Eksodus Orang Palestina dari Kuwait (1990-1991)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Eksodus Orang Palestina dari Kuwait Orang Palestina menggunakan kata “nakba” (bencana) untuk menggambarkan eksodus orang Palestina sebelum dan selama perang melawan Israel tahun 1948. Pasca konflik, terdapat sekitar 700.000 pengungsi yang tidak kembali ke rumahnya di Israel. Banyak di antara mereka yang tetap berada di pengasingan atas kemauan mereka sendiri, dan saat ini mereka dan keturunan mereka masih mengklaim “hak untuk kembali.”[1]

Pada tahun 1990, ketika Irak berada dalam krisis ekonomi, Saddam Hussein memerintahkan Tentara Irak untuk menyerang Kuwait. Kita tahu cerita selanjutnya – bagaimana Barat bersatu untuk membela Kuwait (sebagian untuk melindungi kepentingan minyaknya), dan mendorong Saddam kembali ke Irak.

Tapi apa yang tidak kita ketahui tentang perang itu?

Selama konflik, Palestina terpecah menjadi dua kubu: kubu yang mendukung Irak dan kubu yang mendukung Kuwait. Beberapa pemimpin, seperti Mahmoud Abbas dan Yasser Arafat, mendukung Saddam. Namun yang lainnya tidak. Perlawanan mereka menyebabkan penganiayaan Irak terhadap komunitas Palestina di Kuwait. Karena pembantaian di Irak dan kekerasan lainnya, sekitar 200.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan Kuwait, meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Komunitas Palestina lainnya di Kuwait menderita penganiayaan berat, pengangguran dan kelaparan.

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Setelah pembebasan Kuwait pada bulan Februari 1991, penganiayaan terhadap warga Kuwait Palestina terus berlanjut. Keluarga Al-Sabah, yang memerintah Kuwait, tidak pernah memaafkan para pemimpin Palestina yang mendukung Irak, dan mengusir hampir seluruh anggota komunitas Palestina yang tersisa. Kebanyakan dari mereka harus mengungsi ke Yordania, karena sebagian besar masih mempertahankan kewarganegaraan Yordania. Komunitas Palestina Kuwait yang terdiri dari 400.000 pria, wanita dan anak-anak akhirnya berkurang menjadi 30.000.

Kehancuran komunitas Palestina di Kuwait menyebabkan krisis besar dalam kepemimpinan PLO. Tapi Arafat beruntung. Sekitar satu setengah tahun kemudian, pemerintahan baru Israel memperbarui hubungan diplomatik dengan Palestina, yang menghasilkan Perjanjian Oslo. Hal ini membantu menyelamatkan posisi Arafat di PLO dan dunia.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Algemeiner, The (2017-03-05). "The Second Palestinian Nakba: Kuwait and the Iraq War - Algemeiner.com". www.algemeiner.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-18.