Hak asasi manusia di dunia maya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hak asasi manusia di dunia maya merupakan sebuah lingkup hukum yang relatif baru. Hal ini dinyatakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) yang menganggap bahwa kebebasan berekspresi juga mencakup kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi, ide, dan gagasan di internet berdasarkan Pasal 19(2) dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).[1]

Privasi publik[sunting | sunting sumber]

Privasi publik mencakup kebebasan informasi dan ekspresi serta keamanan dan kerahasiaan pribadi di dunia maya.[2]:3 Dalam konteks dunia maya, privasi berarti menggunakan internet sebagai media untuk menjalankan kepentingan pribadi tanpa khawatir diawasi atau mengalami penyalahgunaan data oleh pihak ketiga tanpa persetujuan.[2]:3 Penyalahgunaan yang dimaksud dapat berupa pengambilan data pengguna tanpa persetujuan,[3] manipulasi informasi, dan sebagainya.[4]

Hak atas kebebasan ini telah diatur dalam berbagai traktat internasional.[2]:3 Hak ini termasuk hak untuk mendapatkan dan memberikan informasi dan ide serta mempertahankan pendapat tanpa interferensi dari pihak lain. Kebebasan ini juga berlaku di media apapun, termasuk platform internet atau media sosial.[2]:3

Keamanan siber[sunting | sunting sumber]

Seiring dengan meningkatnya pembajakan dan virus komputer, World Wide Web (WWW) menjadi kurang aman untuk menyimpan informasi pribadi yang sensitif.[5][6] Di sisi lain, dunia maya menjadi alat bagi berbagai orang untuk mendapatkan hak atas kebebasan mereka, meskipun dunia maya pada dasarnya tidak dapat menjamin kebebasan.[2]:11 Menurut Statista, terdapat 4,66 miliar pengguna internet aktif (59,5% populasi dunia) per Januari 2021.[7] Data ini menegaskan ulang bahwa keamanan di internet haruslah menjadi prioritas utama.[2]:12

Pelanggaran[sunting | sunting sumber]

Perundungan siber[sunting | sunting sumber]

Tingkah laku diskriminatif yang terjadi di dunia nyata dapat pula terjadi secara daring. Salah satu tingkah laku tersebut adalah perundungan siber atau juga disebut sebagai intimidasi dunia maya. Fenomena ini merupakan salah satu masalah yang mungkin pernah dialami oleh setiap orang.[8] Tindakan tersebut berdampak kepada beberapa lingkup hak asasi manusia,[9] misalnya hak atas standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak untuk bekerja dan mendapatkan kondisi kerja yang adil, hak atas kebebasan berekspresi atau mempertahakan pendapat tanpa interferensi,[10] dan hak anak untuk beristirahat dan bermain.[11] Tingkah laku ini dapat ditemui di berbagai negara, dibuktikan oleh sebuah penelitian yang menyatakan bahwa satu dari sepuluh siswa di dunia pernah mengalami perundungan siber.[12] Dalam kasus ekstrim, tindakan tersebut dapat menyebabkan seseorang mengakhiri nyawanya sendiri.[13] Perundungan dunia maya dapat memengaruhi seseorang dengan berbagai cara, tetapi tentunya masalah ini dapat diatasi dan orang-orang yang terdampak juga dapat memperoleh kembali kepercayaan diri dan kesehatan mental mereka.[14]

Rasisme di internet[sunting | sunting sumber]

Rasisme di internet dapat berupa komentar bernada rasis dari seseorang atau partisipasi seseorang dalam grup rasis di media sosial.[15] Salah satu contoh dari perilaku ini adalah sebuah halaman di Facebook yang sering mengunggah meme bernada rasis terhadap suku Aborigin. Sebuah laporan menyatakan bahwa Facebook menganggap halaman tersebut sebagai halaman bertopik 'humor kontroversial'.[15][16]

Ujaran kebencian[sunting | sunting sumber]

Pasal 20 ICCPR menyatakan bahwa “segala pembelaan atas kebencian nasional, rasial, atau agama yang mendasari hasutan untuk bertindak diskriminatif, bermusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.”[1] Ujaran kebencian merupakan bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok dalam aspek-aspek, seperti etnis, ras, atau orientasi seksual.[17] Dalam hal ini, dunia maya dapat dianggap sebagai media untuk menyebarkan ujaran kebencian. Terlepas dari masalah hukum, para penebar kebencian perlu diberikan hukuman sosial karena hal itu merupakan musuh besar kebebasan berekspresi.[18]

Salah satu bentuk ancaman terhadap hak asasi manusia terjadi ketika sekelompok teroris berkumpul untuk merencanakan dan menghasut orang-orang. Contohnya ketika Al-Qaeda menganggap dunia maya sebagai "wilayah tanpa pemerintahan" dan menggunakannya sebagai tempat pelatihan dan penyebaran ideologi serta kebencian.[19] Oleh karena itu, situasi seperti ini menjadi penting untuk diawasi supaya mencegah adanya teroris siber di masa mendatang.[17]

Masa depan hak asasi manusia dalam era digital[sunting | sunting sumber]

