Jika sebatang pohon tumbang di sebuah hutan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah pohon yang tumbang di dalam hutan

"Jika sebatang pohon tumbang di hutan dan tidak ada yang mendengarnya, apakah pohon itu menimbulkan suara?" adalah sebuah eksperimen pikiran filosofis yang mengajukan pertanyaan mengenai observasi dan persepsi.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Filsuf George Berkeley, dalam karyanya, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), menuliskan, "Tetapi, katakanlah, pasti tidak ada yang lebih mudah bagi saya untuk membayangkan sebuah pohon, misalnya di taman [...] dan tidak seorang pun ada untuk melihatnya.[1] [...] Objek-objek inderawi hanya ada saat mereka dirasakan; pohon itu ada di kebun [...] tak lama kemudian, ketika ada seseorang untuk merasakannya."[2] (Perlu dicatat bahwa kutipan dari pasal 45 dapat dibilang merupakan pernyataan dari sebuah 'keberatan' terhadap pandangan Berkeley, dan bukan sebuah proklamasi darinya.) Meskipun demikian, Berkeley tidak pernah benar-benar menulis tentang pertanyaan itu.[3]

Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa diajukan. Tidak diketahui apakah sumber pertanyaan ini adalah Berkeley atau bukan. Pada bulan Juni 1883 di majalah The Chautauquan, terdapat sebuah pertanyaan, "Jika sebatang pohon jatuh di sebuah pulau yang tidak ada manusianya, akankah ada suaranya?" Mereka kemudian melanjutkan menjawab pertanyaan itu dengan, "Tidak. Suara adalah sensasi yang kuat di telinga saat udara atau media lainnya bergerak."[4] Hal ini tampaknya menyiratkan bahwa pertanyaan tersebut diajukan bukan dari sudut pandang filosofis, tapi dari sisi ilmiah semata. Majalah Scientific American menguatkan aspek teknis dari pertanyaan ini, sementara meninggalkan sisi filosofisnya, setahun kemudian ketika mereka mengajukan pertanyaan yang sedikit diubah kalimatnya, "Jika sebuah pohon jatuh ke pulau tak berpenghuni, apakah akan bersuara? "Dan memberikan jawaban yang lebih teknis, "Suara adalah getaran, ditransmisikan ke indra kita melalui mekanisme telinga, dan dikenali sebagai suara hanya di pusat syaraf kita. Jatuhnya pohon atau gangguan lainnya akan menghasilkan getaran udara. Jika tidak ada telinga yang bisa mendengarnya, tidak akan ada suara."[5]

Albert Einstein dikatakan pernah bertanya kepada rekan fisikawan dan temannya Niels Bohr, salah satu perintis mekanika kuantum, apakah dia secara realistis percaya bahwa 'bulan tidak ada jika tidak ada seorangpun yang melihatnya.' Bohr menjawab bahwa betapapun kerasnya dia (Einstein) mencoba, dia tidak akan dapat membuktikannya, sehingga menjadikan seluruh teka-teki itu semacam konjektur mutlak—yang tidak dapat dibuktikan ataupun dibantah.

Ungkapan yang bertahan hingga saat ini tampaknya berasal dari buku tahun 1910 berjudul "Fisika" karya Charles Riborg Mann dan George Ransom Twiss. Buku tersebut memuat pertanyaan "Ketika sebuah pohon jatuh di hutan yang sepi, dan tidak ada binatang didekat pohon itu untuk mendengarnya, apakah pohon itu menimbulkan suara? Mengapa?" pertanyaan ini diajukan bersamaan dengan banyak pertanyaan lainnya kepada pembaca sebagai kuis tentang salah satu isi bab dalam buku tersebut, dan karena itu, diajukan dari sudut pandang fisika semata.[6]

Metafisika[sunting | sunting sumber]

Kemungkinan eksistensi yang tak bisa dirasakan[sunting | sunting sumber]

Apakah sesuatu ada tanpa dirasakan? – mis. "apakah suara hanya akan bersuara jika seseorang mendengarnya?" Topik filosofis paling mendekati yang diperkenalkan oleh teka-teki ini melibatkan keberadaan pohon (dan suara yang dihasilkannya) di luar persepsi manusia. Jika tidak ada orang yang melihat, mendengar, menyentuh atau mencium pohon itu, bagaimana bisa dikatakan ada? Apa yang dapat dikatakan tentang keberadaanya saat eksistensinya saja tidak diketahui? Meskipun begitu, tentu saja, dari sudut pandang ilmiah, pohon itu benar-benar ada.[7] George Berkeley pada abad ke-18 mengembangkan idealisme subjektif, sebuah teori metafisika untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan ini, yang dikenal dengan sebutan "keberadaan adalah bisa dirasakan". Hari ini meta-fisikawan terpecah. Menurut teori substansi, suatu substansi berbeda dari propertinya, sedangkan menurut teori bundel, sebuah objek hanyalah data indranya. Definisi suara, disederhanakan, adalah suara yang bisa didengar. Pohon itu akan bersuara, bahkan jika tidak ada yang mendengarnya. Definisi ini menyatakan bahwa suara adalah kebisingan yang bisa didengar. Jadi pohon itu bisa saja didengar, meski tak ada orang disekitar yang bisa mendengarnya.

