Palium

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 April 2013 18.01 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 37 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q200691)

Pallium atau Palla (berasal dari pallium atau palla Romawi, sehelai mantel wol) adalah salah satu vestimentum gerejawi dalam Gereja Katolik Roma, awalnya dikhususkan bagi Sri Paus, namun selama berabad-abad dianugerahkan oleh Paus kepada para uskup metropolit dan primat sebagai lambang dari yurisdiksi yang diembankan kepada mereka oleh Tahta Suci.

Paus Innosentius III dilukiskan mengenakan pallium dalam sebuah fresko di biara Sacro Speco.

Deskripsi

Pallium model sekarang berupa sehelai selempang, "selebar tiga jari," ditenun dari wol anak domba berwarna putih yang dipelihara oleh para rahib Trappist, [1] melingkar pada pundak di atas Kasula, dan kedua ujungnya masing-masing menjuntai di depan dan belakang; sehingga bilamana dipandang dari depan atau pun belakang pallium akan membentuk huruf Y. Pallium dihiasi enam salib hitam, satu pada masing-masing bagian yang menjuntai dan empat pada bagian yang melingkar, berjumlah ganda di bahu kiri, diimbuhi depan dan belakang, dengan tiga peniti emas. Dua karakteristik terakhir tampaknya adalah warisan dari zaman tatkala pallium Romawi masih berupa sehelai scarf sederhana yang dikenakan melingkari leher, bersilang dan disatukan dengan peniti pada pundak kiri.

Mulanya pallium dan omoforion adalah vestimentum yang sama. Omoforion adalah selempang kain lebar, lebih besar dari pada pallium modern, dikenakan oleh semua uskup Ortodoks Timur dan Katolik Timur dari Ritus Byzantium. Teori yang menghubungkan pallium dengan figur Sang Gembala Baik yang memanggul anak domba di pundaknya, yang sangat umum dijumpai dalam seni Kristiani, sudah jelas merupakan suatu penjelasan a posteriori. Namun upacara yang terkait dengan penyiapan dan peanugerahannya bagi Paus, menunjukkan simbolisme serupa. Anak-anak domba yang bulunya kelak digunakan dalam pembuatan pallium dipersembahkan secara khidmat di altar oleh para biarawati dari biara Santa Agnes.

Penganugerahan pallium menjadi kontroversi selama Abad pertengahan, karena para paus mengenakan suatu tarif khusus bagi para pemakai pallium. Pengenaan tarif ini melimpahi kepausan dengan ratusan ribu keping emas dan menurunkan reputasi anugerah pallium. Proses tersebut dikutuk oleh Konsili Basel pada tahun 1432, yang menyebutnya sebagai "perbuatan paling riba yang pernah diadakan oleh kepausan."[2] Tarif tersebut kemudian ditiadakan karena dituduh sebagai salah satu bentuk praktik simoni.

Untuk kesempatan pelantikannya, Paus Benediktus XVI beralih menggunakan pallium model yang lebih awal, dari masa tatkala pallium dan omoforion masih identik secara virtual. Pallium tersebut lebih lebar dari pada pallium modern namun tidak selebar omoforion modern, aterbuat dari wol berujung sutera hitam, dan dihiasi lima salib merah, tiga di antaranya bersematkan peniti, lambang kelima luka Kristus dan ketiga paku salib. Hanya pallium Paus yang mengambil bentuk istimewa ini.

Kini hanya Paus dan para uskup agung metropolitan yang mengenakan pallium, dan seorang metropolitan harus menerima pallium sebelum menjalani masa jabatan di provinsi gerejawinya, bahkan jika sebelumnya dia telah menjadi metropolitan di daerah lain. Uskup biasa, uskup agung non-metropolitan atau pensiunan metropolitan tidak diizinkan mengenakan pallium kecuali bila memiliki izin khusus. Misalnya, Angelo Kardinal Sodano, Ketua Dewan Kardinal yang baru terpilih, memperoleh hak khusus mengenakan pallium di keuskupan suburbicaria Ostia pada tanggal 29 Juni 2005.

