Pembicaraan:Sidabutar

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Bagian baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Komentar terbaru: 1 tahun yang lalu oleh 27christian11 pada topik Sidabutar Parna dan Sidabutar Silalahi

Sidabutar Parna dan Sidabutar Silalahi[sunting sumber]

Bung Kris Simbolon, dimohon agar jangan membuat claim ngawur hanya demi pembenaran statement anda. Bisakah anda menyertakan bukti maupun sumber tepercaya dari pernyataan anda yang menyatakan keturunan Butar Raja mayoritas menggunakan marga Dabutar? juga Sinabutar? atau itu hanya terka-terkaan saja?

Keturunan Butar Raja menggunakan marga: Sidabutar, Dabutar, dan Silalahi. Di luar Dairi, mereka cenderung menggunakan marga Silalahi saja untuk membedakan dari Marga Sidabutar (Parna), karena baik dari segi populasi dan popularitas marga Sidabutar (Parna) lebih unggul dibandingkan marga Sidabutar (Silalahi). Sedangkan di daerah asalnya sendiri Kabupaten Dairi, mereka menggunakan marga "Sidabutar" dan "Dabutar" untuk membedakan diri dari turunan marga Silahisabungan lainnya. Dalam hal ini saya hanya akan fokus di Kabupaten Dairi saja, karena marga Sidabutar (Silalahi) berasal dari sini, tepatnya Kecamatan Silahisabungan. Dari statistik kependudukan yang saya akses, penggunaan marga Sidabutar dan Dabutar secara kolektif terbagi cukup rata, namun MAYORITAS menggunakan Sidabutar, dengan rincian sebagai berikut: 56% Sidabutar dan 44% Dabutar. Marga ini juga memiliki populasi yang cukup signifikan di: Kelurahan Panji Dabutar, Kecamatan Silahisabungan, Desa Karing, Pangaribuan, Pasi, dan Tungtung Batu. Di Kecamatan Silahisabungan, 100% menggunakan marga Sidabutar. Sedangkan di Kelurahan Panji Dabutar 62% menggunakan Sidabutar dan 38% menggunakan Dabutar.

Marga "Dabutar" hanya dipakai oleh keturunan Butar Raja yang telah mengadopsi adat dan budaya Pakpak, karena marga ini dapat hak keulayatan dari proses adat Rading Berru. Sedangkan bagi keturunan yang tetap ber-adat dan budaya Toba tetap memakai Sidabutar, ini juga salah satu alasan mengapa di Kecamatan Silahisabungan semua keturunan Butar Raja menggunakan marga Sidabutar. Pola penghilangan "Si-" pada marga yang mengadopsi adat/budaya Pakpak terjadi tidak hanya pada marga Sidabutar, namun juga pada marga lain seperti:

Cukup sulit menemukan tokoh yang berasal dari marga ini, satu tokoh yang saya ketahui adalah Alm. Erizal Zuhri Sidabutar, anggota Kopassus yang gugur di Papua pada tahun 2019. Anda silahkan cari saja di Google dan Sosmed tentang beliau. Tokoh ini adalah salah satu keturunan Butar Raja yang menggunakan marga Sidabutar.

Terakhir dari pengalaman pribadi, kebetulan saya juga intens mengunjungi Kabupaten Dairi, sudah beberapa orang di Dairi saya temui yang bermarga Sidabutar (Silalahi). Saya cukup penasaran dengan marga mereka, dan telah banyak informasi yang saya tanyakan tentang marga Sidabutar ini. Mereka sendiri juga mengakui kesalahpahaman yang paling sering dihadapi adalah dianggap marga Parna ketika keluar dari Dairi. Mereka juga mengatakan bahwa marga Sidabutar berbeda dengan marga Sinabutar meskipun sesama keturunan Silahisabungan. Sidabutar berasal dari keturunan Butar Raja sedangkan Sinabutar berasal dari keturunan Sondi Raja. Saya crosscheck di Facebook dan ternyata betul, ada grup marga Sinabutar yang berasal dari turunan Siraja Parmahan (ini link grupnya). Saya juga pernah dengar Marga Sidabutar (Silalahi) yang di Samosir mengubah marga menjadi Sinabutar untuk membedakan diri dengan Marga Sidabutar (Parna), tapi saya belum dapat data primer yang mendukung statement ini, hanya sebatas info dari thread di Sosmed.