Pengetahuan tentang dunia yang tak teramati[sunting | sunting sumber]

Bisakah kita asumsikan fungsi dunia yang tidak teramati sama dengan dunia yang diamati? – mis., "Apakah pengamatan mempengaruhi hasil?"
Sebuah pertanyaan lain yang serupa mengabaikan apakah suatu kejadian yang tidak diobservasi terjadi dapat diprediksi, seperti yang terjadi bila diamati. Prinsip antropik menunjukkan bahwa pengamat, hanya dalam keberadaannya (tanpa campur tangan), dapat menentukan atau mempengaruhi realitas yang sedang diamati. Namun, kebanyakan orang, dan ilmuwan, menganggap bahwa pengamat tidak menentukan atau mengubah apakah pohon yang jatuh akan bersuara atau tidak, tapi ini adalah klaim yang tidak mungkin untuk dibuktikan. Namun, banyak ilmuwan berpendapat sebagai berikut, "Peristiwa yang benar-benar tidak teramati adalah peristiwa yang tidak mengakibatkan efek apapun (tidak memberikan informasi apapun) kepada entitas lain (dimana 'entitas lain' dapat berupa misalnya manusia, perekam suara atau bahkan sebongkah batu), oleh karena itu, peristiwa ini tidak meninggalkan warisan atau jejak pada alam semesta fisik yang lebih luas pada saat ini (atau saat yang sedang berlangsung). Dan kemudian peristiwa yang tidak dikenali itu sebenarnya identik dengan peristiwa yang sama sekali tidak terjadi." (kutipan yang ditampilkan ini tidak memiliki atribusi atau referensi dan tidak ada yang dapat ditemukan secara daring dengan usaha yang wajar). Tentu saja, fakta bahwa pohon tersebut diketahui telah berubah keadaan dari 'tegak lurus' menjadi 'jatuh' menyiratkan bahwa peristiwa tersebut harus diamati untuk mengajukan semua pertanyaan – walaupun misalnya saja hanya diamati oleh seorang tunarungu. Filsuf ilmu pengetahuan Inggris Roy Bhaskar, dikenal atas usahanya mengembangkan realisme kritikal. Dia berargumen, yang tampaknya mengacu kepada teka-teki ini, sebagai berikut:

If men ceased to exist sound would continue to travel and heavy bodies to fall to the earth in exactly the same way, though ex hypothesi there would be no-one to know it[8]

Adanya realita yang tidak teramati ini merupakan bagian integral dari ontologi Bhaskar, yang menentang (bertentangan dengan berbagai jenis positivisme yang telah mendominasi ilmu alam dan sosial di abad ke-20) bahwa 'struktur nyata ada secara independen dan sering kali tidak sesuai dengan fase pola sebenarnya dari peristiwa '.[9] Dalam ilmu sosial, hal ini telah membuat pendekatannya populer di kalangan Marxis kontemporer — terutama Alex Callinicos – yang mendalilkan adanya kekuatan sosial dan struktur nyata yang mungkin tidak selalu dapat diamati.[10][11][12]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1734. section 23.
  2. ^ A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1734. section 45.
  3. ^ Tergantung dari apakah Berkeley berpikir benda terus ada saat tidak di persepsikan oleh pikiran yang terbatas, dan jika demikian, dengan cara apa benda itu ada, adalah subyek perdebatan serius di kalangan mazhab Berkeley.
  4. ^ The Chautauquan, June 1883, Volume 3, Issue 9, p. 543
  5. ^ Scientific American, April 5, 1884, pg 218.
  6. ^ Mann, Charles Riborg and George Ransom Twiss. Physics. Scott, Foresman and Co., 1910, p. 235.
  7. ^ ""What is Philosophy? – Analysis", Plymouth State University, Philosophy Department". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-21. Diakses tanggal 2018-02-16. 
  8. ^ Bhaskar, R. (2008 [1975]), A Realist Theory of Science, London: Verso, p. 21.
  9. ^ Bhaskar, R. (2008[1975]), A Realist Theory of Science, London: Verso, p. 13.
  10. ^ Marsh, D. (2002), "Marxism", in Marsh D. Stoker, G. (Eds.), Theory and Methods in Political Science, Basingstoke: Palgrave Macmillan, p. 159.
  11. ^ Marsh, D, & Furlong, P. (2002), “Ontology and Epistemology in Political Science”, in Marsh D. Stoker, G. (Eds.), Theory and Methods in Political Science, Basingstoke: Palgrave Macmillan, p. 31.
  12. ^ Callinicos, A. (2006), The Resources of Critique, Cambridge: Polity, pp. 155–158.