Abu Hanifah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Abu Hanifah
NamaAbu Hanifah
Lahir80 H/699 M
Kufah, Irak
Meninggal148 H/767 M
Baghdad, Irak
ZamanMasa keemasan Islam
FirkahAhlus Sunnah
Mazhab FikihIjtihad
Mazhab AkidahAhlur Ra’yi
Minat utamaFiqh · hadis
Gagasan yang terkenalIstihsan
Karya yang terkenalKitaab-ul-Aathar and Fiqh al-Akbar
Dipengaruhi  oleh

Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban (Arab: أبو حنيفة نعمان بن ثابت بن زوطا بن مرزبان; c. 699 – 767 M), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (Arab: أبو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H/699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 150 H/767 M) merupakan pendiri dari mazhab fiqih Hanafi.

Abu Hanifah rahimahullah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat Nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ bernama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan beberapa peserta Perang Badar yang dimuliakan Allah subhanahu wa Ta‘ala yang merupakan generasi terbaik islam, dan meriwayatkan hadits darinya serta sahabat Rasulullah ﷺ lainnya.[3]

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari rahimahumullah.

Menuntut ilmu[sunting | sunting sumber]

Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Namun, tidak seperti pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang, ia mampu menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadits.

Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian berprofesi seperti bapaknya. Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini. Di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sangat kuat. Beberapa ulama dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.

Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Pertama, halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Kedua, halaqah yang membahas tentang Hadits Rasulullah metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka. Ketiga, halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-Qur'an dan Hadits, termasuk membahas fatawa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.

Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam bidang ini.

Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai. Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.

Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena kecintaannya pada sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya Al-Watad.

Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.

Menjadi ulama[sunting | sunting sumber]

Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya telah wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatawa dan pengarah dialog.

Saat Abu Hanifah menggantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan. Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban.

Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui.

Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera menggantikan gurunya.

Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama selama perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Anas bin Malik, Zaid bin Ali dan Ja'far ash-Shadiq yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.

Imam Abu Hanifah diketahui telah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fiqih dan dijuluki Imam Al-A'dzhom oleh masyarakat karena keluasan ilmunya.Beliau juga menjadi rujukan para ulama pada masa itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada masa itu dan masa selanjutnya.

Penolakan sebagai hakim[sunting | sunting sumber]

Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."

Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu diantara mereka oleh Amirul Mukminin."

Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.

Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.

Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang."

Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.

Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Akhir hayat[sunting | sunting sumber]

Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."

Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Imaam Abu Hanifa (R.A.), Biography of One of The Four Great Imaams- I
  2. ^ The Conclusive Argument from God:Shah Wali Allah of Delhi's Hujjat Allah Al-baligha, pg 425
  3. ^ Imam-ul-A’zam Abu Hanifa, The Theologian

Bahan bacaan[sunting | sunting sumber]