Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual VisualEditor-alih
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
mengedit teks
Baris 38: Baris 38:


Pada intinya ketentuan tersebut mengharuskan wanita di daerah pedalaman untuk mendapat hak dan manfaat dari pengembangan atas layanan perawatan kesehatan. Ketika kita mendasarkan pada ''General Comment No. 36 Article 6 ICCPR'' ketentuan CEDAW tersebut secara implisit dapat kita artikan memberi jaminan kesehatan wanita terhadap reproduksi yang mana dijelaskan dalam kata ''family planning''. Kemudian dalam ''Article 12 (1) of the The Committe on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)'' mengakui hak setiap orang menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai. Aturan tersebut dengan tegas mengkonfirmasi [[hak perempuan]] atas kesehatan dan badan pengawas dari perjanjian tersebut telah menafsirkan dan menerapkan hak tersebut dalam konteks aborsi.<ref>{{Cite journal|last=Zampas|first=C.|last2=Gher|first2=J. M.|date=2008-01-01|title=Abortion as a Human Right--International and Regional Standards|url=http://dx.doi.org/10.1093/hrlr/ngn008|journal=Human Rights Law Review|volume=8|issue=2|pages=249–294|doi=10.1093/hrlr/ngn008|issn=1461-7781}}</ref> ''The Beijing Platform for Action atau Platform'' Aksi [[Beijing]], muncul dari ''United Nations Fourth World Conference on Women'' yang diadakan pada tahun 1995, mengamati bahwa "kemampuan wanita untuk mengendalikan kesuburan mereka sendiri merupakan dasar yang penting untuk menikmati hak-hak lainnya".
Pada intinya ketentuan tersebut mengharuskan wanita di daerah pedalaman untuk mendapat hak dan manfaat dari pengembangan atas layanan perawatan kesehatan. Ketika kita mendasarkan pada ''General Comment No. 36 Article 6 ICCPR'' ketentuan CEDAW tersebut secara implisit dapat kita artikan memberi jaminan kesehatan wanita terhadap reproduksi yang mana dijelaskan dalam kata ''family planning''. Kemudian dalam ''Article 12 (1) of the The Committe on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)'' mengakui hak setiap orang menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai. Aturan tersebut dengan tegas mengkonfirmasi [[hak perempuan]] atas kesehatan dan badan pengawas dari perjanjian tersebut telah menafsirkan dan menerapkan hak tersebut dalam konteks aborsi.<ref>{{Cite journal|last=Zampas|first=C.|last2=Gher|first2=J. M.|date=2008-01-01|title=Abortion as a Human Right--International and Regional Standards|url=http://dx.doi.org/10.1093/hrlr/ngn008|journal=Human Rights Law Review|volume=8|issue=2|pages=249–294|doi=10.1093/hrlr/ngn008|issn=1461-7781}}</ref> ''The Beijing Platform for Action atau Platform'' Aksi [[Beijing]], muncul dari ''United Nations Fourth World Conference on Women'' yang diadakan pada tahun 1995, mengamati bahwa "kemampuan wanita untuk mengendalikan kesuburan mereka sendiri merupakan dasar yang penting untuk menikmati hak-hak lainnya".