Kesimpulannya, tidak benar keturunan Butar Raja mayoritas menggunakan marga Dabutar, yang benar adalah: mayoritas menggunakan marga Sidabutar, dan sebagian yang berbudayakan Pakpak menggunakan marga Dabutar. Mohon agar jangan membuat klaim yang menyesatkan tentang marga ini. Jangan memandang marga ini hanya dengan sebelah mata hanya karena jumlah populasi maupun popularitas lebih kecil dibandingkan Sidabutar Parna. Kedua kelompok memiliki nama yang sama, jadi perlakukanlah dengan adil, sama yang telah saya lakukan dengan artikel marga Hutapea. Harap jangan dikembalikan lagi. 27christian11 (bicara) 12 Desember 2022 06.41 (UTC)Balas

@27christian11, Bang Christian Silitonga yg saya hormati. Saya tidak sedang membuat klaim ngawur dan asal-asalan. Saya kebetulan adalah orang Dairi dan saya tau mengenai alm. Erizal, termasuk keluarganya saya tahu, pamannya (amanguda) adalah Direktur Pasar Sidikalang. Saya juga punya guru TIK di SMA, yg marganya adalah Sidabutar (Silalahi), namun di banyak kesempatan dia menulis Silalahi. Yg mau saya tekankan adalah bahwa ketika W.M. Hutagalung membuat sensus marga pada 1926, keturunan Silahisabungan dri Butar Raja, menyertakan marga mereka sebagai Sinabutar. Ini diperkuat ketika J.C. Vergouwen juga membukukan ulang, dng mendengarkan bbrp sumber lain. Bahkan, ketika ada pesta Silahi Sabungan, tidak pernah ada bolahan amak Sidabutar, melainkan bolahan amak Sinabutar. Terkait dengan: "dari keturunan mana?", Raja Parmahan menamai anaknya sesuai nama Ompungnya anaknya (saudara saudara Sondi Raja), salah satunya Sinabutar. Ini juga memperkuat, bahwa setahu Raja Parmahan yg sudah lebih dulu pergi ke Balige, saudara-saudaranya itu bermarga Sinabutar. Jangankan Sinabutar, bahkan anaknya juga ada yg dinamai Sihaloho (persis nama Ompungnya di Silahisabungan). Terakhir, yang mau saya katakan, penulisan marga ini baru nyata bermasalah setelah munculnya media sosial dan gencarnya administrasi. Perbedaan satu huruf dianggap keramat, sehingga sampai sekarang kesalahan terus berlanjut hingga terekspos melalui media sosial. Seingat saya, dalam tulisan Asner Silalahi tentang keturunan Silahi Sabungan, dia menyertakan nama Sinabutar utk keturunan Butar Raja. Dlm tulisan Lusius Sinurat pun, dia menyertakan Sinabutar pertama-tama, lalu menutupnya dng frasa "bahkan, Sidabutar". Artinya, keturunan Sinabutar, telah ada juga yg memakai Sidabutar (mungkin berkat pengaruh asimilasi terus menerus dng marga lain). Ini berbeda dng Sidabutar (Parna) yg sejak zaman Ompungnya, dari mulai sarkofagus Ompungnya didirikan di Pulo Samosir, hingga sekarang semuanya menggunakan marga Sidabutar. Saya tdk akan membalikkan suntingan abang, krn saya menghormati pendapat abang walaupun saya kontra dng itu. Bagi saya, Wikipedia bukan tempat mengenalkan yg tidak terkenal. Bagi Silahisabungan sendiri, marga Sidabutar sbg nama marga itu sangat tdk melekat, mereka bisa memakai marga apa saja. Berbeda dng Sidabutar (Parna) yg cuma punya satu marga itu. Sebagai tanggungjawab moral utk mempercepat rekonsiliasi kedua belah pihak, saya sengaja mendiferensiasi keduanya karna toh Wikipedia bukan tempat utk menyorot konflik menjadi terkenal. Begitu saja bang, terima kasih. Kris Simbolon (bicara) 12 Desember 2022 15.31 (UTC)Balas
Baik, terima kasih atas replynya saudara Kris Simbolon. Jika saudara adalah orang Dairi maka seharusnya sudah tahu marga Sidabutar di Dairi itu keturunan Silahisabungan dan banyak yang menggunakan marga tersebut di Dairi. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, mereka umumnya menggunakan tiga variasi marga: Sidabutar, Dabutar, dan Silalahi. Di luar Dairi mereka umumnya menggunakan Silalahi, bahkan di dalam Dairi pun mereka sebagian menggunakan Silalahi. Penggunaan variasi itu mutlak hak dari sang pemilik marga. Tapi yang pastinya tiga variasi marga tersebut digunakan oleh keturunan Butar Raja. Mohon jangan mendiskreditkan satu jenis variasi marga karena jumlah penggunanya sedikit.
