Kisah Gumansalangi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kisah Tentang Gumansalangi adalah sebuah cerita rakyat yang disampaikan secara turun-temurun oleh para orang tua di Sangihe-Talaud. Cerita tersebut didokumentasikan secara tertulis oleh Kenneth R. Maryott dalam buku Manga wekeng asalʼu tau sangihe (Bahasa Indonesia: Cerita-cerita asal orang Sangir, Bahasa Inggris: Stories of the origins of the Sangir people) yang diterbitkan oleh The Committee for the Promotion of the Sangir Language di Davao, Filipina pada tahun 1995 dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangir, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Kepada Maryott, kisah tersebut diceriterakan oleh Haremson E. Juda dan diterjemahkan oleh Christina Pasaribu (bahasa Indonesia).

Tokoh-tokoh dalam cerita[sunting | sunting sumber]

  • Pangeran Gumansalangi atau Yang Dipertuan Agung Medelu, raja pertama orang-orang di Kepulauan Sangihe-Talaud
  • Putri Konda atau Putri Mekila, putri dari Kahyangan yang menjadi istri Gumansalangi
  • Melintang-Nusa, anak pertama dari Gumansalangi dan Konda
  • Meliku-Nusa, anak kedua dari Gumansalangi dan Konda
  • Putri Hiabe, putri dari Mindanao yang menjadi istri Melintang-Nusa
  • Putri Menong-Sangiang, putri dari Bolaang Mongondow yang menjadi istri Meliku-Nusa
  • Bawangung-Lare, kakak laki-laki dari Konda

Ringkasan cerita[sunting | sunting sumber]

Menurut cerita para orang tua di Sangir-Talaud, dahulu kala (kira-kira tahun 1300 SM), Kotabato, yang terletak di pulau Mindanao, merupakan tempat asal nenek moyang mereka. Alkisah, salah satu dari nenek moyang mereka mempunyai seorang putra bernama Pangeran Gumansalangi. Akibat tabiat sang putra yang sangat buruk, sang ayah mengasingkannya jauh ke tengah hutan. Dalam pengasingan tersebut, Gumansalangi menyesali tiap kesalahannya. Begitu besar rasa sesalnya itu membuatnya menangis meraung-raung sampai terdengar ke telinga raja Kahyangan. Maka raja tersebut turun ke bumi dan mengikuti arah sumber suara tangisan tersebut hingga ia menemukan Gumansalangi di tengah hutan.

Sang raja lalu kembali ke Kahyangan dan menanyakan kesediaan putri-putrinya untuk ke bumi, menemui Gumansalangi. Sang putri bungsu, Putri Konda, menyetujuinya. Maka berangkatlah ia ke bumi dengan menjelma sebagai seorang wanita yang sedang sakit frambusia, sejenis penyakit kulit yang akut. Bau busuk penyakitnya sangat menyengat sampai tercium oleh Gumansalangi. Namun, hal itu tidak membuat sang pangeran merasa jijik. Ia mendekati sumber bau tersebut dan menemui seorang wanita sedang sakit patek. Karena ia seorang bujangan, ia mengajak wanita tersebut untuk tinggal bersamanya. Akan tetapi, wanita itu menolak karena merasa tidak pantas untuk tinggal dengan orang yang sehat. Pada akhirnya, karena Gumansalangi terus memaksa, iapun menerima tawaran tersebut.

Setelah tinggal beberapa hari lamanya, sang putri menghilang karena kembali ke Kahyangan. Iapun melapor kepada ayahnya bahwa Gumansalangi sudah berubah dan bersikap baik kepadanya walaupun ia berpenyakit. Namun sang ayah, raja Kahyangan, meminta Konda untuk mengabdikan dirinya seumur hidup kepada pangeran tersebut. Maka ia turun kembali ke bumi dengan rupa seorang putri yang cantik. Baunya wangi sekali. Bau yang harum itu sampailah ke hidung pangeran, sehingga tercium dan mendorongnya lagi untuk mencari sumber bau tersebut hingga ditemukannya seorang putri berwajah cantik dan bersinar. Singkat cerita, Gumansalangi memperistrikan Konda.

Kemudian, mereka berdua pergi meninggalkan Mindanao menuju salah satu pulau di Kepulauan Sangihe yang bernarna Pulau Tampung-Lawo dan mendaki Gunung Sahendarumang. Puncak tersebut diliputi oleh guruh dan kilat, sebagai tanda bahwa raja Kahyangan menetapkan mereka untuk tinggal di daerah tersebut. Setelah itu, mereka berdua turun ke arah timur pulau tersebut dan menyusuri Sungai Balau hingga bertemu dengan orang-orang setempat. Oleh penduduk setempat, nama Gumansalangi diganti dengan Yang Dipertuan Agung Medelu yang artinya 'bagaikan jin guruh.' Putri Kondapun diberi nama Putri Mekila yang artinya 'bagaikan putri kilat' karena mereka turun dari gunung yang dipenuhi oleh guruh dan kilat. Mereka berdua juga diangkat sebagai raja dan ratu di wilayah tersebut. Kerajaan tersebut dinamai oleh penduduk setempat sebagai Kerajaan Tampung-Lawo yang berarti Sangir Besar.

Medelu dan Mekila dikaruniai 2 anak laki-laki, Melintang-Nusa dan Meliku-Nusa. Ketika Medelu memasuki usia senja, ia kembali ke Mindanao dan meninggal di sana. Kemudian, kerajaannya diturunkan kepada Melintang-Nusa. Setelah beberapa saat, Melintang-Nusa pergi ke daerah utara, tempat asal ayahnya dan tinggal untuk sementara di sana serta menikah dengan putri dari Mindanao yang bernama Putri Hiabe. Sementara adiknya, Meliku-Nusa, pergi ke arah selatan dan tinggal di Bolaang Mongondow serta menikah dengan putri dari Mongondow yang bernama Menong-Sangiang. Keturunan Gumansalangi terus berjuang untuk wilayah Sangihe-Talaud dan mendirikan kerajaan-kerajaan baru di seluruh daerah.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]