Lompat ke isi

Media massa di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Monumen Pers Nasional Indonesia di Solo

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.[butuh rujukan] Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.[butuh rujukan] Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.[1]

Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.[2]

Sejarah Pers Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.[butuh rujukan]

Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna.[3] Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[4]

Karena kredibilitasnya, Adam Malik setelah menduduki jabatan semula sebagai ketua Kantor berita Antara, ia diangkat sebagai Menteri Perdagangan, Duta Besar, Menteri Utama Bidang Politik, Menteri Luar Negeri, Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Ketua DPR/MPR dan Wakil Presiden.[5]

Kemerdekaan Pers

[sunting | sunting sumber]

Kemerdekaan pers dalam arti luas adalah pengungkapan kebebasan berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima sebagai hak asasi manusia.[butuh rujukan] Masyarakat demokratis dibangun atas dasar konsepsi kedaulatan rakyat, dan keinginan-keinginan pada masyarakat demokratis itu ditentukan oleh opini publik yang dinyatakan secara terbuka.[butuh rujukan] Hak publik untuk tahu inilah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung.[butuh rujukan] Tidak adanya kemerdekaan pers ini berarti tidak adanya hak asasi manusia (HAM).[6]

Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar.[butuh rujukan] Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers.[butuh rujukan] Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia PWI tahun 1946.[butuh rujukan] Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers.[butuh rujukan] Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”.[butuh rujukan] Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.[butuh rujukan]

Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang.[butuh rujukan] Dengan kemerdekan pers terjadilah chek and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara.[butuh rujukan] Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru pada tahun 1998.[7]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Shahab, Alwi. Cerita-cerita Betawi : Maria van Engels menantu Habib Kwitang. Penerbit Republika.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sobur, Alex. (2001). Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama Press. hlm. 145
  2. ^ Eisy, M Ridlo. (2007). Peranan Media dalam Masyarakat. Jakarta : Dewan Pers. hlm. 65
  3. ^ Alwi Shahab. "Cerita-cerita Betawi : Maria van Engels menantu Habib Kwitang.". Penerbit Republika. 
  4. ^ Rauf, Ismet. Adam, Saleh Danny. (2002). Catatan Politik Pengalaman Wartawan Antara. Jakarta : Antara Pustaka Utama. hlm. 8
  5. ^ Rauf, Ismet. Adam, Saleh Danny. Wahono, Riyanto D. (2003). Siapa-siapa Wartawan Jakarta. Jakarta : PWI Jaya. hlm 279.
  6. ^ Eisy, M Ridlo. (2007). Peranan Media dalam Masyarakat. Jakarta : Dewan Pers. hlm. 60
  7. ^ Siregar, RH. (2005). Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta : Dewan Kehormatan PWI. hlm. 6