Saya tidak sependapat dengan statement ini: "keturunan Sinabutar, telah ada juga yg memakai Sidabutar (mungkin berkat pengaruh asimilasi terus menerus dng marga lain)." Adakah bukti dan rekam jejak sejarahnya? Menurut pemikiran saya malah yang sebaliknya: dikarenakan ada persamaan marga sehingga marga Sidabutar mengubah marganya menjadi Sinabutar.
Kembali ke argumen saya, Kabupaten Dairi (khususnya Kec. Silahisabungan) adalah asal tempat/kampung halaman dari marga-marga Silahisabungan, dan faktanya disana semua keturunan Butar Raja menggunakan marga Sidabutar (tidak ada Dabutar maupun Sinabutar). Maka, saya lebih percaya bahwa Sidabutar adalah penulisan yang original, karena begitulah penulisannya di tempat asal-muasalnya sendiri.
Sama seperti marga-marga lainnya, tentu untuk mendapatkan informasi/fakta, tujuan yang utama adalah daerah asal marga tersebut. Maka hipotesis saya, ketika marga ini keluar dari daerahnya barulah mereka mengubah marganya menjadi marga Silalahi (agar tidak disamakan dengan marga Sidabutar Parna) atau Sinabutar (tetap ingin menonjolkan marganya, namun diubah agar tidak sama dengan Sidabutar Parna). Saya juga telah cek dari statistik kependudukan, fenomena pola perubahan dari "sida" menjadi "sina" ini tidak hanya terjadi pada marga Sidabutar tetapi setidaknya ada 2 marga Silahisabungan lainnya yang juga seperti itu, yaitu: Sidabariba -> Sinabariba dan Sidebang -> Sinabang (Khusus Sinabang juga ada yang berasal dari keturunan Raja Parmahan). Uniknya lagi dari fakta yang saya temukan tentang ketiga marga tersebut: di Dairi mayoritas menggunakan "Sida", sedangkan di Kab. Samosir mayoritas menggunakan "Sina". Sehingga perlu ada study lanjut perihal fenomena ini. Namun logikanya, mungkinkah Sidabutar mengubah marga mereka sendiri menjadi Sinabutar di kampung halaman mereka sendiri hanya karena pengaruh marga luar semata? Seperti contoh marga Batak lainnya di kampung asalnya, mereka cenderung menggunakan marga asli/original, setelah keluar dari kampungnya barulah mereka menggunakan marga induk.
Marga Silahisabungan ini sangat sarat konflik dan perbedaan pendapat, kebenaran informasi tentang marga ini adalah tergantung pada narasumber yang memberikannya. Contoh: Anak Silahisabungan versi Dairi ada 8, sedangkan versi Silalahi Raja ada 9. Istri Silahisabugan versi Dairi ada 2, sedangkan versi Silalahi Raja ada 3. Juga ada perbedaan pendapat istri Silahisabungan boru Padang Batanghari atau boru Matanari. Sehingga saya dan Bung Kris Simbolon yang berada diluar dari marga Silahisabungan ini harus bijak dan netral dalam memberikan informasi tentang marga-marga ini. Alangkah baiknya informasi yang kita tulis di Wikipedia ini adalah sumber asli dari pemilik marga. Jika tidak ada, maka sumber informasi berasal dari sumber yang kredibel. Jika ada pertentangan, ditulis dari kedua belah perspektif.
Perihal pernyataan Alm. Asner Silalahi dan Lusius Sinurat saya tidak mau terlalu banyak komentar, itu adalah hak mereka sebagai keturunan Silahisabungan untuk memberikan pendapat. Tapi alangkah lebih baik jika informasi perihal marga ini kita dapatkan dari pemilik marganya langsung (Seperti yang telah saya lakukan, sehingga saya berani membuat claim diatas). Perihal Bolahan Amak, saya juga tidak mau berkomentar banyak, dugaan saya telah ada konsensus diantara internal Silahisabungan untuk menamakannya Sinabutar, tapi itu pun perlu kajian yang mendalam. Saya perhatikan juga Lusius Sinurat adalah seorang blogger, dan di Wikipedia sumber yang berasal dari blog tidak dianjurkan untuk digunakan
