observasi lapang yang cukup banyak dan terus berkembang[29].

Perkembangan Avitourism Berbasis Digital

[sunting | sunting sumber]

Kegiatan avitourism berarti juga belajar mengenai keanekaragaman burung yang ada. Field Guide atau buku panduan pengenalan burung menjadi suatu hal yang mutlak dalam kegiatan ini. Disisi lain, perkembangan teknologi seputar identifikasi burung semakin pesat. Kini para birdwatcher bisa mencari berbagai informasi lengkap tentang burung seperti, perbedaan jenis suara, foto di alam, persebarannya, jalur migrasi, hingga taksonominya. Informasi ini tersedia di beberapa website terkenal dan saling terintegrasi satu sama lain. Aplikasi dari teknologi informasi untuk meningkatkan nilai guna ekologi dan keanekaragaman hayati ini sehingga mampu memberikan kejelasan bagi masyarakat umum disebut biodiversity informatics[30]. Tantangan dari digitalisasi biodiversitas ini bukan hanya menambah ketersediaan data, tetapi juga mengisi kekosongan data, mengurangi bias, dan meningkatkan kualitas data yang telah ada[31].

Aplikasi eBird menyajikan berbagai informasi menarik tentang perburungan yang diolah secara ilmiah. Konsep citizen science ditawarkan kepada setiap pengguna agar turut serta berperan melalui proyek ini. Tampilan ramah pengguna menjadi keunggulan dari eBird. Kemajuan interface terhadap ekologi, statistic, dan computer science memungkinkan pengguna untuk membuat model distribusi penyebaran spasial dan temporal secara detail. Keterbukaan data, pengguna dapat mengakses data milik orang lain atau menyimpannya sendiri dengan mendaftar terlebih dahulu. Tujuan utama adanya eBird yaitu menjadikan aplikasi ini sebagai sumber utama data keanekaragaman hayati, meningkatkan pemahaman terhadap penyebaran burung, dan memberikan pengaruh langsung terhadap konservasi burung juga habitat aslinya[32].

Salah satu bentuk avitourism berbasis digital science ada di Indonesia terwujud pada aplikasi Burungnesia. Data dasar yang digunakan aplikasi ini berasal dari partisipasi masyarakat (citizen scientist) para pengamat burung. Aplikasi ini dapat mengunggah berbagai data seperti hasil foto, tracking jalur pengamatan, dan hasil temuan kegiatan birdwatching. Hasil penelitian [29] memberikan gambaran bahwa mayoritas birdwatcher menyukai area yang mudah diakses, jarak dekat dengan rumah, dan motif menyukai kegiatan birdwatching karena menyukai pengamatan burung di habitat aslinya. Apabila dilihat dari persebaran burung, pada daerah yang tidak disukai birdwatcher memiliki tingkat endemik tinggi. Hal ini banyak dimanfaatkan para birdwatcher yang profesional dan memiliki minat khusus seperti peneliti.

Kegiatan-Kegiatan Pendukung Avitourism

[sunting | sunting sumber]
Kegiatan Birdwatching sebagai salah satu kegiatan dari avitourism

Avitourism memiliki peran penting dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan avitourism diantaranya yaitu birdwatching, pendidikan lingkungan dan marketing souvenir wisata dan sebagainya. Burung dapat dijumpai di berbagai habitat. Burung merupakan salah satu satwa liar yang memiliki potensi ekowisata salah satunya dengan birdwatching. Birdwatching merupakan salah satu pendekatan avitourism yang memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar baik secara materi maupun nonmateri serta termasuk kegiatan yang ramah lingkungan[33]. Kegiatan birdwatching dapat dilakukan dengan pembuatan jalur khusus pada kawasan ekowisata oleh para pengelola ataupun menggunakan jalur yang sudah ada[34]. Kegiatan birdwatching dapat berupa pengamatan perilaku burung, menikmati kicau burung, berburu foto, video dan sebagainya. Kicau burung dapat dijadikan sebagai salah satu metode healing[35]. Para fotografer biasanya menikmati kegiatan avitourism dengan berburu foto-foto burung yang memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka.