=== Legalitas Hukuman Mati Terhadap Orang Yang Melakukan Aborsi Dalam Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia ===
Legalitas hukuman mati di dalam hukum internasional dipertanyakan karena terdapatnya hukuman mati atas tindakan aborsi di beberapa negara, yang hukuman tersebut merupakan pelanggaran dari HAM internasional. Hak asasi manusia internasional sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Mereka dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional dan prinsip – prinsip hukum internasional yang sudah lama ditetapkan. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] menetapkan hak asasi manusia sebagai "standar umum dari pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa".<ref>{{Cite book|date=1997|url=http://dx.doi.org/10.2458/azu_acku_pamphlet_hq1236_5_a3_u558_1997|title=Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) / United Nations Development Programme (UNDP).|publisher=University of Arizona Libraries}}</ref> Kegagalan untuk memberikan perlindungan yang menghargai martabat yang melekat dari mereka yang dihukum sampai mati, merupakan pelanggaran dari standar internasional. Standar internasional yang dimaksud di sini ialah yang melarang penyiksaan atau segala bentuk kekejaman, biadab, atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan.<ref>{{Cite journal|last=Whittaker|first=Alison|date=2019-07-03|title=One-Punch Drunk: White Masculinities as a Property Right in New South Wales’ Assault Causing Death Law Reforms|url=http://dx.doi.org/10.1080/13200968.2020.1794427|journal=Australian Feminist Law Journal|volume=45|issue=2|pages=295–319|doi=10.1080/13200968.2020.1794427|issn=1320-0968}}</ref> Larangan penyiksaan adalah norma yang harus ditaati yang ditetapkan, tanpa syarat atau pengecualian, dalam instrumen dasar hak asasi manusia, yaitu UDHR,<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref>beserta 2 (dua) ketentuan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]],<ref>{{Cite journal|last=Nuraja|first=Siti Hawa|date=2017-06-13|title=PELAKSANAAN PASAL-PASAL 3 AYAT (2) SAMPAI PASAL 5 DAN PASAL 7 AYAT (2) PADA PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TAHUN 1980 - 1982|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol15.no5.1165|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=15|issue=5|pages=486|doi=10.21143/jhp.vol15.no5.1165|issn=2503-1465}}</ref> dan berbagai instrumen HAM regional.<ref>{{Cite book|date=2018-10-25|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781316677117.093|title=International Human Rights Law Documents|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-1-316-67711-7|pages=736–741}}</ref> Menurut hukum internasional saat ini tidak ada larangan yang absolut mengenai penerapan hukuman mati yang mengikat semua negara di dunia.<ref>{{Cite web|title=Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19.|url=http://dx.doi.org/10.1163/1874-6772_seg_a2_597|website=Supplementum Epigraphicum Graecum|access-date=2021-07-05}}</ref> Sebagai negara yang mengakui dan menghormati HAM beberapa diantaranya menyetujui untuk tidak menjatuhkan hukuman mati di dalam keadaan apapun. Meski begitu, masih terdapat sebagian kecil negara yang tetap mempertahankan hukuman mati dan menegaskan [[legitimasi]], legalitas, dan efektifitasnya. Namun, bahkan untuk negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati, terdapat pembatas hukum internasional atas kejahatan dan kepada siapa yang dapat dijatuhi hukuman mati, serta prosedur yang harus diikuti jika hukuman mati akan diizinkan berdasarkan hukum internasional.<ref>{{Cite web|title=Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19.|url=http://dx.doi.org/10.1163/1874-6772_seg_a2_597|website=Supplementum Epigraphicum Graecum|access-date=2021-07-05}}</ref> Menurut [[ICC]] ''Statute'', kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya merupakan kejahatan yang paling serius<ref>{{Cite journal|last=SIREGAR|first=NAEK|date=2014-03-24|title=ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP DAMPAK RADIASI NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Radiasi Nuklir Jepang Pasca Gempa Dan Tsunami)|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=5|issue=2|doi=10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|issn=2477-6238}}</ref> yang menjadi perhatian komunitas internasional secara keseluruhan, yaitu: kejahatan [[genosida]], kejahatan [[perang]], kejahatan terhadap [[Humanisme|kemanusiaan]], dan kejahatan [[agresi]].<ref>{{Cite book|last=Novak|first=Andrew|date=2015|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-15832-7_3|title=The International Criminal Court|location=Cham|publisher=Springer International Publishing|isbn=978-3-319-15831-0|pages=23–40}}</ref> Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa aborsi bukan merupakan kejahatan yang luar biasa dan merugikan banyak orang yang sehingga dapat dihukum mati, mengingat pada tahun 1948, PBB menyatakan di dalam pasal 3 [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]]<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref> bahwa “semua orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan seseorang”. Dan di dalam pasal 6 ayat (1) dari [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]]<ref>{{Cite journal|date=2020-06-30|title=International Covenant on Civil and Political Rights|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781108689458.033|journal=A Commentary on the International Covenant on Civil and Political Rights|pages=860–869|doi=10.1017/9781108689458.033}}</ref> memberikan: “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun akan semena-mena kehilangan nyawanya”. Hukuman mati tidak pernah konsisten dengan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa kehidupan adalah hak asasi manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, karena setiap orang di seluruh penjuru dunia memiliki hak yang melekat di dalam dirinya yang tidak dapat direnggut oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dihukum mati dengan alasan melakukan aborsi.








