Lompat ke isi

Gavin D'Costa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gavin D’Costa adalah seorang teolog Katolik yang dikenal sebagai salah satu pemikir teologi agama-agama.[1] Di dalam diskursus teologi agama-agama Kristen, ia dahulu dikenal sebagai pendukung posisi inklusivisme sehingga berpolemik dengan Alan Race dan Paul F. Knitter yang merupakan pendukung posisi pluralisme.[2]

Pemikiran D'Costa Awal

[sunting | sunting sumber]
Paul F. Knitter

Di dalam bukunya yang berjudul Theology and Religious Pluralism, ia mengklasifikasikan kepelbagaian paradigma mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain.[2] Pertanyaan teologis sentral dari buku tersebut adalah “Apakah ada keselamatan di luar kekristenan?” yang sekaligus menjadi pisau analisis dari pelbagai paradigma tersebut.[2] Untuk lebih memperjelasnya, D’Costa memulai dengan menyebutkan dua aksioma tradisional Kristen berkaitan dengan relasi kekristenan dan agama-agama lain.[2] Aksioma pertama yaitu 'keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus saja'; yang kedua, 'Allah menghendaki keselamatan semua orang'.[2]

Selain itu, D’Costa mengklasifikasikan pendekatan-pendekatan yang ada ke dalam tipologi pluralisme-eksklusivisme-inklusivisme, sebagaimana dilakukan oleh Alan Race dan Paul F. Knitter.[2] Masing-masing model ditelaah oleh D’Costa berdasarkan seorang teolog yang dianggap paling dominan di dalam dan yang paling mewakili setiap model: John Hick (pluralisme), Karl Barth (eksklusivisme), dan Karl Rahner (inklusivisme).[2]

D’Costa menyatakan bahwa posisi inklusivisme Karl Rahner adalah posisi yang terbaik ketimbang dua posisi lainnya, karena dapat menyeimbangkan dua aksioma tradisional yang disebut di atas.[2] Posisi pluralisme dipandang terlalu menekankan aksioma kedua mengenai Allah yang menginginkan semua manusia selamat, sementara model eksklusivisme terlalu menekankan aksioma pertama, bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus.[2] D’Costa menilai bahwa posisi inklusivisme berhasil menghadirkan kedua aksioma tersebut secara seimbang dan dengan demikian mampu merekonsiliasi paradigma pluralisme dan eksklusivisme.[2] Bagi D'Costa, paradigma inklusivisme berisi keterbukaan terhadap agama non-Kristen sekaligus komitmen kokoh pada kekristenan.[2]

Posisi D'Costa Sebagai Eksklusivis

[sunting | sunting sumber]

Posisi D’Costa kemudian berubah, yakni dari seorang pendukung paradigma inklusivisme berubah menjadi seorang pendukung eksklusivisme.[3] Hal itu terlihat di dalam bukunya, The Meeting of Religions and The Trinity yang ditulis pada tahun 2000.[3] Di dalam buku tersebut, D’Costa tidak lagi menggunakan dua aksioma seperti sebelumnya, melainkan menitik beratkan pentingnya kesadaran epistemologis.[3] Maksud dari kesadaran epistemologis adalah bahwa cara pandang suatu tradisi, baik religius maupun non-religius, terhadap dunia dan tradisi-tradisi lainnya, akan selalu perspektivis.[3] D’Costa melihat bahwa pada dasarnya cara pandang kekristenan terhadap agama lain harus berpijak pada tradisi tertentu di dalam kekristenan sehingga akan selalu eksklusivis secara epistemologis.[3]

Kritik Terhadap Posisi Pluralisme

[sunting | sunting sumber]