Penggunaan pallium pada masa modern

Paus Benediktus XVI mengenakan pallium model Romawi kuno
Paus Yohanes Paulus II mengenakan pallium modern

Pallium modern adalah sehelai selempang berbentuk lingkaran, selebar kira-kira dua inci, disampirkan di sekitar leher, pundak dan dada. Pallium memiliki dua juntai masing-masing di sisi depan dan belakang, selebar kira-kira dua inci dan sepanjang kira-kira dua belas inci, masing-masing bagian terujung dari kedua juntai dibungkus dengan sutera hitam. Keseluruhan bagian pallium lainnya dibuat dari wol putih, berasal dari dua ekor anak domba yang dipersembahkan tiap tahun sebagai pajak dari biara Santo Yohanes menurut aturan kanon Lateran pada hari peringatan St. Agnes (21 Januari, nama Agnes berarti "anak domba"), dengan khidmat diberkati pada altar utama Gereja St. Agnes seusai Misa Kudus Pontifikal, kemudian diserahkan kepada Sri Paus. Ornamen pallium terdiri atas enam salib hitam kecil -- satu pada masing-masing juntai, satu pada masing-masing bahu, dan masing-masing satu pada dada dan tengkuk. Ornamen salib di bagian dada, tengkuk dan pundak kiri memiliki celah untuk menyematkan pin emas bertatahkan permata. Pallium dikenakan di atas kasula.

Pemakaian pallium dikhususkan bagi Sri Paus dan para uskup agung metropolitan (yang mengepalai satu provinsi gerejawi), namun para uskup agung tersebut tidak boleh mengenakannya sebelum dianugerahkan kepada mereka oleh Sri Paus, biasanya pada hari perayaan peringatan Santo Petrus dan Santo Paulus pada bulan Juni. Pallium juga dianugerahkan kepada Patriark Yerusalem Ritus Latin. Tradisi-tradisi masa lampau yang mingizinkan beberapa uskup lain untuk mengenakan pallium diakhiri oleh Paus Paulus VI dalam sepucuk motu proprio pada tahun 1978.[3] Seorang uskup agung metropolitan dapat mengenakan pallium sebagai tanda yurisdiksinya bukan hanya di keuskupan agungnya sendiri melainkan juga di semua tempat dalam provinsi gerejawinya kapanpun dia merayakan Misa (Kanon 437, Hukum Kanonik, 1983)[4]

Meskipun pallium sekarang dikhususkan, menurut hukum dan norma-norma liturgis, bagi para metropolitan, satu-satunya pengecualian yang ada tampaknya mulai mentradisi: Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Pallium kepada Joseph Alois Kardinal Ratzinger tatkala Ratzinger menjadi dekan dewan kardinal dan yang karena itu sekaligus menjabat sebagai Kardinal-Uskup Ostia, suatu gelar kehormatan belaka dan tanpa membawahi suatu keuskupan agung atau pun suatu wilayah metropolitan. Ketika Kardinal Ratzinger kemudian terpilih menjadi Paus Benediktus XVI, dia meneruskan tindakan pengecualian tersebut tanpa komentar apa pun dengan menganugerahkan pallium kepada Angelo Kardinal Sodano, dekan dewan kardinal yang baru.[5]