Masa depan hak asasi manusia di dunia maya bergantung pada perkembangan hukum dan bagaimana pemerintah menafsirkan hukum tersebut.[20] Roger Brownsword, seorang pengacara asal Inggris, menemukan tiga masalah etis yang berkaitan dengan perkembangan bioteknologi, hak asasi manusia, dan teknologi digital, yakni "pendirian utilitarian pragmatis", pertahanan hak asasi manusia, dan dignitarian alliance.[20] Brownsword mengklaim bahwa dua masalah pertama dari tiga masalah tersebut sering ditemui di Britania Raya. Ia juga menganggap bahwa perkembangan teknologi kerap menempatkan manusia sebagai subjek yang kurang memiliki kemandirian dan kapasitas.[20]

Pada 22 Mei 2020, Dewan Keamanan PBB mendiskusikan topik keamanan siber bertajuk "Cyber Stability, Conflict Prevention, and Capacity Building" sebagai salah satu bentuk masalah hak asasi manusia.[21] Hal ini menjadi perhatian ketika pemerintah suatu negara terlibat dalam serangan siber, seperti pemadaman internet atau penyadapan jurnalis. Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia ini terjadi di beberapa negara, yaitu Estonia, Belgia, Belanda, Ekuador, Jepang, Swiss, dan lain-lain.[22]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "International Covenant on Civil and Political Rights". Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. 16 Desember 1966. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-12. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  2. ^ a b c d e f Mihr, Anja (2013). "Public Privacy Human Rights in Cyberspace" (PDF). The Netherlands Institute of Human Rights (SIM) Utrecht University. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-02-06. Diakses tanggal 2021-11-27. 
  3. ^ Schulz, Florence (14 Mei 2019). "User data on the Internet: Manipulation as a business model". www.euractiv.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-28. Diakses tanggal 27 November 2021. 
  4. ^ Susser, Daniel; Roessler, Beate; Nissenbaum, Helen (30 Juni 2019). "Technology, autonomy, and manipulation". Internet Policy Review. 8 (2). doi:10.14763/2019.2.1410. ISSN 2197-6775. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-02. Diakses tanggal 2021-11-27. 
  5. ^ Smiley, Stephen (8 September 2017). "Australians' financial information at risk in data breach of US company". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-24. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  6. ^ Naughton, John (16 September 2013). "Internet security: 10 ways to keep your personal data safe from online snoopers". The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-15. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  7. ^ Johnson, Joseph (10 September 2021). "Internet users in the world 2021". Statista (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-13. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  8. ^ Perwitasari, Nur Hidayah (1 November 2021). "Memahami Bullying dan Jenis-Jenis Intimidasi". Tirto. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-02. Diakses tanggal 2 Desember 2021. 
  9. ^ Hackett, Liam (circa 2020). "Cyberbullying and Its Implications for Human Rights". Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-06. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  10. ^ Majelis Umum PBB (10 Desember 1948). Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (PDF). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. hlm. 4–5. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-12-10. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  11. ^ Pamuntjak, Laksmi (13 November 2019). "Refleksi dari KHA Pasal 31". UNICEF. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-16. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  12. ^ Safaria, Triantoro (Januari 2016). "Prevalence and Impact of Cyberbullying in a Sample of Indonesian Junior High School Students". Turkish Online Journal of Educational Technology - TOJET (dalam bahasa Inggris). 15 (1): 82–91. ISSN 1303-6521. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-29. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  13. ^ Ulum, Derry (tanpa tanggal). "Cyberbullying: Apa dan Bagaimana Menghentikannya?". UNICEF Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-29. Diakses tanggal 2 Desember 2021. 
  14. ^ Bagian Komunikasi Publik, Biro Hukum, dan Hubungan Masyarakat (29 Juni 2020). "Cara Mengatasi Cyberbullying". Badan Siber dan Sandi Negara. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-02. Diakses tanggal 2 Desember 2021. 
  15. ^ a b "Background paper: Human rights in cyberspace" (PDF). Australian Human Rights Commission. September 2013: 13–14. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-28. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  16. ^ Moses, Asher; Lowe, Adrian (8 Agustus 2012). "Contents removed from racist Facebook page". The Sydney Morning Herald (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-30. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  17. ^ a b Kijanen, Pekka (25 April 2008). "New Generation for Human Rights in Cyberspace" (PDF) (Tesis). Estonian Center for Human Rights Foundation. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-10-18. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  18. ^ Franciska, Christine (26 Agustus 2015). "Bagaimana Menghadapi Para Penebar Kebencian di Medsos?". BBC Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-08. Diakses tanggal 8 Desember 2021. 
  19. ^ "A world wide web of terror". The Economist. 12 Juli 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-08. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  20. ^ a b c Mansell, Robin (1 April 2015). "Human Rights and Equality in Cyberspace" (PDF). The London School of Economics and Political Science. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-08-09. Diakses tanggal 30 November 2021. 
  21. ^ Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (23 Mei 2020). "Indonesia Suarakan Stabilitas Siber di PBB". Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-08. Diakses tanggal 8 Desember 2021. 
  22. ^ Brown, Deborah (26 Mei 2020). "It's Time to Treat Cybersecurity as a Human Rights Issue". Human Rights Watch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-04. Diakses tanggal 30 November 2021.