Karambangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Karambangan (Mongkarembangan)[1] merupakan jenis permainan musik gitar tunggal dengan irama tradisional yang berasal dari Kabupaten Poso, dan Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah.

Karambangan berasal dari Bahasa Bare'e[2] yang merupakan bahasanya Suku Bare'e, Karambangan berasal dari Bahasa Bare'e yaitu Ngkarembangan, Mongkare, atau Mongkarembangan yang berarti memetik atau mengutik (kuti) dan hal ini berarti memetik atau mengutik (kuti) gitar. Dan kini di zaman Moderen, Ngkarembangan disebut Karambangan.

Syair dalam musik Karambangan berupa Kayori dan Ledoni. Kayori dan Ledoni merupakan istilah yang banyak beredar di wilayah Pu'umboto, To Lage sampai Desa Tojo, istilah Kayori dan Ledoni sebenarnya sama, keduanya merupakan pantun. Perbedaannya terletak pada cara pengungkapan dan bahasa yang digunakan. Dalam Ledoni bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan maksud dari ledoni tersebut bisa langsung dimengerti sebab menggunakan bahasa yang lugas. Sementara dalam Kayori pengungkapannya menggunakan bahasa puitis/kiasan sehingga dibutuhkan kecermatan untuk dapat memahami maksud dari syair kayori tersebut. Ciri lain dari kayori yaitu dalam satu bait terdapat empat baris dengan ritme yang sama. Kayori maupun Ledoni keduanya berisi nasihat atau linga-linga, kisah percintaan, nyanyian pemujaan kepada PueMpalaburu, ataupun ungkapan isi hati pencipta kayori dan ledoni tersebut, dan dijaman sekarang pemujaan kepada PueMpalaburu tersebut telah beragama Islam dan tetap Mongkarambangan (Karambangan).

Bisa dikatakan inti karambangan terletak pada syair, karena lewat syair tersebut orang bisa mengetahui maksud dari musik karambangan yang disajikan. Sampai saat ini syair dalam musik karambangan (kayori dan ledoni) ditulis dalam Bahasa Bare'e. Keistimewaan bahasa bare'e yang merupakan bahasanya Suku Bare'e (Orang Tojo) ini adalah kemampuannya mengungkapkan perasaan hati yang paling dalam melalui bentuk bahasa yang dikenal dengan istilah “tengke” dan “kayori”.

Musik karambangan merupakan permainan gitar tunggal untuk mengiringi vokal penyanyi lagu karambangan dengan alat musik penggiring karambangan yaitu juk, geso-geso, ukulele (gitar kecil) dan alat perkusi lainnya seperti ganda (gendang) sehingga membentuk sebuah ansambel musik.

Karambangan, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia[sunting | sunting sumber]

Karambangan, begitu biasa masyarakat Sulawesi tengah menyebut untuk sebuah seni musik yang dimainkan dari petikan gitar dan sebuah alat musik yang terbuat dari tulang-tulang hewan yang diikat tali digesek dengan sebuah tulang yang halus seperti biola serta gendang yang di tabuh dengan tulang hewan buruan. Itulah salah satu musik tradisional masyarakat Sulawesi Tengah.

Karambangan[3] merupakan Warisan Budaya Tak Benda dari Kabupaten Poso, Desa Tojo, dan Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah.

Jenis Karambangan[sunting | sunting sumber]

Karambangan ada 3 jenis yaitu :

Karambangan Asli, Karambangan Asli Suku Bare'e karena disajikan sebagaimana bentuk aslinya tanpa variasi. Penalaan dawai gitar pada jenis karambangan asli adalah sebagai berikut: dawai 6 nada G, dawai 5 nada C, dawai 4 nada D, dawai 3 nada G, dawai 2 nada D, dawai 1 nada F.

Karambangan Matuari, Jenis karambangan ini disajikan dengan menggunakan variasi musik-musik dari wilayah Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Penalaan dawai pada jenis karambangan ini adalah sebagai berikut: dawai 6 nada G, dawai 5 nada A, dawai 4 nada D, dawai 3 nada A, dawai 2 nada D, dawai 1 nada F#.

Karambangan Seselero, Jenis karambangan ini disajikan dengan diawali potongan melodi lagu seselero di wilayah Tana Poso (Wilayah Suku Bare'e di wilayah Kabupaten Poso yang sekarang, kecuali Napu).

Alat-alat Musik Karambangan[sunting | sunting sumber]

Alat musik yang sering digunakan dalam karambangan antara lain: gitar tunggal sebagai pelantun musik Karambangan yang utama.

