Efikasi kolektif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Dalam sosiologi kejahatan, istilah efikasi kolektif mengacu pada kemampuan komunitas mengontrol perilaku individu dan kelompok dalam komunitas.[1] Kontrol terhadap perilaku masyarakat berakhir pada penduduk komunitas yang menciptakan lingkungan yang aman dan teratur. Efikasi kolektif mencakup penduduk yang mengawasi anak-anak yang bermain di tempat umum, bertindak mencegah bolos-membolos dan "nongkrongnya" remaja di jalanan, serta menegur individu yang mengeksploitasi atau mengganggu tempat umum.

Pendukung efikasi kolektif mengklaim bahwa tindakan-tindakan itu meningkatkan kontrol komunitas terhadap individu sehingga menciptakan lingkungan di mana kejahatan kekerasan jarang terjadi.[2][3] Peneliti berpendapat bahwa peningkatan efikasi kolektif dapat menghasilkan penurunan signifikan tindak kriminal di komunitas[2][4] Komunitas dengan tingkat efikasi kolektif tinggi ditemukan memiliki tingkat kekerasan[1] dan pembunuhan yang rendah,[5] menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah kekerasan mereduksi kejahatan.

Efikasi kolektif bergantung pada nilai yang dimiliki bersama oleh anggota komunitas. Jika anggota komunitas saling percaya dan bersedia bekerja sama mencegah kekerasan dan kejahatan, terciptanya lingkungan komunitas yang aman akan lebih mudah oleh mereka.

Konsep efikasi kolektif juga menjelaskan mengapa lingkungan tinggal perkotaan memiliki tingkat kejahatan yang berbeda. Di lingkungan perkotaan di mana para penghuni mengawasi perilaku kelompok dan bersedia turun tangan untuk melerai perkelahian atau mencegah kekacauan, kejahatan kekerasan jarang terjadi.[6]

Description[sunting | sunting sumber]

Efikasi kolektif mencakup perilaku, norma, dan tindakan yang penduduk komunitas tertentu gunakan untuk mencapai keteraturan publik (sosiologis menyebutnya “mekanisme informal”). Dalam komunitas di mana perbuatan informal ini ditegakkan sehari-hari oleh anggota komunitas, individu cenderung jarang terlibat dalam perilaku kejahatan.[7] Unsur kunci perspektif efikasi kolektif adalah fokusnya kepada effek praktik dan norma informal komunitas dalam mencegah kejahatan, bukan efek institusi formal yang dibentuk (seperti polisi).[6]

Supaya efikasi kolektif berkembang dalam suatu komunitas atau lingkungan tinggal, diperlukan anggota komunitas yang memiliki rasa percaya dan solidaritas yang kuat satu sama lain.[2] Dalam komunitas tanpa aturan yang jelas tentang kerja sama antartetangga, atau di mana para tetangga tidak percaya atau takut terhadap satu sama lain, penghuni lingkungan itu akan kurang bekerja sama mengawasi perilaku individu dalam komunitas. Sebaliknya, dalam komunitas di mana masyarakat percaya satu sama lain dan sangat bersedia bekerja sama, pengawasan komunitas cenderung mencegah kejahatan. Efikasi kolektif memerlukan anggota komunitas yang terikat kuat satu sama lain.

Efikasi kolektif dianggap mereduksi kecenderungan kejahatan dengan mencegah pertikaian publik meletus menjadi kekerasan.[1] Dalam komunitas di mana penghuninya kurang aktif dalam menegakkan keteraturan, kelompok rekan sebaya dan teman yang berkumpul di tempat umum cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan. Munculnya kekerasan meningkatkan kemungkinan kelompok ini menjadi geng kriminal, lingkaran perdagangan narkoba, dan lapangan prostitusi, di antara jenis perkumpulan kejahatan.

