Hukum waris

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Hukum Waris)

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga keturunan lurus disesuaikan dengan aturan adat masyarakat setempat yang lebih berhak.[1]

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Adat disebut hukum Waris Adat, Hukum Islam disebut hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata tidak memiliki hukum adat dan hukum islam, hal ini biasanya hanya diberlakukan untuk umat yang bukan beragamakan Islam. Setiap daerah memiliki hukum Adat dan hukum Islam yang berbeda-beda sesuai dengan sistem Adat, budaya kekerabatan yang mereka anut.[2][3][4]

Hukum Waris Islam[sunting | sunting sumber]

Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.[5]

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah Subhanahu wa ta'ala sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, mereka tidak ada yang lemah dan kuat disesuaikan dengan tatanan adat dan budaya yang diberlakukan, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu. Karena di Indonesia Pengembangan Hukum Undang-undan serta Peraturan Pemerindah berdasarkan hukum islam dan hukum adat. Sehingga Hukum Islam dan Hukum Adat tidak berlawanan dengan pengembangan Hukum di Indonesia[6]

Dzawil Furudl[sunting | sunting sumber]

Dzawil Furudl adalah deretan anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan seorang yang meninggal dunia,[7] yaitu:

  • Laki-laki:
    1. Kakek / ayahnya ayah
    2. Ayah
    3. Anak laki-laki Pertama
    4. Cucu laki-laki dari anak laki-laki Pertama
    5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki Pertama
    6. Suami dan Istri
  • Perempuan:
    1. Nenek
    2. Ibu
    3. Anak perempuan yang tidak memiliki saudara sedarah laki-laki
    4. Cucu perempuan dari anak laki-laki yang tidak memiliki saudara sedarah laki-laki
    5. Saudari kandung dari pasangan ayah dan ibu
    6. Istri dan suami[8]

Penggolongan Ahli Waris[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran bilateral:

Dzul faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh)[sunting | sunting sumber]

Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang bagian-bagian tersebut telah ditentukan dalam Al-qur'an surat An-Nisa, atau sebagaimana pula telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang di antaranya:

  1. anak perempuan yang tidak didampingi laki-laki
  2. ibu
  3. ayah dalam hal ada anak
  4. duda
  5. saudara laki-laki dalam hal kalaalah
  6. saudara, laki-laki dan perempuan bergabung bersyirkah dalam hal kalaalah
  7. saudara perempuan dalam hal kalaalah[9]

Dzul qarabat atau ashabah[sunting | sunting sumber]

Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di antaranya:

  1. anak laki-laki
  2. anak perempuan yang didampingi laki-laki
  3. ayah
  4. saudara laki-laki dalam hal kalaalah
  5. saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalaalah

Mawali[sunting | sunting sumber]

Mawali adalah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris.

Pembagian Dzul faraa[sunting | sunting sumber]

  • Setengah
    Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari seayah dan Suami jika tanpa anak.
  • Seperempat
    Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
  • Seperdelapan
    Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki
  • Sepertiga
    Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.
  • Duapertiga
    Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari seayah
  • Seperenam
    Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama Saudari seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.

Hukum Waris Perdata[sunting | sunting sumber]

Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata. Meski demikian, pengertian mengenai hukum waris itu sendiri tidak dapat dijumpai pada bunyi pasal-pasal yang mengaturnya dalam KUH Perdata tersebut. Untuk mengetahui pengertian mengenai hukum waris selanjutnya kita akan coba menilik beberapa pengertian mengenai hukum waris yang diberikan oleh para ahli, sebagai berikut:

Hukum waris menurut Vollmar merupakan perpindahan harta kekayaan secara utuh, yang berarti peralihan seluruh hak dan kewajiban orang yang memberikan warisan atau yang mewariskan kepada orang yang menerima warisan atau ahli waris.

Hukum waris menurut Pitlo adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena meninggalnya seseorang.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan mengatur mengenai cara-cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain.

Selain beberapa pengertian tersebut di atas, pengertian mengenai hukum waris juga dapat dilihat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam pasal 171 disebutkan bahwa:

Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian masing-masing. Hukum Waris Perdata ini diberlakukan hanya untuk umat yang beragamakan non Muslim.

Hukum Waris Adat[sunting | sunting sumber]

Hukum waris adat adalah Hukum lokal suatu daerah ataupun suku yang diberlakukan adat yang sebenarnya ialah Adat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang masih dipertahankan serta masih berjalan hingga saat ini, ter verifikasi di wilayah tersebut. Hukum waris adat istiadat tetap dipatuhi dan diberlakukan menjadi ketetapan oleh masyarakat adatnya terlepas asal hukum waris tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis karena itu sudah sepatutnya harus di laksanakan sehingga menjadi kebiasaan membudaya hingga keturunan berikutnya.

Sistem pewaris[sunting | sunting sumber]

Sistem keturunan: pewaris berasal asal keturunan ayah atau ibu ataupun keduanya.

  1. Sistem individual: Setiap ahli waris telah menerima bagisannya masing-masing
  2. Sistem kolektif: Hukum waris anak tertua laki-laki menerima harta warisan namun tak dapat dibagi-bagikan kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan hak buat memakai ataupun mendapatkan hasil berasal harta tersebut.
  3. Sistem mayorat: Harta warisan diturunkan kepada anak tertua laki-laki menjadi pengganti ayah dan ibunya. Catatan ; apabila tidak memiliki anak laki-kaki maka anak tertua perempuanlah yang di prioritaskan[10].

Referensi[sunting | sunting sumber]