Avitourism merupakah salah satu bentuk ekowisata yang bermanfaat pada berbagai bidang, salah satunya pada dunia pendidikan [1]. Kegiatan avitourism merupakan salah satu bentuk pendidikan lingkungan. Salah satu strategi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup baik terkait pemeliharaan maupun peningkatan kualitas lingkungan hidup adalah dengan pendidikan lingkungan. Avitourism merupakan salah satu upaya untuk mendukung pendidikan konservasi yang mulai populer sehingga berkembang menjadi ekowisata [1]. Avitourism sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kawasan tersebut menyimpan kekayaan berbagai satwa terutama jenis burung[33]. Pemandu wisata atau tour guide yang ahli dalam dunia burung diperlukan dalam kegiatan avitourism agar tercapai tujuan pendidikan lingkungan dan konservasi kepada para pengunjung (Nicolaides 2014). Pemandu wisata yang memiliki pengetahuan terkait burung-burung pada kawasan yang digunakan untuk birdwatching adalah masyarakat setempat. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan ekowisata agar tidak terjadi konflik antara masyarakat dan pengelola ekowisata serta agar mendapat dukungan dari masyarakat setempat[36]. Pemandu wisata dapat menjadi interpreter yang baik agar dapat menginterpretasikan kepada pengunjung mengenai kawasan ekowisata tersebut.

Avitourism berperan penting untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar melalui berbagai kegiatan ekonomi[37]. Salah satu cara peningkatan pendapatan masyarakat setempat dengan penjualan souvenir wisata. Souvenir wisata yang menarik adalah souvenir tradisional yang merupakan ciri khas daerah wisata tersebut. Pembuatan souvenir tradisional memerlukan keterampilan khusus sehingga perlu adanya pelatihan untuk masyarakat setempat[38]. Souvenir dapat menambah daya tarik avitourism yang dapat dijadikan pengingat tempat wisata tersebut serta dijadikan sebagai media promosi.

Peralatan dalam Kegiatan Avitourism

[sunting | sunting sumber]

Adapun alat-alat yang biasa dipakai pada saat kegiatan avitourism dilakukan. Alat-alat ini dipakai sebagai penunjang kegiatan dan juga dapat membuat kegiatan avitourism berjalan lebih lancar, baik bagi pengunjung avitourism maupun bagi panitia/pemandu kegiatan Avitourism itu sendiri. Alat-alat yang biasa dipakai adalah sebagai berikut

Field Guides / Buku Panduan Lapang Burung

[sunting | sunting sumber]

Karena avitourism ini didominasi oleh kegiatan birdwatching atau pengamatan burung langsung di lapangan, maka salah satu alat yang wajib dimiliki oleh para pemandu lapang dan penikmat kegiatan tersebut adalah buku field guides. Buku field guides atau biasa disebut buku panduan lapang burung memiliki fungsi yang penting dalam kegiatan birdwatching[39]. Hal ini disebabkan karena buku panduan tersebut mengandung berbagai macam informasi morfologi suatu burung yang sangat berguna dalam membantu identifikasi suatu jenis burung. Karena setiap burung memiliki karakteristik spesifiknya masing-masing, maka diperlukan buku panduan lapang untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis burung yang diamati. Untuk tipe-tipe buku panduan lapang burung itu juga bermacam-macam, ada yang mengurutkan jenis burung berdasarkan habitat dan ada juga yang mengurutkan jenis burung berdasarkan urutan taksonominya. Lalu ada buku panduan yang memiliki ilustasi dan ada pula juga yang hanya berisi teks deskripsi saja[40].