Revisi per 5 Juli 2021 14.36

Sehubungan dengan janin yang merupakan anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memuat terkait perlindungan hak janin.[1] Dalam pasal 53 dinyatakan bahwa, “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Anak dalam kandungan yang dimaksud adalah janin yang nantinya akan tumbuh menjadi anak dan berkembang selayaknya manusia. Janin merupakan langkah awal kehidupan yang harus dihormati oleh setiap manusia dan dijaga karena janin nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kelak juga akan menghasilkan hal yang sama.

Berapapun usia janin, harus dikatakan usia awal kehidupan janin, janin harus tetap dipertahankan hidup sepanjang tidak membahayakan kondisi ibu dan memang terlahir ke dunia tanpa mengancam nyawa ibu dan janin. Di samping peraturan perundang-undangan tersebut, hukum adat dan hukum Islam juga mengatur tentang keberadaan calon anak atau janin pemberian perlindungan, dalam hukum perdata sangatlah penting karena hukum perdata mengatur hak warga negaranya secara tidak lansung hal ini juga mengatur pada hak janin. Karena janin melekat pada masing rahim perempuan yang berada dalam suatu negara. janin sama seperti orang anak, atau orang dewasa sebagai anggota masyarakat, janin juga memperoleh hak. Namun janin tidak dapat melindungi hak-haknya saperti orang dewasa, oleh karena itu diperlukan bantuan orangtuanya untuk mengurusi hak-haknya. Memang dalam hukum tidak dijelaskan secara detail mengenai hak janin, lebih menjelaskan tentang anak, akan tetapi janin merupakan cikal bakal anak yang nantinya menjadi subyek hukum atau pelaku hukum. Menurut batasan usia, untuk hukum tertulis yang terdapat didalam hukum perdata berbeda-beda tergantung dari perundang-undangannya.[2]

Hak Hukum Fetus Menurut Hukum Positif

Berdasarkan Pasal 1 butir (1) UU.No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak seseorang dapat dikatakan sebagai seseorang dapat dikatakan sebagai anak jika “Seseorang yang berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[3] Anak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan, yakni segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan , serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak asasi pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen.Pasal 28A menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pasal 28 I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati.Berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, UUD 1945 setelah perubahan mengakui dan menghormati bahwa hak-hak asasi manusia bukanlah pemberian negara tetapi melekat dalam keberadaan manusia. Di dalam UUD 1945 yang lama, hanya ada satu hak asasi yang diakui sebagaimana tertera dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu hak tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan hak-hak lain, seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan lain-lain, sebenarnya belum tergolong hak asasi manusia, melainkan hak warga negara.[4] Pengakuan hak untuk hidup itu amat sentral dalam seluruh peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Keberadaan bangsa dan negara pertama-tama harus mengakui harkat dan martabat keberadaan manusia, prinsip rule of law, yaitu sistem dan praktek pemerintahan wajib melindungi warga dari kesewenangan kekuasaan dan melindungi warga dan hak-miliknya dari kesewenangan sesama warga, merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak hidup, mempertahankan kehidupan dan mengembangkan kehidupan. Tujuan bernegara yang hendak dicapai juga adalah berintikan peningkatan kualitas hidup sebagai penghormatan atas kehidupan manusia. Hak asasi ini berhubungan langsung dengan masalah aborsi, hukuman mati, eutanasia, membela diri, pembunuhan dan perang. Karena hak hidup, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, diakui, maka aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan. Hanya dalam keadaan yang sangat membahayakan nyawa sang ibu, yang disimpulkan ahli yang kompeten, aborsi dapat dilakukan. Seseorang berhak membela diri untuk mempertahankan kehidupannya bila kehidupannya terancam tetapi pembunuhan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling fatal.Dengan pengakuan hak atas hidup, hukuman mati dalam sistem hukum kita seharusnya tidak diberlakukan lagi. Meminta diakhiri atau mengakhiri hidup (eutanasia), misalnya karena menderita penyakit yang tidak akan tersembuhkan atau sekarat, juga tidak dapat diizinkan.[5] Pembunuhan dan hukuman mati dalam perang adalah kejahatan yang sering terjadi justru untuk melindungi manusia lain dari pembunuhan. Memahami hak hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia sebenarnyalah harus dilakukan secara utuh dan tak semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana Pasal 28A, namun dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki hak yang melekat untuk hidup”, yang kemudian dilanjutkan dengan frasa “hak ini haruslah dilindungi oleh hukum”, dan kemudian dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya secara sewenang-wenang”[6]