Efikasi kolektif tidak hanya mereduksi kejahatan di tempat umum tetapi juga menurunkan kecenderungan terjadinya kejahatan di lingkungan privat (misalnya, dalam rumah). Penelitian Chicago 2002, misalnya, menemukan bahwa efikasi kolektif menurunkan kemungkinan baik pembunuhan perempuan maupun kekerasan fisik terhadap perempuan oleh pasangan laki-laki.[3] Menurut penulisnya, hasil ini diuraikan dengan temuan bahwa komunitas dengan level kepercayaan, kooperasi, dan pengawasan yang tinggi cenderung menawarkan perempuan berbagai bantuan, termasuk dukungan, nasihat, perlindungan, dan tekanan sosial pada pelaku kekerasan untuk menyerah.[8] Penelitian 2002 tersebut, sayangnya, juga menemukan bahwa hubungan antara efikasi kolektif dan tingkat kejahatan yang rendah terhadap perempuan lebih kuat di komunitas di mana kekerasan antar pasangan intim umumnya dipandang buruk. Bisa dibilang, efikasi kolektif mengurangi kejahatan di ruang publik dan privat tetapi efektivitasnya dalam menghalangi kejahatan jenis tertentu lebih tinggi di komunitas di mana kejahatan tipe tersebut tidak disetujui.

Faktor yang memengaruhi efikasi kolektif[sunting | sunting sumber]

Efikasi kolektif tumbuh lebih mudah pada komunitas tertentu. Komunitas yang mengalami penurunan jumlah penduduk yang besar, juga yang penduduknya termasuk dalam kelompok sosial yang memiliki porsi kecil sumber daya di komunitas, kurang dapat menumbuhkan efikasi kolektif yang cukup untuk secara signifikan mencegah atau menurunkan kejahatan.

Penurunan ekonomi memengaruhi beberapa area tertentu, menyebabkan individu di area tersebut pindah ke lingkungan sekitar yang menyediakan kesempatan ekonomi yang lebih baik. Karena menumbuhkan kepercayaan dan kooperasi satu sama lain dengan lingkungan sekitar membutuhkan waktu, komunitas yang mana anggotanya cenderung lepas memiliki efikasi kolektif yang rendah.[1][2] Dalam komunitas dengan kependudukan yang sangat tidak stabil, ikatan sosial antarpenduduk lebih lemah, berarti penduduk kurang cenderung berkooperasi mengawasi perilaku yang lain.

Individu yang berpenghasilan rendah, seperti anggota minoritas rasial/etnis or kepala rumah tangga perempuan, cenderung tinggal berdekatan. Anggota masyarakat ini biasanya kekurangan sumber daya untuk tinggal di area dengan proporsi individu kaya yang besar. Penduduk komunitas yang berpenghasilan rendah, maka dari itu, cenderung tidak dapat melakukan kontak dengan orang yang lebih beruntung. Pengisolasian ini menciptakan perasaan tidak berdaya dan tanpa kuasa pada penduduk di lingkungan tinggal yang berpendapatan rendah. Perasaan tersebut kemudian menyebabkan kurang dapatnya kepercayaan dan kooperasi berkembang di antara penduduk komunitas yang tidak beruntung. Kurangnya kepercayaan dan persatuan antarindividu mereduksi kemungkinan kesediaan mereka mengawasi perilaku yang lain untuk mencegah kejahatan.[2][9]

Teori pesaing[sunting | sunting sumber]

Efikasi kolektif adalah alternatif teori jendela pecah, yang berargumen bahwa usaha pencegahan tindak kriminal kecil seperti vandalisme dan minum keras di tempat umum mereduksi kecenderungan kejahatan terjadi. Menurut teori jendela pecah, jika penduduk dan pihak yanh berwenang tidak bekerja mencegah kejahatan kecil, kekacauan tumbuh di komunitas. Rasa kacau tersebut menciptakan takut dalam pikiran penduduk, yang menjadi yakin bahwa lingkungan tinggal mereka tidak aman. Oleh karena itu, individu mundur dari muka komunitas, memperlemah kontrol sosial yang sebelumnya menahan para pelaku kriminal. Proses ini menciptakan siklusnya sendiri sehingga kekacauan menyebabkan kejahatan dan tindak kriminal tersebut menciptakan lebih banyak ketakutan dan kekacauan.[10]

