Bangunan nol energi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bangunan nol energi adalah bangunan yang memanfaatkan energi dari sumber energi secara maksimal sehingga dapat digunakan tanpa pemborosan energi sama sekali. Konsep bangunan nol energi merupakan bagian dari teknologi berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan manusia akan energi. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan nol energi adalah energi terbarukan, seperti sinar matahari, tenaga angin dan tenaga air.

Keberhasilan penerapan bangunan nol energi ditinjau dari kemampuan bangunan dalam menyediakan energi sebagai kebutuhan selama setahun berdasarkan besaran energi. Konsep bangunan nol energi belum dipertimbangkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11. Namun negara-negara dengan keberlimpahan sinar matahari yang tinggi mulai menerapkannya.

Konsep[sunting | sunting sumber]

Bangunan nol energi merupakan salah satu contoh dari jenis teknologi berkelanjutan. Fungsi teknologi berkelanjutan adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan dua syarat. Pertama, pemenuhan kebutuhan manusia masih dalam batasan daya dukung Bumi. Kedua, pemenuhan dilakukan tanpa menghabiskan sumber daya alam yang tidak terbarukan, melampaui kapasitas waktu pembaharuan sumber daya, dan mempromosikan ketidaksetaraan. Konsep bangunan nol energi dalam konteks ini berupa bangunan yang didesain untuk menggunakan energi seminimal mungkin.[1]  

Sumber energi[sunting | sunting sumber]

Energi surya[sunting | sunting sumber]

Energi surya merupakan sumber energi gratis yang berasal dari Matahari. Pemanenan energi surya dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain menggunakan sel fotovoltaik, kolektor termal matahari, serta proses-proses tanaman dan tumbuhan. Sel fotovoltaik dapat langsung mengubah energi surya menjadi energi listrik. Kolektor termal matahari dapat langsung mengubah energi surya menjadi panas. Sedangkan proses-proses tanaman dan tumbuhan dapat menyimpan energi surya ke dalam zat kimia.[2]

Tenaga angin[sunting | sunting sumber]

Pemanenan tenaga angin telah dilakukan menggunakan kincir angin sejak abad ke-12. Namun pengembangan teknologinya diabaikan akibat kemajuan teknologi dan penurunan harga energi dari bahan minyak. Teknologi tenaga angin kemudian baru dikembangkan dengan pembuatan turbin angin. Tenaga angin diubah oleh turbin angin menjadi energi listrik dengan tingkat efisiensi energi yang beragam. Efisiensi energinya secara umum sekitar 20%. Namun dalam beberapa kondisi tertentu, efisiensi energi mencapai 40%. Jenis turbin angin ada dua, yaitu turbin angin dengan poros horizontal dan turbin angin dengan poros vertikal. Bentuk turbin angin dengan poros horizontal menyerupai kincir angin tradisional. Kebanyakan negara maju menggunakan turbin angin dengan poros horizontal untuk pembangkitan energi dengan tujuan komersial. Sementara penggunaan turbin angin dengan poros vertikal hanya pada wilayah dengan tenaga angin yang besar dan bergolak.[2]

Pemanfaatan tenaga angin hanya sesuai untuk wilayah yang berangin dengan kecepatan pergerakan angin minimal 5 meter per detik. Persyaratan ini merupakan bagian dari penghematan energi dalam penerapan kincir angin.[2]

Tenaga air[sunting | sunting sumber]

Sistem tenaga air dapat mengubah energi yang terdapat dalam air yang mengalir menjadi energi listrik. Kecepatan dan volume aliran air menentukan kapasitas produksi energi listrik. Energi listrik dengan kapasitas yang besar dapat dihasilkan melalui kecepatan air yang lebih tinggi dan volume air yang lebih besar. Kecepatan air yang tinngi terdapat pada air terjun, sedangkan volume aliran yang besar terdapat pada sungai besar. Pada aliran air alami atau aliran sungai skala mikro, energi listrik dapat diproduksi dengan kapasitas hingga 100 kW.[3]

Keberhasilan[sunting | sunting sumber]

Keberhasilan bangunan nol energi ditinjau dari performansi bangunan dari aspek konsumsi energi.[4] Suatu bangunan dikatakan telah berhasil menjadi bangunan nol energi ketika kebutuhan energi dalam setahun dapat disediakan oleh lahan bangunan. Pemakaian energi bersih dalam bangunan nol energi tidak memperhitungkan nilai dari sumber energi. Perhitungan hanya mempertimbangkan besaran energi yang digunakan dalam bangunan.[5]

Dukungan global[sunting | sunting sumber]

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11[sunting | sunting sumber]

Konsep bangunan nol energi belum sepenuhnya dipertimbangkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11. Tujuan yang menjadi target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11 tidak mempertimbangkan pengurangan emisi karbon dioksida serta aspek perolehan sumber daya air yang memadai dan kelayakan fasilitas sanitasi.[6]

Perkembangan global[sunting | sunting sumber]

Bangunan nol energi mulai diterapkan di negara-negara yang memiliki kelimpahan sinar matahari, seperti Thailand. Teknologi yang diterapkan ialah panel surya yang memanfaatkan energi surya sebagai sumber energi.[7]  

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Septiadhi, Dwinanda (September 2019). Disrupsi. Baraqa Publishing. hlm. 34. 
  2. ^ a b c Gunawan, dkk. 2012, hlm. 73.
  3. ^ Gunawan, dkk. 2012, hlm. 74.
  4. ^ Utami, dkk. 2021, hlm. 2.
  5. ^ Utami, dkk. 2021, hlm. 97.
  6. ^ Utami, dkk. 2021, hlm. 4.
  7. ^ Mediastika, Christina E. Mediastika (2013). Nikodemus WK, ed. Hemat Energi dan Lestari Lingkungan melalui Bangunan. Yogyakarta: CV. ANDI Offset. hlm. 301. ISBN 978-979-29-3465-6. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]