Turbah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Turbah Karbala, dibuat dari tanah di makam Husain bin Ali

Turbah (Arab: تربة, lit.'tanah'), atau mohr (Persia: مهر, har. 'segel/stempel'), juga disebut sebagai khāk-e shefā (Persia: خاکِ شِفا, har. 'tanah pengobatan', juga dalam bahasa Urdu) dan sejde gāh (Persia: سجدہ گاہ, har. 'tempat sujud', juga dalam bahasa Urdu), adalah sebuah lempengan tanah liat dan digunakan saat salat untuk melambangkan tanah.[1] Turbah digunakan terutama oleh penganut Syiah Dua Belas Imam; mereka melakukannya berdasarkan hadis yang berkaitan dengan sujud di atas tanah atau bahan alam lainnya. Tanah yang digunakan umumnya berasal dari Karbala, tempat syahidnya Husain bin Ali; meski tanah dari tempat lainnya boleh digunakan. Bila tidak ada tanah liat, tumbuhan atau sesuatu yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan. Bahkan mereka juga boleh menggunakan kertas.[2]

Dengan menggunakan petunjuk al-Qur'an, Ja'far ash-Shadiq, salah satu imam yang diikuti Syiah, menyatakan bahwa "sujud harus dilakukan di tanah atau sesuatu yang tumbuh di atasnya, yang tidak dapat dimakan atau dikenakan." Contohnya, sujud di atas sehelai kertas dibolehkan karena berasal dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah.[3]

Muhammad dan penggunaan turbah[sunting | sunting sumber]

Diriwayatkan dari Abu Sa`id al-Khudri: “Aku melihat Rasulullah (ﷺ) sujud di atas lumpur dan melihat bekas lumpur masih menempel di jidatnya.”[4] Meski Muhammad salat di atas tanah, hadis Sahih al-Bukhari juga menyatakan bahwa "Rasulullah pernah salat di atas Khumrah (tikar dari pelepah kurma)."

Dengan demikian salat dapat dilakukan di berbagai jenis tanah dan tempat. Sebagai contoh, tempat, bangunan, dan struktur yang berhubungan dengan Allah dan Muhammad sangat dihormati ketika menyangkut tempat salat.[5]

Signifikansi Karbala[sunting | sunting sumber]

Karbala dianggap tanah suci bagi orang Syiah, karena Husain bin Ali mati syahid di situ dan menjadi saksi bisu perpecahan umat Islam. Husain sangat penting karena memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad, sehingga tanah Karbala menjadi tempat suci untuk salat.

Karena umat Islam tersebar di penjuru dunia, orang Syiah membuat turbah atau mohr dari tanah Karbala. Akan tetapi berkaitan dengan sikap menghormati dan menghargai, umat Islam boleh sujud di atas segala sesuatu yang terbuat dari tanah.[6]

Simbolisme dan signifikansi[sunting | sunting sumber]

Turbah bermakna 'tanah', yakni bahan yang digunakan Allah untuk menciptakan Adam. Turbah juga bermakna setiap tanah yang digunakan oleh seseorang untuk sujud. Tanah yang menyucikan dapat juga digunakan untuk tayamum, yakni kegiatan menyucikan diri apabila tidak ada air yang menyucikan.

Turbah juga melambangkan bahwa setiap jasad manusia yang telah meninggal akan kembali menjadi tanah. Turba (atau türbe dalam bahasa Turki) adalah bangunan makam dalam bermacam-macam konteks.[7]

Pandangan Sunni[sunting | sunting sumber]

Hampir seluruh ulama ahli sunah menganggap penggunaan turbah adalah bid'ah, menganggap bahwa Nabi Muhammad atau para sahabat tidak pernah menggunakan batu kecil atau lempengan lainnya sebagai alas jidat saat bersujud. Mereka bahkan mencatat bahwa turbah yang digunakan oleh Syiah memuat nama-nama tokoh yang mereka hormati dan mereka puja, seperti 'Ya Hussain', atau 'Ya Zahra' yang dianggap sebagai perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah). Dalam Majmu' al-Fatawa., Ibnu Taimiyyah, mengeluarkan fatwa bahwa salat menggunakan turbah makam Husain bin Ali, Karbala adalah bid'ah.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Orr, Francine (26 November 2001). "Sharing the Faith, Spreading the Word". Los Angeles Times. hlm. E2. 
  2. ^ Fontan, Victoria (2008). Voices from post-Saddam Iraq: living with terrorism, insurgency, and new forms of tyranny. ABC-CLIO. hlm. 42. ISBN 978-0-313-36532-4. 
  3. ^ Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project. "In A Nutshell: Laws and Practices." 1 April 2010. <www.al-islam.org>.
  4. ^ Al-Bukhari, Sahih (English translation), vol 1, book 12, no. 798; vol. 3, book 33, no. 244
  5. ^ al-Jibouri, Yasin T. "Why Prostrate on Karbala's Turba". Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project. Diakses tanggal 12 April 2010. 
  6. ^ Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project. In A Nutshell: Laws and Practices. Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project Team. Web. 1 Apr. 2010. <www.al-islam.org>.
  7. ^ Leisten, T. (2010). "Turba". Dalam P. Bearman; T Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). Brill. Diakses tanggal 18 March 2010. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Ibn Taymiyyah. Majmoo' al-Fatawa. 22. hlm. 163. .... And it was asked from him about the prostration on a Turbah Al-Husseinya in the mosque and prayer (performing of Salat) on it: Is it an act of Innovation (Bid'ah) or not? So he replied positively: 'Praise be to the Lord of the Worlds, as for the Salat on the Turbah Al-Husseinya on which the Salat performer prays, that is not from the Sunnah of the Salaf of Muhajirun or Ansar and nor from the Sunnah of Tabieen after them; on whom is the blessing/favor of Allah on the promise of the Prophet Muhammad. But in fact all of these people prayed in the mosque on normal soil. Not even one of them ever took a Turbah Al-Husseinya to pray on for their Salat.' 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]