Lompat ke isi

Diyat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukuman terhadap kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan ini disebut hudud dimana jenis dan jumlahnya ditetapkan dalam nash al-Qur’an atau Hadis. Sedangkan hukuman yang tidak ditetapkan dalam dalil nash melainkan diserahkan pada keputusan pengadilan (kebijaksanaan hakim) disebut takzir. Takzir ini berlaku atas kejahatan, baik yang menyangkut hak Allah Swt. maupun hak individu manusia. Berdasarkan pernyataan diatas,maka yang tidak dikenakan sanksi had yaitu

Dalil untuk melakukan diyat adalah Surah Al-Baqarah ayat 178. Dalam ayat ini, diyat diartikan sebagai pembayaran seseorang sebagai pengganti pemberian maaf dari orang lain akibat pembunuhan. Bagi pemberi diyat, pembayaran tersebut merupakan bentuk permintaan maaf. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa diyat merupakan bentuk keringanan dan rahmat dari Allah dalam urusan maaf-memaafkan.[1]

Sebab penurunan ayat ini diketahui dari periwayatan Qatadah. Darinya diketahui bahwa penduduk pada masa jahiliah sering melakukan pembunuhan. Terjadinya pembunuhan disebabkan permusuhan di antara para penduduk. Pembunuhan yang umum dilakukan adalah pembunuhan budak seseorang atas budak orang lain. Selain itu, budak yang dibunuh jika diganti harus pula dengan pembunuhan orang yang merdeka. Hal ini untuk menyatakan bahwa suatu suku lebih mulia dibandingkan suku lainnya. Penggantian pembunuhan dengan status yang lebih mulia juga dilakukan dengan membunuh laki--laki sebagai pengganti wanita.[2]

Penggunaan

[sunting | sunting sumber]

Diyat merupakan suatu kekhususan yang hanya diterapkan oleh umat Nabi Muhammad. Tujuan penggunaannya sebagai pengganti kisas dalam syariat Islam bagi pembunuh. Umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad hanya menerapkan hukum kisas saja.[3]

MACAM2 DIYAT

[sunting | sunting sumber]

Diyat ringan

[sunting | sunting sumber]

Diyat ringan adalah diyat yang dibayarkan untuk pembunuhan yang tidak disengaja dan semi-disengaja.[4] Dalam kasus tersebut diyat merupakan hukum asal.[5] Penetapan kasus pembunuhan yang tidak disengaja dan semi-disengaja diketahui melalui buku-buku fikih. Bahan pertimbangannya terletak pada niat, motivasi, kondisi teknis, cara dan alat yang dipakai dalam pembunuhan.[6]

Diyat ringan dibayarkan dengan 100 ekor unta yang terbagi menjadi 5 jenis usia. 20 ekor unta pertama berumur 0–1 tahun. 20 ekor unta kedua berusia 1–2 tahun. 20 ekor unta ketiga berumur 2–3 tahun. 20 ekor unta keempat berumur 3–4 tahun. 20 ekor unta kelima berusia 4–5 tahun.[4] Diyat ini wajib dibayar oleh keluarga pelaku dalam jangka waktu tiga tahun atau langsung tunai.[butuh rujukan]

Diyat berat

[sunting | sunting sumber]

Diyat berat adalah diyat yang dibayarkan oleh pembunuh kepada keluarga korban karena melakukannya dengan sengaja.[4] Dalil untuk memberikan diyat berat adalah Surah An-Nisa' ayat 92.[7] Diyat berat juga diberikan kepada kasus pembunuhan yang menyerupai disengaja. Dalam kasus demikian, diyat berat menjadi hukum asal.[5]

Diyat berat dibayarkan dengan 100 ekor unta yang terbagi menjadi 4 jenis usia. 20 ekor unta pertama berumur 2–3 tahun. 20 ekor unta kedua berusia 3–4 tahun. 20 ekor unta ketiga berumur 4–5 tahun. 40 ekor unta keempat merupakan untuk yang sedang bunting.[4]

Pelaku yang memberi diyat berat wajib untuk membayar sendiri dengan metode pembayaran tunai. Unta-unta sebagai pembayaran dapat diganti menggunakan uang tunai pada kondisi tidak dapat memperoleh unta.[8] Melakukan pembunuhan seperti disengaja, terhadap diyatnya wajib untuk dibayar oleh keluarga pelaku diangsur dalam waktu tiga tahun atau langsung tunai.[butuh rujukan]

Kemaksiatan

[sunting | sunting sumber]

Suatu penerima diyat ditetapkan melampaui batas dan membuat kemaksiatan atas syariat pada kondisi tertentu. Kondisi ini ketika telah mengambil diyat dan tetap membunuh pemberi diyat. Pembunuhan ini ditetapkan sebagai bentuk pelanggaran janji dan pengkhianatan kepada si pembunuh yang telah memberi diyat.[9]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Buhairi 2012, hlm. 54.
  2. ^ Buhairi 2012, hlm. 56.
  3. ^ Buhairi 2012, hlm. 55.
  4. ^ a b c d Irfan dan Masyrofah 2013, hlm. 7.
  5. ^ a b Burlian 2015, hlm. 52.
  6. ^ Irfan dan Masyrofah 2013, hlm. 8.
  7. ^ Burlian 2015, hlm. 48.
  8. ^ Sinaga, Ali Imran (2020). Fiqh Al-Takhtit: Fikih Berdasarkan Silabus (PDF). Jakarta: Kencana. hlm. 198. 
  9. ^ Buhairi 2012, hlm. 55-56.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]