Pendukung efikasi kolektif berpendapat bahwa kekacauan bukanlah faktor paling penting untuk perbedaan dalam kejahatan. Telah dibuktikan bahwa kekacauan bergantung pada proporsi orang yang tidak beruntung secara ekonomi dan sosial yang tinggal dalam suatu komunitas di samping tingkat kepercayaan dan solidaritas antarpenduduk.[2] Pengaruh kekacauan pada kejahatan menjadi sangat lemah ketika terdapat efikasi kolektif, dapat dikatakan bahwa efikasi tersebut lebih relevan atas perbedaan kejahatan antarlingkungan tinggal.

Pendapat ini tidak berarti bahwa kekacauan tidak berpengaruh terhadap perbedaan dalam kejahatan. Rasa kacau dapat meningkatkan kejahatan dengan memperlemah ikatan sosial antarpenduduk komunitas. Contohnya, rasa kacau dapat memacu penduduk menjauh dari komunitas, mencegah rasa percaya dan solidaritas berkembang di lingkungan tinggal. Dalam kondisi ini, efikasi kolektif sulit berkembang dan kejahatan dapat meningkat karenanya.[2]

Contoh[sunting | sunting sumber]

Uji pada generasi muda Chicago dilakukan untuk mengetahui apakah efikasi kolektif menyebabkan perbedaan kejahatan kekerasan di lingkungan tinggal atau apakah perbedaan ini justru dapat disebabkan oleh jumlah waktu yang mana remaja habiskan di luar kegiatan terstruktur (seperti sekolah atau kerja).[9] Penelitian tersebut menemukan bahwa lebih banyak waktu tak terstruktur menyebabkan remaja cenderung terlibat dalam tindak kriminal sementara hidup di lingkungan dengan efikasi kolektif tinggi mereduksi kemungkinan generasi muda melakukan kejahatan. Hubungan antara waktu tak terstruktur dengan kejahatan lebih lemah pada lingkungan tinggal dengan efikasi kolektif yang tinggi. Ini berarti pengawasan terhadap tempat umum dan kemauan para penduduk mencegah kekerasan mereduksi kejahatan, bahkan jika penggunaan waktu oleh remaja dipertimbangkan. Dan lagi, efikasi kolektif mengurangi kemungkinan bahwa waktu yang dihabiskan di luar kegiatan seperti sekolah atau kerja akan menyebabkan tindak kriminal pada remaja.

Efikasi kolektif dan ikatan sosial[sunting | sunting sumber]

Efikasi kolektif berfokus pada bagaimana rasa percaya dan solidaritas antarpenduduk suatu komunitas mengurangi kejahatan. Ini berarti hubungan yang kuat antartetangga mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan. Namun, tingkat kejahatan yang tinggi didapati di beberapa komunitas di mana penduduk memiliki rasa percaya dan solidaritas yang kuat untuk satu sama lain, membuat beberapa peneliti mempertanyakan pendapat bahwa rasa percaya dan solidaritas mutual dapat mengurangi kejahatan.[11] Para peneliti ini mengajukan pendapat bahwa alasan mengapa beberapa komunitas dengan rasa percaya dan solidaritas yang tinggi memiliki tingkat kejahatan yang tinggi sementara yang lain memiliki kejahatan yang rendah ialah hubungan dengan rasa percaya dan solidaritas memiliki efek yang berbeda sesuai dengan konteks budaya komunitas.