Sama halnya juga dengan tulisan W.M. Hutagalung dan J.C. Vergouwen, sah saja mereka membuat sensus atau pencatatan tentang marga-marga Batak, namun yang perlu saya tegaskan adalah informasi yang mereka tulis tidak mutlak menjadi suatu kebenaran. Sama halnya dengan Buku tulisan W.M. Hutagalung, buku tersebut dapat menjadi rujukan untuk pengenalan marga-marga Batak, namun tidak saya sarankan sebagai sumber informasi mutlak, karena banyak didalamnya tertulis informasi yang salah, salah satunya perihal marga saya sendiri.
Saran saya, jika Saudara Kris Simbolon berasal/berdomisili di Dairi, sesekali berkunjung ke Silalahi, bertemu dengan orang yang bermarga Sidabutar, dan tanya informasi dan kebenaran tentang marga tersebut, kalau boleh tanya juga mengapa mereka disana tidak ada yang menggunakan marga Sinabutar. Begitu menurut saya lebih baik daripada kita membuat asumsi yang belum tentu benar/salah tentang marga-marga ini. 27christian11 (bicara) 13 Desember 2022 04.07 (UTC)Balas
@27christian11. Pertama, kita sepakat membiarkan status quo terlebih dahulu. Kedua, saya tdk pernah menjadikan buku W.M. Hutagalung dan J.C. Vergouwen sbg rujukan "mutlak", dlm arti saya harus menulis setiap iota nya persis. Karna saya percaya org Batak punya discernment. Saya jg percaya abang paham sama ilmu investigasi, salah satunya adalah "informasi yang paling konsisten" adalah informasi yg paling mendekati kebenaran.
Dalam hal W.M. Hutagalung dan J.C. Vergouwen, mereka bisa missed satu sundut bahkan tiga sundut, namun runutnya (alur) benar dan bersesuaian dengan mayoritas pemilik marga. Dan harus kita apresiasi dan tdk boleh abai, W.M. Hutagalung ini lah yg pertama kali membuat tarombo Batak kita dalam bentuk paling runut dan lengkap, menanyakan dari setiap marga dan selesai pada 1926. Kalo beliau tdk ada, mungkin kita bernasib sama spt Silahi Sabungan. Dan jangan kira, Waldemar Hutagalung mengabaikan kaidah ilmiah. Dia menuliskannya sesuai kaidah ilmiah walaupun datanya tdk semua lengkap (per marga, sampai turunan dri satu marga), ini sdh pernah dibahas dlm Perpustakaan Digital Budaya Indonesia.
Kemudian, bolahan amak Sinabutar itu bukan cuma masalah politis, tpi atas pertimbangan yg matang. Abang tdk boleh hanya menunjukkan angka persen, bukan spt itu bagaimana membaca data demografi (dan dalam hal ini menyangkut antropologis). 60 persen dari sampel akan terlihat besar, sampai kita menemui jumlah populasi. Keturunan Butar Raja, yg di Silahisabungan pada rentang waktu tertentu, tdk bisa menggambarkan populasi keturunan Butar Raja kemudian. Saya lebih percaya kepada keturunan Butar Raja yg ada di Samosir dan Balige, krn mereka ini sdh ada beberapa generasi di luar Silahisabungan, artinya sblm Dairi masuk ke dalam wilayah kolonial Belanda dan marga2 belum intens ke Dairi, mereka sudah ada di luar dng membawa marga mereka.
Perbedaan satu dua huruf utk waktu yg sangat lama, barulah terasa dampaknya sangat parah. Itulah makanya saya merasa Wikipedia bukan tempat utk menuliskan semua derivat dri satu marga, karna itu hanya akan mengkatalis konflik baru yg bisa selesai, seandainya bentuk derivat itu tdk dilegitimasi benar, hanya karna tercatat di internet.
