Żari'ah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aż-żari'ah (variasi ejaan: adz-dzari'ah) adalah sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai menuju ketaatan atau kemaksiatan. Adz-dzari'ah terbagi menjadi dua, yaitu:

Sadd Aż-Żari'ah[sunting | sunting sumber]

Sadd Adz-Dzari'ah adalah mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan). Penggunaan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang.

Fath Aż-Żari'ah[sunting | sunting sumber]

Fath Adz-Dzari'ah adalah kebalikan dari sadd adz-dzari'ah yaitu, menganjurkan media/jalan yang menyampaikan sesuatu yang dapat menimbulkan maslahah (kemanfaatan/kebaikan), jika ia menghasilkan kebaikan. Penggunaan media ini harus didorong dan dianjurkan, karena menghasilkan kemaslahatan adalah sesuatu yang diperintahkan dalam Islam.

Sebagai objek hukum syara', perbuatan yang merupakan adz-dzari'ah berperan sebagai jalan/media/perantara untuk mencapai tujuan hukum, dapat diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang menjadi media menghasilkan kemaslahatan, diperbolehkan. Sedangkan media yang menimbulkan mafsadah, dilarang.

Metode Penentuan hukum adz-Dzari'ah[sunting | sunting sumber]

Predikat-predikat hukum syara' yang dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzariah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:

Dari segi al-Baits (motif pelaku)[sunting | sunting sumber]

Al-Baits adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan, baik motifnya menimbulkan sesuatu yang dibenarkan, maupun yang dilarang.

Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit diketahui oleh orang lain, karena berada dalam hati orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyanah (dikaitkan dengan dosa atau pahala yang akan diterima pelaku di akhirat). Pada dzari'ah, semata-mata pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan ketentuan hukum batalnya suatu transaksi.

Jika dengan tinjauan dzari'ah yang pertama, hanya mengakibatkan dosa atau pahala bagi pelakunya.

Dari segi Maslahah dan Mafsadah yang ditimbulkan[sunting | sunting sumber]

Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan perbuatan tersebut adalah kerusakan, maka perbuatan tersebut dilarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram atau makruh).

Jika dengan tinjauan dzari'ah yang kedua, perbuatan dzari'ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha'i, dimana hakim pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut, bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung pada apakah perbuatan dzari'ah tersebut menimbulkan maslahah atau mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.

Kedudukan aż-Żari'ah dalam Syariah[sunting | sunting sumber]

Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal menjadikan dzari'ah sebagai dalil hukum syara'. Sedangkan Imam Syafi'i dan Abu Hanifah terkadang menjadikannya menjadi dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Selanjutnya, ulama Syi'ah juga menggunakan sadd adz-dzari'ah. Akan tetapi, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri sama sekali menolak adz-dzari'ah sebagai dalil syara' (hujjah).

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • "Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Cetakan pertama 2010, halaman 206-208
  • "Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Cetakan pertama 2010, halaman 305-307