Cuka menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Cuka menurut Islam adalah salah satu jenis lauk yang dapat dikonsumsi. Hadis menunjukkan bahwa Muhammad sering mencampurkan cuka dengan minyak zaitun. Proses pembuatan cuka menentukan status hukum fikih atas cuka itu sendiri. Cuka yang terbuat dari khamar secara alami statusnya halal untuk dikonsumsi, sedangkan khamar yang dibuat secara sengaja menjadi cuka statusnya haram untuk dikonsumsi. Pembelian cuka yang terbuat dari khamar statusnya haram karena ada proses yang disengaja untuk membuatnya.     

Dalil[sunting | sunting sumber]

Hadis[sunting | sunting sumber]

Dalam periwayatan hadis Muslim yang tersambung ke Aisyah, disebutkan bahwa Muhammad menyatakan bahwa cuka adalah sebaik-baik lauk pauk. Hadis yang mirip juga diriwayatkan dalam  Sahih Muslim melalui periwayatan Jabir bin Abdullah.[1] Muhammad diketahui mengonsumsi cuka bersama dengan minyak zaitun. Kebiasaan ini ditiru oleh Umar bin Khattab ketika masa paceklik.  Umar bin Khattab hanya menambahkan daging ketika daging telah sepenuhnya dibagikan ke orang-orang miskin.[2]

Hukum pembuatan[sunting | sunting sumber]

Pembuatan cuka termasuk dalam kaidah fikih yaitu segala sesuatu bergantung kepada tujuannya. Suatu kegiatan memeras anggur dapat menjadi haram atau halal bergantung kepada tujuannya. Anggur yang diperas dengan niat untuk dibuat menjadi minuman keras maka hukumnya haram dikonsumsi. Sementara anggur yang diperas dengan niat untuk dibuat menjadi cuka hukumnya halal untuk dikonsumsi.[3]

Kaidah fikih lainnya yang menentukan hukum pembuatan cuka ialah barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya niscaya diberi sanksi haramnya sesuatu itu. Melalui kaidah ini, Jalaluddin as-Suyuthi menetapkan bahwa hukum dari khamar yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya adalah halal untuk diminum. Namun pembuatan cuka yang berasal dari perubahan khamar yang dipercepat melalui proses kimia hukumnya haram untuk diminum.[4] Penghalalan cuka dari khamar yang terjadi secara alami karena zat yang bersifat memabukkan telha menghilang. Keharaman berubah menjadi kehalalan karena penyebab keharaman telah tiada, yaitu zat yang memabukkan.[5]

Khamar yang didiamkan dalam beberapa waktu dapat berubah zatnya menjadi cuka. Pada kondisi terjadinya perubahan zat, maka terjadi pula perubahan hukum atas zat tersebut.[6] Cuka yang terbuat dari khamar yang mengalami proses oksidasi secara alami hukumnya adalah halal. Hal ini ditegaskan dalam Surah An-Nahl ayat 67 berkaitan dengan pembuatan kurma dan anggur menjadi alkohol yang hukumnya haram. Namun, ayat ini juga menyebutkan bersama dengan alkohol itu, ada suatu rezeki yang baik yaitu asam cuka.[7]  

Imam empat mazhab menyepakati bahwa cuka yang terbuat secara alami dari khamar hukumnya menjadi suci. Namun dalam Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali, ketika cuka terbuat dari khamar akibat adanya pencampuran sesuatu ke dalamnya, maka hukum yang berlaku bagi cuka tersebut adalah tidak suci. Mazhab Maliki berpandangan bahwa hukum untuk mengubah khamar menjadi cuka adalah makruh. Sementara hukum suci dan halal dalam Mazhab Maliki hanya berlaku ketika khamar secara alami menjadi cuka. Sedangkan Mazhab Hanafi menetapkan bahwa khamar dapat diubah menjadi cuka. Hukumnya suci dan halal ketika khamar telah menjadi cuka.[8]

Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi'i menyepakati penerapan istihalah ketika cuka terbuat dari khamar secara alami. Namun hukum cuka menjadi haram ketika cuka dibuat melalui proses rekayasa berupa penambahan cairan maupun proses kimiawi.[9]

Hukum penjualan[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ditetapkan status haram atas pembelian cuka yang dibuat dari khamar. Ketika itu, pembelian cuka berasal dari para pedagang dari bangsa Yahudi. Kedudukan haram ini disamakan oleh Umar bin Khattab dengan hasil penjualan makanan yang diharamkan dalam agama Yahudi yang dijual kepada selain penganut agama Yahudi.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hadi 2021, hlm. 30-31.
  2. ^ Hadi 2021, hlm. 31.
  3. ^ Busyro (2016). Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (PDF). Ponorogo: CV. Wade Group. hlm. 104. ISBN 978-602-6802-49-1. 
  4. ^ Ibrahim 2019, hlm. 123.
  5. ^ Ibrahim 2019, hlm. 149-150.
  6. ^ Budiyono, dkk. 2020, hlm. 18.
  7. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2013). Makanan dan Minuman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains (PDF). Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. hlm. 119–120. ISBN 978-602-9306-38-5. 
  8. ^ Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Hasyimi: Bandung. hlm. 14. ISBN 978-602-9715-73-6. 
  9. ^ Budiyono, dkk. 2020, hlm. 19.
  10. ^ Asmawi (2021). Filsafat, Sejarah, dan Problematika Hukum Islam (PDF). Tulungagung: Akademia Pustaka. hlm. 35–36. ISBN 978-623-6704-80-6. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Ibrahim, Duski (2019). Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang: Noerfikri. ISBN 978-602-447-284-9.