Bilamana dikenakan oleh Sri Paus, pallium melambangkan plenitudo pontificalis officii (kepenuhan jabatan kepausan); bilamana dikenakan oleh para uskup agung, pallium melambangkan partisipasi mereka dalam kuasa pastoral tertinggi dari Sri Paus, yang diterima mereka atas provinsi gerejawinya masing-masing. Oleh karena itu seorang uskup agung yang belum menerima pallium tidak boleh menjalankan fungsinya sebagai metropolitan, metropolitan prerogatif sekalipun. Demikian pula setelah pengunduran dirinya, dia tidak boleh lagi mengenakan pallium; bila dia dipindahkan ke keuskupan agung lain, dia harus mengajukan petisi kepada Bapa Suci untuk memperoleh sehelai pallium baru. Pallium-pallium yang baru dibuat diberkati dengan khidmat setelah ibadah vesper kedua pada hari peringatan Santo Petrus dan Paulus, kemudian disimpan dalam kotak perak khusus di dekat Confessio Petri (makam Santo Petrus) sampai tiba saatnya diperlukan. Penganugerahan pallium mula-mula dilakukan di Roma oleh seorang kardinal diakon, dan di luar Roma oleh seorang uskup; dalam kedua kasus tersebut upacaranya dilangsungkan seusai perayaan Misa dan pengambilan sumpah. Sejak Konsili Vatikan II, liturgi penganugerahan Pallium sebagaimana yang termuat dalam buku-buku liturgi dilangsungkan pada awal Misa pada saat uskup agung yang bersangkutan menduduki jabatannya, akan tetapi Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI lain pula prakteknya yakni memanggil semua uskup agung baru ke Roma untuk menerima pallium secara langsung dari tangan Sri Paus sendiri pada hari perigatan Santo Petrus dan Paulus.

Sejarah

Ridaklah mungkin untuk mengindikasikan dengan tepat bilamana pallium pertama kali diperkenalkan. Menurut "Liber Pontificalis" (Kitab riwayat para paus) pallium pertama kali digunakan pada paruh pertama abad ke-4. Menurut kitab ini, dalam riwayat Paus Markus (†336), ia memberi hak mengenakan pallium kepada Uskup Ostia, karena konsekrasi Sri Paus merupakan urusan Uskup Ostia. Pada tingkat tertentu, mengenakan pallium adalah lazim pada abad ke-5; hal ini diindikasikan oleh kitab tersebut dalam riwayat Santo Markus yang berpenanggalan awal abad ke-6, serta penganugerahan pallium kepada Santo Cæsarius dari Arles oleh Paus Symnakus pada tahun 513. Selain itu, dalam banyak referensi lain pada abad ke-6, pallium disebut sebagai suatu vestimentum yang sudah lama membudaya. Tampaknya sejak semula, paus sajalah yang memiliki hak absolut untuk mengenakan pallium. Pemakaiannya oleh orang-orang lain ditoleransi hanya dengan izin paus. Diketahui bahwa pallium dianugerahkan kepada orang lain, sebagai suatu tanda pembeda, sejak abad ke-6. Kehormatan tersebut biasanya dianugerahkan kepada para metropolitan, khususnya mereka yang dinominasikan sebagai vicarius (wakil) oleh paus, namun kadangkala dianugerahkan kepada uskup-uskup biasa (antara lain kepada Syagrius dari Autun, Donus dari Messina, dan Yohanes dari Syracuse oleh Paus Gregorius I). Penggunaan pallium di antara para metropolitan belum membudaya sampai abad ke-6, ketika diwajibkan bagi semua metropolitan agar mengajukan petisi terlebih dahulu untuk mengenakan pallium disertai sebuah pengakuan iman secara khidmat, semua konsekrasi terlarang bagi mereka sebelum penerimaan pallium. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk membawa para metropolitan ke dalam hubungan yang lebih akrab dengan tahta kesatuan dan sumber dari semua prerogatif metropolitan, yakni Tahta Suci, untuk melawan aspirasi-aspirasi dari berbagai mopropolitan yang menghendaki otonomi, yang tidak sehaluan dengan Konstitusi Gereja, dan untuk melawan pengaruh buruk yang timbul darinya: ketentuan tersebut dimaksudkan, bukan untuk membunuh, melainkan untuk menghidupkan kembali yurisdiksi metropolitan. Janji kesetiaan yang diikrarkan oleh para penerima pallium kini, tampaknya berasal dari abad ke-11, pada masa jabatan Paus Paskalis II (1099-1118), menggantikan pengakuan iman. Dapat dipastikan bahwa sejak abad ke-6 ada semacam upeti yang yang harus diserahkan oleh para penerima pallium. Kebiasaan ini dihapus oleh Paus Gregorius I pada Sinode Roma tahun 595, namun dihidupkan kembali di kemudian hari sebagai salah satu sumber dana Tahta Suci. Sumbangan dana dari pallium ini sejak abad pertengahan sering menjadi subyek kontroversi, dan menurut para kritikus tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat dibenarkan.