Dalam komunitas dengan karakteristik budaya tertentu, kerja sama dan rasa percaya antarindividu dapat menumbuhkan efikasi kolektif. Dalam komunitas lain, kerja sama dan rasa percaya dapat membuat individu terlindungi dari sanksi berat atas pelanggaran tertentu. Komunitas tersebut lebih menerima beberapa bentuk perilaku kriminal. Maka dari itu, rasa percaya dan solidaritas cenderung memicu anggota komunitas untuk melindungi individu yang terlibat dalam kejahatan yang secara kultural diterima. Akibatnya, individu dalam komunitas yang lebih toleran terhadap bentuk kejahatan tertentu memiliki kecenderungan melakukan tindak kriminal jenis tersebut.

Pendapat di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa rasa percaya dan solidaritas sosial dapat meningkatkan beberapa bentuk kejahatan dan bukannya menguranginya jika komunitas tersebut menerima bentuk kejahatan itu. Menurut pandangan "kohesi sosial" ini, hubungan antaranggota komunitas dapat memicu kejahatan, berlawanan dengan pendapat pendukung efikasi kolektif.

Pendapat "kohesi sosial" didukung oleh penelitian yang dilakukan di Chicago yang menunjukkan bahwa rasa percaya dan kooperasi kurang mungkin mereduksi kejahatan dalam komunitas dengan kohesi tinggi. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa apakah solidaritas komunitas meningkatkan atau mereduksi kejahatan bergantung pada apakah kultur komunitas lebih atau kurang menerima jenis kejahatan tertentu.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Sampson, Robert. J., Stephen. W. Raudenbush, and Felton Earls. 1997. [1] "Neighborhoods and Violent Crime: A Multilevel Study of Collective Efficacy." Science 277 (5328): 918-924.
  2. ^ a b c d e f g Sampson, Robert J. and Stephen W. Raudenbush. 1999. [2] "Systematic Social Observation of Public Spaces: A New Look at Disorder in Urban Neighborhoods." American Journal of Sociology 105 (3): 603. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Sampson and Raudenbush 1999" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ a b Browning, Christopher R. 2002. [3] "The Span of Collective Efficacy: Extending Social Disorganization Theory to Partner Violence." Journal of Marriage and Family 64 (4): 833-850.
  4. ^ Ludwig, Jens, Greg J. Duncan, and Paul Hirschfield. 2001. [4] "Urban Poverty and Juvenile Crime: Evidence from a Randomized Housing-Mobility Experiment." The Quarterly Journal of Economics 116 (2): 655-679.
  5. ^ Morenoff, Jeffrey D., Robert J. Sampson, and Stephen W. Raudenbush. 2001. [5] "Neighborhood Inequality, Collective Efficacy, and the Spatial Dynamics of Urban Violence*." Criminology 39 (3): 517-558.
  6. ^ a b Sampson, Robert J., Jeffrey D. Morenoff, and Thomas Gannon-Rowley. 2002.[6] "Assessing "Neighborhood Effects": Social Processes and New Directions in Research." Annual Review of Sociology: 443-478.
  7. ^ Simons, Ronald L., Leslie Gordon Simons, Callie Harbin Burt, Gene H. Brody, and Carolyn Cutrona. 2005. [7] "Collective Efficacy, Authoritative Parenting and Delinquency: A Longitudinal Test of a Model Integrating Community-and Family-Level Processes*." Criminology 43 (4): 989-1029.
  8. ^ Bowker, L. H. 1993. "A Battered Woman´s Problems Are Social, not Psychological," in R. J. Gelles and D. R. Loseke (eds.), Current Controversies on Family Violence, 154-165. Newbury Park, NJ: Sage.
  9. ^ a b Maimon, David and Christopher R. Browning. 2010. "Unstructured Socializing, Collective Efficacy, and Violent Behavior among Urban Youth*." Criminology 48 (2): 443-474.
  10. ^ Wilson, James Q. and George L. Kelling. 1982. "Broken Windows." Atlantic Monthly 249 (3): 29-38.
  11. ^ a b Browning, Christopher R., Seth L. Feinberg, and Robert D. Dietz. 2004. "The Paradox of Social Organization: Networks, Collective Efficacy, and Violent Crime in Urban Neighborhoods." Social Forces 83 (2): 503-534.