Binokuler

[sunting | sunting sumber]

Salah satu alat penting lainnya yang biasa dipakai pada kegiatan birdwatching adalah binokuler. Binokuler sangat membantu dalam membantu pengamatan burung jarak jauh[39]. Pemilihan binokuler yang memiliki ukuran diameter lensa objektifnya yang berukuran 4-5 kali lebih besar dari perbesaran binokuler tersebut. Seperti contoh binokuler dengan ukuran perbesaran “8x40” atau “10x42”. Angka di depan (8x40, 10x42) menunjukan ukuran perbesaran binokuler, sedangkan angka dibelakang (8x40, 10x42) menunjukan ukuran diameter lensa objektif lensa binokuler tersebut. Langschied (2011) juga menyatakan bahwa Perbesaran lensa binokuler yang ideal untuk birdwatching adalah perbesaran 7x dan 8x[41]. Selain itu, untuk ukuran diameter lensa binokuler yang disarankan untuk birdwatching adalah ukuran 30 mm keatas, sehingga kombinasi perbesaran dan diameter lensa binokuler yang disarankan untuk kegiatan birdwatching adalah 8x40.

Alat lain yang tak kalah penting dalam kegiatan birdwatching ini adalah kamera. Sebuah alat kamera dapat membantu dalam mengidentifikasi suatu jenis burung[42]. Dengan menggunakan kamera maka kesalahan dalam mengidentifikasi suatu jenis burung dapat diminimalisir.

Dalam penggunaannya GPS memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi tersebut antara lain adalah menyimpan lokasi titik koordinat pertemuan dengan burung. Lokasi yang disimpan dalam GPS biasanya adalah lokasi yang kaya akan keanekaragaman jenis burung dan penyimpanan lokasi tersebut dalam GPS tentunya akan memudahkan untuk mencari lokasi yang bagus untuk melakukan kegiatan birdwatching kembali[43].

