Dampak pandemi Covid-19 terhadap pendidikan perempuan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dampak pandemi COVID-19 terhadap pendidikan perempuan mempunyai dampak yang signifikan di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan telah menjadi isu yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk norma sosial yang menekankan peran tradisional gender dan diskriminasi terhadap perempuan dalam sistem pendidikan.[1]

Data dari tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat 130 juta anak perempuan di seluruh dunia yang tidak bersekolah dan hanya dua dari tiga anak perempuan yang menempuh pendidikan menengah. Jika dilihat dari data ini saja, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan perempuan sudah dalam keadaan yang rentan sebelum pandemi COVID-19. Namun, pandemi ini jelas memperburuk situasi tersebut.[2]

Selama pandemi COVID-19, banyak sekolah di seluruh dunia telah ditutup untuk mencegah penyebaran virus. Ini berdampak pada akses pendidikan bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Anak-anak yang tidak dapat mengakses pembelajaran online dan tidak mampu menghadiri kelas dalam bentuk tatap muka lebih terancam kehilangan akses pendidikan. Lebih dari 11 juta anak perempuan di seluruh dunia saat ini terancam kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka karena pandemi.[3]

Selain itu, akses terhadap teknologi seperti internet masih menjadi kendala bagi banyak anak perempuan, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil. Hal ini dapat memperburuk ketidaksetaraan dalam pendidikan karena anak perempuan yang tidak memiliki akses internet lebih sulit untuk mengakses sumber daya pendidikan yang dibutuhkan untuk belajar.

Oleh karena itu, ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk memperhatikan isu ini dan menemukan solusi yang dapat memastikan bahwa anak perempuan dapat terus melanjutkan pendidikan mereka selama pandemi ini. Solusi yang mungkin termasuk memberikan akses internet dan perangkat lunak pembelajaran online bagi anak-anak yang membutuhkan, mengadopsi strategi pembelajaran jarak jauh yang mempertimbangkan kebutuhan anak perempuan, dan memastikan bahwa anak perempuan memiliki akses yang sama dengan anak laki-laki terhadap sumber daya pendidikan. [4]

Perempuan di berbagai belahan dunia menghadapi beragam persoalan yang menghalangi mereka mengakses pendidikan. Hal ini termasuk dengan ketidaksetaraan gender. Yang menyebabkan pendidikan lebih terbuka bagi anak laki-laki, kekerasan seksual terhadap perempuan di sekolah, adanya pembatasan hak dan kesehatan seksual serta reproduski, pembatasan kebebasan bergerak remaja perempuan sejak masa pubertasnya, termasuk membatasi para perempuan dengan pekerjaan yang tidak dibayar atau rendah, dan pekerjaan domestik. Minimnya infrastruktur yang memadai, khususnya fasilitas sanitasi di sekolah, juga menjadi kendala utama bagi pendidikan mereka. [4]

Pendidikan, terutama pendidikan untuk anak perempuan sangat dipengaruhi oleh persoalan krisis ekonomi, politik, keamanan atau masalah kesehatan. Ini juga merupakan bagian penting dari solusi untuk rekonstruksi dan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan . [4]

Konsekuensi buruk dari penutupan sekolah[sunting | sunting sumber]

Risiko putus sekolah[sunting | sunting sumber]

Organisasi UNESCO memperkirakan bahwa lebih dari 11 juta siswi berisiko putus sekolah. [5] Namun, perkiraan lain menunjukkan angka yang lebih tinggi, yaitu mencapai 20 juta anak perempuan dan perempuan muda di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.

Memprediksi dampak pandemi COVID-19 pada anak perempuan yang kembali ke sekolah menjadi suatu tantangan yang sulit. Menurut Malala Fund for Girls' Right to Education, diperkirakan bahwa sekitar 20 juta anak perempuan di usia sekolah menengah di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah mungkin akan kehilangan akses ke pendidikan. Bank Dunia memperkirakan bahwa 7 juta siswa sekolah dasar dan menengah berisiko putus sekolah, dengan peningkatan 2% pada populasi putus sekolah. Save the Children memperkirakan bahwa 7 hingga 9,7 juta anak berisiko putus sekolah karena meningkatnya tingkat kemiskinan anak. [4]

Walaupun belum pasti, penutupan sekolah akibat COVID-19 mempunyai dampak buruk pada masa depan anak perempuan, serta dampak antargenerasi terhadap kesehatan dan gizi, pertumbuhan ekonomi, dan banyak hasil lainnya. [6]

Memperburuk kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan paksa[sunting | sunting sumber]