D'Costa lalu memberi kritik terhadap posisi pluralisme, terutama pada John Hick dan Paul F. Knitter sebagai tokoh utamanya.[3] Menurutnya, posisi tersebut sebenarnya berdasar kepada tradisi pencerahan-modernisme, bukan kekristenan.[3] Di sini, D'Costa meminjam pemikiran dari John Milbank dan Alasdair MacIntyre yang memberi kritik terhadap paradigma pencerahan-modernisme.[3] Dengan demikian, D'Costa melihat bahwa posisi pluralisme sebenarnya mendorong agama-agama untuk meninggalkan tradisinya sendiri dan bergerak menuju ke sebuah tradisi lain, yakni modernitas-liberal.[3] Hal itu dimungkinkan karena kriteria yang dibuat posisi pluralisme tentang agama yang benar akhirnya malah menolak tradisi-tradisi religius yang tidak setuju dengan kriteria tersebut.[3]

Kritik Terhadap Posisi Inklusivisme

[sunting | sunting sumber]

Terhadap posisi inklusivisme, D’Costa juga mengajukan penilaian kritis, dengan mengatakan bahwa sebenarnya ia merupakan posisi eksklusivisme yang terselubung.[3] Terdapat tiga alasan yang diajukan untuk membuktikan penilaiannya.

  1. Pertama, inklusivisme, seperti juga eksklusivisme, mengklaim bahwa tradisinya memiliki kebenaran yang penuh.[3]
  2. Kedua, inklusivisme mengklaim keutuhan ontologis, epistemologis, dan etis, sebagaimana kebenaran Ilahi tidak dapat dipisahkan dari mediatornya: Kristus dan gereja.[3]
  3. Ketiga, baik inklusivisme maupun eksklusivisme sama-sama menyadari adanya tradisi yang mereka pegang dan pertahankan sebagai titik pijak mereka.[3]

Dengan demikian, posisi pluralisme maupun inklusivisme sebenarnya tidak berbeda dengan posisi eksklusivisme, karena ketiganya berpegang teguh pada perspektif tertentu yang digunakan untuk melihat tradisi-tradisi lainnya.[3]

Peneguhan Terhadap Posisi Eksklusivisme

[sunting | sunting sumber]

D’Costa, di dalam buku The Meeting of Religions and The Trinity, memilih tradisi Katolik Roma sebagai titik pijak tradisinya, yang dipakainya sebagai perspektif dalam menilai tradisi lainnya.[3] Karena itulah, inklusivisme model Karl Rahner akhirnya dipandang keliru sebab memandang tradisi religius lain di luar kekristenan sebagai alat keselamatan.[3] Padahal, tradisi Katolik Roma, termasuk dokumen-dokumen Konsili dan post-Konsili Vatikan II, menilai agama-agama lain bukan sebagai jalan keselamatan.[3] D’Costa melihat bahwa posisi Gereja Katolik Roma terhadap agama lain setelah Vatikan II amatlah berwatak Trinitarian, khususnya dengan mengakui adanya peran penyucian dari Roh Kudus di luar Gereja Katolik Roma.[3] Hal ini membuat Gereja Katolik Roma lebih mampu mencapai tujuan yang diidamkan oleh pendukung model pluralisme dalam hal relasi yang lebih baik dengan umat beragama lain.[3]

Di dalam buku terbarunya, Christianity and World Religions (2009), D’Costa menjelaskan lebih terinci bahwa posisi eksklusivisme yang dipegangnya ternyata sesuai dengan doktrin-doktrin Gereja Katolik Roma yang menjadi titik pijaknya.[4] Ia juga menyatakan bahwa keselamatan bagi orang-orang non-Kristen dimungkinkan walaupun secara post-mortem (pasca-kematian).[4] Dengan demikian, setelah menunjukkan kemungkinan untuk relasi yang baik dengan umat beragama lain di dalam posisi eksklusivisme pada buku sebelumnya, di dalam buku ini D’Costa berupaya membuktikan bahwa posisi eksklusivisme tidak serta merta menghilangkan kemungkinan keselamatan orang-orang non-Kristen.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Indonesia)Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius.
  2. ^ a b c d e f g h i j k D'Costa, Gavin. 1986. Theology and Religious Pluralism: The Challenge of Other Religions. Oxford, UK & New York: Blackwell.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Gavin D'Costa. 2000. The meeting of religions and the Trinity. Maryknoll, NY: Orbis Books.
  4. ^ a b c Gavin D'Costa. 2009. Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions. Chichester, UK & Malden, MA: Wiley-Blackwell.