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Mubarik, Ade Lukman; Aditya; Mayrendra, Chairiza T.; Latrianto, Avandi; Prasetyo, Yusuf E. (2020). "Bird diversity as potential development of avitourism in Girimanik Tourist Attraction, Wonogiri, Central Java". Journal of Tropical Biology. 8 (3): 152–162. doi:10.21776/ub.biotropika.2020.008.03.03. 
  2. ^ Conradie, Nicolene; Van Zyl, Cina (2013). "Agreement of the international avitourist market to ecotourism principles: A South African development perspective". Academic Journals. 7 (30): 3013–3021. doi:10.5897/AJBM12.1200.  line feed character di |title= pada posisi 52 (bantuan)
  3. ^ a b Steven, Rochelle; Morrison, Clare; Castley, J. Guy (2014). "Birdwatching and avitourism: a global review of research into its participant markets, distribution and impacts, highlighting future research priorities to inform sustainable avitourism management". Journal of Sustainable Tourism. 23 (8): 1–20. doi:10.1080/09669582.2014.924955. 
  4. ^ Steven, Rochelle; Morrison, Clare; Arthur, J. Michael; Castley, J. Guy (2015). "Avitourism and australian important bird and biodiversity areas". PLos One. 10 (12): 1–11. doi:doi.org/10.1371/journal.pone.0144445 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  5. ^ Conradie, Nicolene (2015). "Profiling the international avitourist: preferences of avitourists at the British and Dutch birdwatching fairs" (PDF). African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure. 4 (1): 1–26.  line feed character di |title= pada posisi 55 (bantuan)
  6. ^ Moss, Stephen (2004). A Bird in the Bush: A Social History of Birdwatching. London: Aurum Press. 
  7. ^ Steven, Rochelle (2015). "The relationship between birders, avitourism and avian conservation" (PDF). Griffith School of Environment. Thesis. Australia.  line feed character di |title= pada posisi 45 (bantuan)
  8. ^ Dickie, Ian; Hughes, Julian; Esteban, Aniol (2006). Watched like never before…the local economic benefits of spectacular bird species (PDF). Bedfordshire: RSPB. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-01-19. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  9. ^ Sankey, Steve; Shedden, Colin (1998). Geese and Local Economies in Scotland (PDF). Edinburgh: RSPB. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-06. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  10. ^ Molloy, Dominic; Thomas, Sam; Morling, Paul (2011). RSPB Reserves and Local Economies (PDF). Bedfordshire: RSPB. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-06. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  11. ^ USDI (1970). National Survey of Hunting and Fishing (PDF). Washington DC: U.S. Fish and Wildlife Service. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-13. Diakses tanggal 2021-12-06. 
  12. ^ Kellert, Stephen R (2009). "Birdwatching in American Society". Leisure Sciences. 7 (3): 343–360. doi:https://doi.org/10.1080/01490408509512129 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  13. ^ Measells, Marcus K; Grado, Stephen C (2007). "Economic Impacts of Two Birding Festivals in Mississippi" (PDF). Proceedings. 
  14. ^ Callaghan, Corey T; Slater, Michael; Major, Richard E; Morrison, Mark; Martin, John M (2017). "Travelling birds generate eco-travellers: The economic potential of vagrant birdwatching". Human Dimensions of Wildlife. 23 (1): 71–82. doi:https://doi.org/10.1080/10871209.2017.1392654 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  15. ^ Crandall K, Leones J, Colby BG. 1992. Nature-based Tourism and the Economy of Southeastern Arizona: Economic Impacts of Visitation to Ramsey Canyon Preserve and San Pedro Riparian National Conservation Area. Tucson (US): University of Arizona.
  16. ^ Myers, Kelley H; Parsons, George R; Edwards, Peter ET (2010). "Measuring the recreational use value of migratory shorebirds on the Delaware Bay" (PDF). Marine Resource Economics. 25 (3): 247–264. 
  17. ^ Kerlinger, P., Wiedner, D.S. 1994. America’s favorite birding sites. Bird Watcher’s Digest. 76–91.
  18. ^ Clucas, Barbara; Rabotyagov, Sergey; Marzluff, John M (2015). "How much is that birdie in my backyard? A cross-continental economic valuation of native urban songbirds". Urban Ecosystems. 18 (1): 251–266. doi:10.1007/s11252-014-0392-x. 
  19. ^ Department of Trade and Industry (2010). Avitourism in South Africa: Opportunities and Recommendations (PDF). Pretoria: Department of Trade and Industry. 
  20. ^ Department of Trade and Industry (2010). Niche Tourism Markets: Avitourism in South Africa (PDF). Pretoria: Department of Trade and Industry. 
  21. ^ Navrud, Ståle; Mungatana, Eric (1994). "Environmental valuation in developing countries: The recreational value of wildlife viewing". Ecological Economics. 11 (2): 135–151. doi:10.1016/0921-8009(94)90024-8. 
