Kehendak bebas dalam teologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kehendak bebas dalam teologi selalu berkaitan dengan tingkat kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia sebagai pemberian dari Tuhan. Sejarah pembahasannya telah dimulai pada masa Kekristenan di Kekaisaran Romawi dan dikaji kembali pada masa Kekhalifahan Umayyah oleh umat Muslim.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Teologi Kristen[sunting | sunting sumber]

Pembahasan mengenai kehendak bebas dalam teologi telah dimulai oleh Pelagius. Dirinya menulis sebuah surat untuk seorang perempuan kaya berkebangsaan Romawi bernama Demetrias yang ingin menjadi pelayan Tuhan. Dalam suratnya, ia memberikan pandangannya mengenai kehendak bebas yang merupakan pemberian dari Allah. Ia mengartikan kehendak bebas sebagai kemampuan manusia untuk berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Kemampuan ini telah diberikan kepada Adam sejak penciptaannya hingga ia diturunkan ke Bumi akibat dosanya. Pelagius juga mengartikan kehendak bebas sebagai kemampuan manusia untuk menyanggupi perintah Allah.[1]

Dalam teologi Islam, kehendak bebas telah dimulai sejak pelanggaran perintah Allah oleh Nabi Adam saat memakan buah dari pohon terlarang. Peristiwa ini menjadi bentuk kehendak bebas dari ego manusia yang bersifat kreatif. Pengisahannya di dalam Al-Qur'an. Kehendak bebas ini mengawali perubahan kepribadian manusia dari hanya mengutamakan nafsu naluriah menjadi berpikir secara sadar atas tindakannya.[2]

Teologi Islam[sunting | sunting sumber]

Perdebatan mengenai kehendak bebas dalam teologi Islam baru dimulai pada masa Kekhalifahan Umayyah. Penyebabnya adalah perbedaan pendapat mengenai ketundukan kepada takdir. Namun, perdebatan ini cenderung terjadi karena adanya kepentingan politik.[3] Perdebatan mengenai kehendak bebas terjadi antara pengikut Qadariyah dan Jabariyah. Pengikut Qadariyah meyakini bahwa manusia memiliki kemutlakan dalam menentukan perbuatan-perbuatannya. Sementara Jabariyah meyakini bahwa seluruh kehendak bebas manusia pada dasarnya merupakan akibat dari kehendak mutlak yang ditetapkan oleh Allah.[4]

Sifat[sunting | sunting sumber]

Memiliki keterbatasan[sunting | sunting sumber]

Dalam filsafat agama, tingkat kebebasan dan kemerdekaan manusia tidaklah sangat besar. Ini karena manusia pada hakikatnya memiliki keterbatasan materi yang terikat dengan hukum alam. Keterbatasan ini membuat manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuan meskipun memiliki ketidakterbatasan dalam kemauan. Hal ini pula yang membuat manusia tidak dapat mewujudkan semua kehendaknya. Keterikatan ini membuat manusia tidak dapat menghindari penuaan, sakit dan kematian.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Lukito, Daniel Lucas (2019). Pudarnya Konsep Dosa dalam Dunia Kekinian: Doktrin tentang Dosa (PDF). Malang: Literatur SAAT. hlm. 117. ISBN 978-602-7788-47-3. 
  2. ^ Taufik, M. (Oktober 2021). Paradigma Pendidikan Islam Kontekstual: Telaah Retro-Prospektif, Psiko-Sufistik, dan Paradigma-Pragmatis (PDF). Mataram: Sanabil. hlm. 123. ISBN 978-623-317-280-6. 
  3. ^ Hakim, Lukman (Oktober 2014). Yasin, Taslim HM, ed. Wacana Teologi Transformatif: Dari Teosentris ke Antroposentris (PDF). Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. hlm. 46. ISBN 978-602-1216-08-8. 
  4. ^ Arifin, Muhammad (April 2021). Furqani, Hafas, ed. Teologi Rasional: Perspektif Pemikiran Harun Nasution (PDF). Banda Aceh: Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia. hlm. 4. ISBN 978-623-94467-9-6. 
  5. ^ Kosasih, Ahmad (Agustus 2020). Problematika Takdir dalam Teologi Islam (PDF). Jakarta: Midada Rahma Press. hlm. xiii. ISBN 978-979-1077-69-9.