Dan sebagai penggiring yaitu dua buah gitar (gitar pertama menggunakan penalaan Karambangan sementara gitar kedua menggunakan penalaan standar/internasional); juk atau ukulele (bentuknya seperti gitar namun ukurannya lebih kecil serta hanya menggunakan tiga buah dawai yang terbuat dari nilon sementara penopang suaranya terbuat dari tempurung kelapa atau rantang); dan geso-geso (bentuknya menyerupai biola hanya saja lebih sederhana serta berdawai tunggal yang terbuat dari rotan, ijuk, atau tali nilon). Geso-geso dimainkan dengan cara digesek, serta ganda (gendang), dan Gongi (gong).

Selain itu alat musik lain yang biasanya juga digunakan sebagai alat musik tambahan yaitu: suling bamboo, rere (alat musik tradisional yang terbut dari bamboo dan berbentuk menyerupai garpu tala), serta suke yaitu alat musik terbuat dari bambu sebagai alternatif pengganti Gongi (gong). Sementara gitar yang digunakan adalah gitar dengan dawai terbut dari baja karena memiliki warna suara yang dianggap lebih jernih. Selain gitar, alat musik lainnya yang digunakan dalam komposisi Karambangan merupakan kreasi sendiri.

Komposisi Pemain Musik[sunting | sunting sumber]

Komposisi pemain dalam sebuah pementasan musik Karambangan dibatasi sebanyak- banyaknya Tujuh Orang yang terdiri dari empat orang pemusik dan tiga orang penyanyi. Keempat orang pemusik tadi dapat juga merangkap sebagai penyanyi, ketujuh orang pemain musik ini merupakan simbol dari jenis musik yang bersumber dari Agama Islam.

Fungsi Karambangan[sunting | sunting sumber]

Hadirnya musik karambangan di tanah Poso-Ampana di tahun 2001[2] semakin menambah perbendaharaan musik di daerah ini. Alunan musiknya yang begitu lembut dan menyentuh hati serta ditandai dengan ritme yang khas telah membuat musik karambangan begitu popular dan dianggap sebagai pengiring yang tepat untuk tarian Dero. Pada awalnya gitar yang digunakan dalam musik karambangan merupakan kreasi sendiri yang menggunakan kayu lenguru sebagai bahan dasar, serta dawainya terbuat dari tali suasa (dawai terbuat dari kuningan murni yang diambil dari salah satu elemen tape merek National keluaran awal.), sehingga mengeluarkan bunyi lebih merdu dan berbeda dari gitar pada umumnya).

Maka tak heran kalau kemudian musik karambangan dipercaya laksana magnet yang bisa menarik gadis bare'e (Mea) hingga melompat keluar jendela di tengah malam hanya karena ingin mencari asal bunyi itu. Daya tarik inilah yang kemudian membuat musik karambangan menjadi salah satu medium seni yang tepat untuk mencari jodoh. Karena ketika seorang pria memainkan musik karambangan, itu berarti yang bersangkutan sedang mencari pasangan hidup. Selain sebagai alat untuk mencari jodoh, musik karambangan juga menjadi media ekspresi seni, sarana hiburan dan media penyampaian pesan bagi masyarakat Poso-Ampana ditahun tersebut.

Melalui musik karambangan ini para seniman dapat menyampaikan pesan baik itu berupa nasehat atau linga-linga, dan ungkapan hati mereka lewat lirik lagu karambangan atau lebih dikenal dengan istilah Kayori. Kebiasaan dan tradisi orang Poso-Ampana yang mengutamakan hidup bersama sesuai dengan moto Sintuwu Maroso:”dalam kebersamaan terdapat kekuatan”[4], menjadikan musik Karambangan sebagai sarana untuk dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Hal ini dapat kita lihat jelas pada acara-acara tertentu seperti acara kematian misalnya, musik Karambangan menjadi hiburan bagi mereka yang mengalami kedukaan melalui kayori-kayori yang dibawakan.

Di samping itu musik Karambangan sering dinyanyikan oleh nyanyian pemujaan kepada PueMpalaburu, ataupun ungkapan isi hati pencipta kayori dan ledoni tersebut, dan dijaman sekarang pemujaan kepada PueMpalaburu tersebut telah beragama Islam[2] dan Suku Bare'e di Poso-Ampana tersebut tetap Mongkarambangan (Karambangan), dan juga dijadikan pendamping keluarga melewati waktu penantian jenazah yang disemayamkan di rumah duka ataupun malam-malam Tahlil.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Liputan Humas". dgip.go.id. Diakses tanggal 2023-03-05. 
  2. ^ a b c Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta | Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo. 
  3. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2023-03-05. 
  4. ^ Thaha, dkk, Tjatjo (1998). Wujud, Arti, dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya: Sumbangan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tengah Terhadap Kebudayaan Nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 44.