Utk kita perhatikan bersama bahwa sarkofagus marga Sihaloho (Ompu Raja Rosuhul Sihaloho) sdh sejak lama ada di Samosir. Artinya, mmg kita tdk bisa memandang sebelah mata seolah-olah yg diam di tempat itu asli, yg pergi tidak asli. Mereka yg telah pergi ini ttp membawa informasi penting mengenai asal-usul mereka, sebelum terjadi babak baru di kampung mereka. Ini bisa kita bandingkan dng penulisan marga "Saragih" dan "Saragi". Keturunan yg menulis "Saragih", sdh lebih dahulu berpisah tempat sebelum keturunan dri satu toga yg sama, mengalami modifikasi bunyi penghilangan "h" menjadi "Saragi". Lusius Sinurat mmg blogger, tpi beliau adalah akademisi. Apa bedanya catatannya dng catatan seseorang tetua misalnya yg secara acak ditemukan pada tahun xxxx? Catatan mereka ini bisa dijadikan petunjuk. Terakhir, sbg pembanding terakhir, W.M. Hutagalung sdh menulis nama Sinabutar pada 1926 jauh sblm Tugu Silahisabungan akhirnya disepakati dibangun pada 1960-an. Dan saya tdk akan menghabiskan waktu saya bertanya pada marga Sidabutar di Silalahi, krn informasi yg saya dpt tdk lebih baru dibanding apa yg telah saya lihat sndiri ttg mereka yg tdk bisa memutuskan antara Sinabutar, Sidabutar, Sinamutar, atau Silalahi (bahkan di Sidikalang sendiri). Ini hanya konfrontasi gagasan saja, tetap saja saya akan mengikut saja dng keputusan abang. Terima kasih. Kris Simbolon (bicara) 13 Desember 2022 05.02 (UTC)Balas
1. Saya tidak mencoba mendiskreditkan buku W.M. Hutagalung maupun J.C. Vergouwen. Yang ingin saya sampaikan adalah seiring berkembangnya pengetahuan tentang Per-taromboan/Silsilah Batak, terdapat/ditemukan beberapa kesalahan informasi dalam buku tersebut. Oleh sebab itu saya katakan kalau buku tersebut baiknya hanya sebagai rujukan saja, contoh dalam beberapa artikel marga Batak saya selalu mencantumkan buku W.M. Hutagalung sebagai sumber.
2. Data persentasi yang saya sampaikan sebelumnya khusus di Kabupaten Dairi dan khusus bagi yang menyematkan marga Sidabutar/Dabutar di kartu tanda kependudukannya. Besar kemungkinan keturunan Butar Raja sudah lebih banyak yang berada diluar Dairi, sama seperti marga-marga lain yang pada umumnya lebih banyak berada di luar kampungnya dibanding di kampungnya sendiri. Namun seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya hanya berfokus di Kabupaten Dairi, karena Dairi (Kec. Silahisabungan) adalah kampung/tempat asal dari Marga Sidabutar.
3. Cukup mengherankan mengapa Bung Kris Simbolon lebih percaya kepada keturunan Butar Raja yang berada di luar Dairi padahal marga ini berasal dari Dairi. Dimana-mana untuk mencari informasi tentang suatu marga, itu dicari ditempat asalnya, bukan ditempat perantauannya, terlepas dari sudah berapa lama dia menetap di daerah baru itu.
Saya juga tidak mengatakan keturunan Butar Raja yang diluar Dairi itu tidak asli. Tapi kenyataannya, most of the time, marga yang pergi dari kampung asalnya lebih rentan mengubah/memodifikasi marganya (oleh karena berbagai ragam alasan) dibandingkan marga yang menetap di kampungnya. Oleh karena itu saya lebih percaya kepada keturunanan Butar Raja di Dairi (yang menggunakan marga Sidabutar) dibandingkan yang telah pergi keluar.
4. Silakan merujuk pada pedoman Wikipedia:Sumber tepercaya perihal kriteria yang digunakan di Wikipedia. Betul, banyak sumber yang ada dan dapat digunakan sebagai petunjuk, namun kita harus tetap patuh pada pedoman yang telah ditetapkan di Wikipedia. Sumber-sumber marga-marga Batak juga kita harus bijak mengolahnya, karena tiap marga memiliki konfliknya masing-masing. Sumber yang berasal dari blog atau catatan tetua juga terkadang rentan akan mis-informasi.
5. Saya juga mau mengkoreksi pernyataan anda yang menyatakan: "Bahkan, ketika ada pesta Silahi Sabungan, tidak pernah ada bolahan amak Sidabutar, melainkan bolahan amak Sinabutar." karena setelah saya telusuri Bolahan Amak Sinabutar juga tidak ada, yang ada itu Bolahan Amak Butar Raja dan pada tahun 2019 ketuanya bermarga Sinabutar. Saya telusuri, Pesta Silahisabungan Bolahan Amak Butar Raja dihelat pada tahun 2019 dan pada proposal tertulis:

"Tahun 2019 ini merupakan perayaan yang ke-39 Tugu Raja Silahisabungan dan sebagai panitia penyelenggaraan giliran keturunan (pomparan) “BUTAR RAJA” (dipanggil Sidabutar, Dabutar dan Sinabutar) anak ke-4 keturunan Raja Silahisabungan."

Unduh softcopy proposal lengkap disini (harus log in Facebook)

Menurut saya, statement diatas yang tersemat dalam proposal sudah cukup clear menjelaskan marga apa saja yang digunakan oleh keturunan Butar Raja, dan lebih akurat dibandingkan sumber lain seperti Buku W.M. Hutagalung, J.C. Vergouwen, maupun sumber-sumber lainnya. Karena sumber ini berasal dari internal Silahisabungan (khususnya Butar Raja), dan ini juga merupakan proposal acara akbar oleh marga Silahisabungan itu sendiri. Di proposal juga marga SIDABUTAR ditulis dalam urutan pertama (meskipun dalam susunan panitia lebih banyak yang menggunakan marga Sinabutar), dengan artian sesuai dengan hipotesis saya: Sidabutar adalah penulisan marga yang original (sesuai dengan marga yang digunakan di Kec. Silahisabungan), namun dimodifikasi menjadi Sinabutar ketika keluar dari Dairi. Juga tidak ada (dan mungkin tidak pernah ada) yang menggunakan marga Sinamutar, seperti yang tertulis pada blog Lusius Sinurat.
Saya kira kita tidak perlu lagi memperpanjang argumen ini, penulisan judul artikel sudah sesuai dengan semua pertimbangan dan penjelasan yang saya sampaikan diatas. Terima kasih atas antusiasnya Bung Kris Simbolon, semua argumen ini hanya bertujuan untuk memperkaya khazanah marga-marga Batak. Salam, 27christian11 (bicara) 13 Desember 2022 09.32 (UTC)Balas