  22. ^ Maldonado, Jorge H; Moreno-Sánchez, Rocío del Pilar; Espinoza, Sophía; Bruner, Aaron; Garzón, Natalia; Myers, John (2018). "Peace is much more than doves: The economic benefits of bird-based tourism as a result of the peace treaty in Colombia" (PDF). World Development. 106 (2018): 78–86. doi:https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2018.01.015 Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 67 (bantuan)
  23. ^ Puhakka, Liisa; Salo, Matti; Sääksjärvi, Ilari E (2011). "Bird Diversity, Birdwatching Tourism and Conservation in Peru: A Geographic Analysis". PLos One. 6 (11). 
  24. ^ Sekercioglu, Cagan H (2002). "Impacts of birdwatching on human and avian communities". Environmental Conservation. 29 (3): 282–289. doi:10.1017/S0376892902000206. 
  25. ^ Jepson, Paul (1997). Birding Indonesia : A Birdwatcher’s Guide to the World’d largest Archipelago. Singapura: Periplus. 
  26. ^ Green, Ronda J; Jones, Darryl N (2010). Practices, needs and attitude of bird-watching tourists in Australia (PDF). Gold Coast: CRC for Sustainable Tourism. 
  27. ^ Glowinski, Sheri L (2008). "Bird-watching, ecotourism dan economic development : a review of the evidence". Applied Research in Economic Development. 5 (3). 
  28. ^ Jones, Darryl N; Buckley, Ralf (2001). Birdwatching tourism in Australia (PDF). Queensland: CRS for Sustainable Tourism. 
  29. ^ a b Winasis, Swiss; Hakim, Luchman; Imron, M. Ali (2018). "The Utilization of Burungnesia to Detect Citizen Scientist Participation Preference in Birding Sites Observation in Java Island". Journal of Indonesian Tourism and Development Studies. 6 (1): 49–54. doi:10.21776/ub.jitode.2018.006.01.07. 
  30. ^ Osawa, Takeshi (2019). "Perspectives on biodiversity informatics for ecology". Ecological Research. 34 (4): 446–456. doi:10.1111/1440-1703.12023. 
  31. ^ Gadelha Jr, Luiz M. R.; de Siracusa, Pedro C; Dalcin, Eduardo Couto; da Silva, Luís Alexandre Estevão; Augusto, Douglas A; Krempser, Eduardo; Affe, Helen Michelle; Costa, Raquel Lopes; Mondelli, Maria Luiz (2020). "A survey of biodiversity informatics: Concepts, practices, and challenges". WIREs Data Mining and Knowledge Discovery. 11 (1). doi:https://doi.org/10.1002/widm.1394 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  32. ^ Sullivan, Brian L.; Aycrigg, Jocelyn L.; Barry, Jessie H.; Bonney, Rick E.; Bruns, Nicholas; Cooper, Caren B.; Damoulas, Theo; Dhondt, André A.; Dietterich, Tom (2014). "The eBird enterprise: An integrated approach to development and application of citizen science". Biological Conservation. 169: 31–40. 
  33. ^ a b Afif, Fuadi; Aisyianita, Revi Agustin; Hastuti, Saptin Dwi Setyo (2018). "Potensi birdwatching sebagai salah satu daya Tarik wisata di Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo" (PDF). Jurnal Media Wisata. 16 (2): 1007–1015. 
  34. ^ Sitanggang, Fajar Islam; Budiman, Mokhamad Asyief Khasan; Afandy, Andy (2020). "Bird Diversity: The Potential of Avitourism Reserves for Bird Conservation in Curup Tenang, South Sumatera, Indonesia". Jurnal Biodjati. 5 (2): 249–258. doi:10.15575/biodjati.v5i2.9537. 
  35. ^ Aini, Desi Nur; Marlina, Avi; Pitana, Titits Srimuda (2018). "The application of healing garden on the mother and child hospital's design strategy". Journal Arsitektura. 16 (2): 267–274. 
  36. ^ Nicolaides, Angelo (2014). "Stakeholders, purposes and responsibilities: Avitourism in South Africa". African Journal of Hospitality, Tourism and leisure. 3 (2): 1–14. 
  37. ^ Biggs, Duan; Turpie, Jane; Fabricius, Christo; Spenceley, Anna (2011). "The value of avitourism for conservation and job creation- an analysis from South Africa". Journal Conservation and Society. 9 (1): 80–90. doi:10.4103/0972-4923.79198. 
  38. ^ Asidah, Erwin (2021). "Strategi pemasaran produk souvenir pendukung Desa Wisata Sade Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat". Jurnal Pengabdian Masyarakat. 1 (1): 16–20. 
  39. ^ a b Cox, J. 2010. Bird Watching Basics. Tallahassee: Florida Fish and Wildlife Conservation Commission.
  40. ^ Recher, Harry F. (2017). "Field guides, bird names, and conservation". Pacific Conservation Biology. 23 (4): 315–323. doi:10.1071/PC17019. 
  41. ^ Langschied, Thomas M. (2011). Fedynich, Alan M., ed. A Guide to Bird-Watching and South Texas Wintering Birds (PDF). Kingsville: Caesar Kleberg Wildlife Research Institute. 
  42. ^ Tsang, K.C.; Subaraj, R.; Wee, Y.C. (2009). "The Role of The Camera In Birdwatching In Singapore" (PDF). Nature in Singapore. 2: 183–191. 
  43. ^ Asrianny; Saputra, Hendra; Achmad, Amran (2018). "Identifikasi keanekaragaman dan sebaran jenis burung untuk pengembangan ekowisata bird watching di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung". Jurnal Perennial. 14 (1): 17–23. doi:https://doi.org/10.24259/perennial.v14i1.4999 Periksa nilai |doi= (bantuan).