Arti penting pallium

Sejak awal abad ke-6 pallium dipandang sebagai sehelai vestimentum liturgis untuk hanya dikenakan di dalam gedung gereja, dan sesungguhnya hanya selama perayaan Misa, kecuali ada pengecualian khusus selain itu. Hal ini dibuktikan dalam korespondensi antara Paus Gregorius I dengan Yohanes dari Ravenna mengenai penggunaan pallium. Ketentuan-ketentuan yang mengatur penggunaan awal dari pallium tidak dapat diketahui dengan pasti namun penggunaannya, bahkan sebelum abad ke-6, tampaknya sudah memiliki karaktek liturgis tertentu. Dari permulaannya pembatasan-pembatasan yang lebih atau kurang ekstensif membatasi penggunaan pallium untuk hari-hari tertentu saja. Penggunaannya yang tanpa diskriminasi, diizinkan bagi Hincmar dari Reims oleh Paus Leo IV (851) dan bagi Bruno dari Cologne oleh Paus Agapitus II (954) bertolak belakang dengan kebiasaan yang umum pada masa itu. Pada abad ke-10 atau ke-11, sama seperti sekarang, ketentuan umum membatasi pemakaian pallium pada beberapa perayaan tertentu dan beberapa kesempatan luar biasa lainnya. Karakter simbolis yang kini dikaitkan dengan pallium berasal dari masa tatkala ada kewajiban bagi semua metropolitan untuk mengajukan petisi kepada Tahta Suci untuk menerima izin mengenakan pallium. Evolusi dari karakteristik ini selesai sekitar akhir abad ke-11; sejak saat itu pallium selalu tercantum dalam Bulla paus sebagai lambang dari plenitudo pontificalis officii. Pada abad ke-6 pallium menjadi lambang jabatan paus dan kekuasaan paus, dan karena alasan inilah maka Paus Felix mewariskan palliumnya kepada diakon agungnya, ketika, berlawanan dengan kebiasaan, dia menominasikannya sebagai penggantinya. Di lain pihak, bilamana dikenakan oleh para metropolitan, pallium mulanya hanya menunjukkan persatuan dengan Tahta Apostolik, dan merupakan lambang dari hiasan kebajikan yang semestinya menghiasi kehidupan si pemakai.

Perkembangan

Ada perbedaan besar antara bentuk pallium modern dan bentuk pallium yang lazim pada era awal Kekristenan, sebagaimana yang digambarkan dalam mosaik-mosaik Ravenna. Pallium abad ke-6 berbentuk selempang putih panjang, lebarnya sedang, dihiasi pada titik-titik tertentu dengan salib hitam atau merah, dan ujung-ujungnya diberi juntaian tassel; disampirkan pada tengkuk, pundak, dan dada dengan cara tertentu sehingga membentuk huruf V di bagian depan, kedua ujungnya menjuntai turun dari bahu kiri, yang satunya di depan dan satunya lagi di belakang (lihat ilustrasi). Pada abad ke-8 sudah menjadi kebiasaan untuk membiarkan kedua ujungnya menjuntai turun, yang satunya pada tengah-tengah dada dan satunya lagi di tengah-tengah punggung, serta merapikannya dengan peniti-peniti, bentuknya menjadi seperti huruf Y. Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad ke-9 (berdasarkan gambar-gambar dari abad tersebut, mula-mula di luar Roma di mana orang tidak terlalu ketat memelihara tradisi-tradisi kuno): selempang, yang mulanya dipertahankan bentuk dan posisinya dengan peniti-peniti, dijahit berbentuk huruf Y, namun tanpa dipotong. Bentuk melingkar yang ada sekarang berasal dari abad ke-10 atau ke-11. Dua contoh awal dari bentuk tersebut adalah palium milik uskup agung Santo Heribertus (1021) dan pallium milih uskup agung Santo Anno (wafat 1075), yang kini disimpan di Siegburg, Keuskupan Agung Cologne. Dua bagian pallium yang menjuntai vertikal sangat panjang sampai abad ke-15, namun kemudian sedikit demi sedikit diperpendek hingga kini panjangnya hanya sekitar 12 inci. Illustrasi tersebut menunjukkan perkembangan historis pallium. Mulanya satu-satunya hiasan pada pallium adalah dua salib masing-masing pada dada kiri dan kanan. Hal ini dibuktikan oleh mosaik-mosaik di Ravenna dan roma. Tampak bahwa penambahan jumlah ornamen salib pada pallium belum menjadi kebiasaan sampai pada abad ke-9, ketika beberapa salib kecil dijahitkan pada pallium. khususnya pada pundak. Namun selama abad pertengahan, tidak ada ketentuan tertentu yang mengatur jumlah ornamen salib itu, juga tidak ada ketentuan mengenai warnanya. Warna ornamen salib umumnya gelap, namun kadang-kala merah. Peniti-peniti, yang mulanya berfungsi untuk menjaga agar pallium tetap pada bentuk dan tempatnya tetap dipertahankan sebagai ornamen bahkan setelah pallium dijahit untuk memperoleh bentuknya yang sama, meskipun peniti-peniti tersebut tidak lagi memiliki fungsi praktis. tambahan kecil pada kedua ujung pallium baru terjadi pada abad ke-13 dibuktikan oleh penemuan pallium yang meliliti jenazah Paus Bonifasius VIII, dan fragmen-fragmen pallium yang ditemukan pada makam Paus Klemens IV.