Perempuan remaja rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, perundungan di dunia maya, dan kekerasan seksual selama karantina wilayah (lockdown), karena sepanjang waktu di rumah dan hal ini memperburuk kekerasan dalam rumah tangga. Di Prancis, misalnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan meningkat hingga 30 persen. [7] Perkiraan awal menunjukkan bahwa krisis COVID-19 dapat menyebabkan hampir 13 juta pernikahan dini dalam dekade berikutnya dan, untuk setiap tambahan tiga bulan karantina wilayah, hingga 15 juta lebih banyak kasus kekerasan berbasis gender. [8]

Pendidikan seksual yang menyeluruh menghadapi risiko[sunting | sunting sumber]

Saat krisis Ebola di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, terdapat peningkatan kematian ibu sebesar 75 persen akibat dari kehamilan dini dan tidak diinginkan. [9] Krisis COVID-19 dapat memiliki konsekuensi serupa dalam beberapa konteks.

Pentingnya pendidikan seksual yang menyeluruh diakui dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs 3, 4 dan 5). Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pendidikan seksual komprehensif atau menyeluruh adalah "sebuah proses pembelajaran dan pengajaran yang berbasis kurikulum mengenai aspek-aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari seksualitas. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai pada anak-anak dan remaja sehingga mereka dapat: mencapai kesehatan, kesejahteraan, dan martabat diri; mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghormati; mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka memengaruhi kesejahteraan mereka sendiri dan orang lain; serta memahami dan memastikan hak-hak mereka dilindungi sepanjang hidup mereka". [10]

Rekomendasi[sunting | sunting sumber]

Dalam situasi kritis dan rapuh, laporan “Beijing+25 menyatakan: kesetaraan generasi dimulai dengan pendidikan remaja putri” ( Plan International France, French Ministry for Europe and Foreign Affairs and UNESCO, 2020) mengusulkan rekomendasi yang ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam kebijakan dan program pendidikan untuk remaja perempuan, serta inisiatif yang lebih luas untuk mempromosikan kesetaraan gender dan SDG secara keseluruhan.[11]

Rekomendasi ini memperhitungkan situasi dan risiko spesifik yang dihadapi remaja perempuan, termasuk risiko putus sekolah dan kekerasan yang semakin meningkat akibat pandemi COVID-19:

  • Mendorong kemitraan antara pemangku kepentingan di bidang kemanusiaan dan pembangunan untuk lebih memperhatikan kebutuhan pendidikan anak perempuan, serta memastikan bahwa anak perempuan dan laki-laki dapat bersekolah atau kembali ke sekolah dengan aman dan dalam kondisi yang baik untuk belajar. [4]
  • Melakukan pengumpulan data terpisah berdasarkan jenis kelamin dan usia mengenai tingkat kejadian, morbiditas, dan mortalitas terkait COVID-19; bekerja sama dengan sekolah dalam merumuskan dan mengimplementasikan rencana aksi untuk memulihkan partisipasi anak perempuan di sekolah dan mengevaluasi tanggapan negara. [4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Aristovnik, Aleksander; Keržič, Damijana; Ravšelj, Dejan; Tomaževič, Nina; Umek, Lan (2020-01). "Impacts of the COVID-19 Pandemic on Life of Higher Education Students: A Global Perspective". Sustainability (dalam bahasa Inggris). 12 (20): 8438. doi:10.3390/su12208438. ISSN 2071-1050. 
  2. ^ "Leaving no girl behind in education". UN Women – Headquarters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-17. 
  3. ^ "The Challenges of Home Learning during the COVID-19 Pandemic | UNICEF Indonesia". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-17. 
  4. ^ a b c d e f g Beijing+25: generation equality begins with adolescent girls' education. France: Plan International France, French Ministry for Europe and Foreign Affairs and UNESCO. 2020. ISBN 978-92-3-100410-0. 
  5. ^ United Nations (2020). Girls' and young women's activism and organising in West Africa. London: Plan International. 
  6. ^ Wondon, Q.; Montenegro, C.; Nguyen, H.; Onagoruwa, A. (2018). Missed opportunities: The high cost of not educating girls. Washington D.C.: World Bank. 
  7. ^ UN Women (2020). COVID-19 and ending violence against women and girls. New York. 
  8. ^ Impact of the COVID-19 pandemic on family planning and ending gender-based violence, female genital mutilation and child marriage. New York: FNUAP. 2020. 
  9. ^ Global Working Group to End SRGBV (2020). Learning with Violence and Inequality:the Prevalence, Experience and Impactof School-Related Gender-Based Violence. 
  10. ^ UNESCO, UNAIDS, UNFPA, UNICEF, UN-Women, WHO (2018). International technical guidance on sexuality education: An evidence-informed approach (edisi ke-revised). Paris: UNESCO. 
  11. ^ "CSW64 preparations". UN Women – Headquarters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-17.