Asal-muasal

Ada banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai asal-usul pallium. Sebagian pihak berpendapat bahwa pallium berawal dari suatu perlengkapan busana Kaisar Konstantinus I (atau salah satu penerusnya); yang lain berpendapat bahwa pallium merupakan tiruan dari efod Ibrani, perlengkapan pakaian kebesaran Imam Besar. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pallium bermula dari sehelai mantel milik Santo Petrus, yang merupakan lambang jabatannya sebagai gembala tertinggi Gereja. Hipotesis keempat menyatakan pallium bermula dari suatu mantel liturgis, yang, menurut mereka, digunakan oleh para paus terdahulu, dan seiring zaman disederhanakan dalam bentuk sehelai selempang; hipotesis kelima menyatakan pallium bermula dari kebiasaan melipat mantel-pallium biasa, yakni sehelai busana luar yang digunakan pada zaman kekaisaran; hipotesis keenam menyatakan bahwa pallium awalnya memang muncul sebagai suatu busana liturgis kepausan, yang, meskipun demikian, mulanya bukanlah berbentuk sehelai selempang, melainkan, seperti yang ditunjukkan oleh namanya, berupa sehelai kain lebar, oblong, dan panjang. Mengenai beragam hipotesis ini lihat Braun, "Die liturgische Gewandung im Occident und Orient," bagian iv, ch. iii, n. 8; di sini hipotesis-hipotesis ini diuji dan diulas habis-habisan. Menelusuri jejak asal-usul pallium hingga ke perlengkapan busana kaisar, efod Imam Besar Yahudi, ataupun mantel Santo Petrus yang legendaris itu tidaklah dapat diperbolehkan. Mungkin pendapat yang benar mengenai pallium adalah bahwa pallium memang awalnya digunakan sebagai lencana liturgis paus, dan bukannya tidak mungkin bahwa pallium adalah tiruan dari omoforion yang lazim dipergunakan dalam Gereja Timur.

Catatan kaki

  1. ^ "A tradition in evolution". Diakses tanggal 2006-09-15.  Teks "Catholic News Service" akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Peter de Rossa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy (Corgi, 1988) p.137.
  3. ^ http://www.ewtn.com/library/PAPALDOC/P6PALLIU.HTM
  4. ^ http://www.intratext.com/IXT/ENG0017/_P1I.HTM
  5. ^ http://whispersintheloggia.blogspot.com/2006/01/of-provinces-and-pallia.html

Sumber dan referensi