Legalitas Aborsi dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Aborsi sudah menjadi subjek yang kontroversi sepanjang sejarah dikarenakan agama serta variasi moral dan etik yang mengelilinginya.[7] Jika membicarakan mengenai legalitas aborsi, terdapat banyak keragaman pandangan di dalamnya. Ada yang pro dan ada yang kontra, dan keduanya mengatas dasari sudut pandang mereka dengan “Hak Asasi Manusia.” Pada beberapa negara masih menganggap aborsi merupakan tindakan yang ilegal sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Sedangkan di dalam hukum internasional terdapat aturan yang menyatakan semua orang berhak untuk hidup dan dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi seseorang untuk hidup, sehingga terdapat konflik antara kedua aturan tersebut. Banyak aturan mengenai aborsi yang dapat ditemukan di dalam aturan nasional maupun internasional. Menurut hukum internasional aturan mengenai aborsi dapat ditemukan dan didukung di dalam African Women’s Protocol, African Charter, ICCPR, dan CEDAW, di mana mereka menyatakan bahwa aborsi merupakan HAM internasional. Legalitas hukuman mati terhadap orang yang melakukan aborsi seharusnya mengacu kepada ICJ Statute, yang menyatakan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya kejahatan yang paling serius dan aborsi bukan salah satunya, serta UDHR dan ICCPR yang menjamin tiap manusia memiliki hak untuk hidup dan harus dilindungi. Apakah membela hak keselamatan ibu yang mengandung janin atau membela hak hidup janin. Di Amerika Serikat dikenal dua kubu yang disebabkan dari polarisasi perbedaan pandangan dalam aborsi yang disebut sebagai pro-live (kontra terhadap aborsi) dan pro choice (pro terhadap aborsi).[8]

Keadaan menjadi sangat memanas dan membingungkan pada saat kubu pro dan kontra tersebut bersaing atas sudut pandang mereka dengan mengatas dasari “Hak Asasi Manusia” atau “Human Rights”. Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia yang ”diperoleh” dan dibawa secara bersamaan dengan kelahirannya dalam hidup masyarakat. Hak ini terdapat pada manusia tanpa membedakan ras, bangsa, agama, jenis kelamin, dan kelompok karena itu bersifat asasi dan universal.[9] Menurut Protocol on the Rights of Women in Africa, aborsi merupakan hak asasi manusia dan meyakinkan bahwa hak reproduksi wanita adalah hak ”asasi” manusia. Tidak semua negara melegalkan tindakan aborsi, jikapun ada tergantung situasi yang dihadapi oleh wanita tersebut. Sebagai contohnya, di Singapura aborsi hanya dapat dilakukan kepada warga negara Singapura saja, istri dari orang yang berkewarganegaraan Singapura, dan jika ia sudah tinggal di Singapura minimum 4 bulan,[10]serta jika berdasarkan permintaan selama 24 minggu waktu masa hamil, yaitu 6 bulan pertama. Dan kita dapat mengambil El Salvador sebagai contoh negara yang paling ketat aturannya terhadap aborsi, di mana aborsi dianggap merupakan tindakan yang ilegal, dibawah keadaan tanpa dan tidak ada pengecualian. Jika negara menemukan orang yang melakukan aborsi atau bertanggungjawab atau mendukung untuk mengakhiri kehamilan tersebut akan dikenakan hukuman penjara antara dua dan delapan tahun, meskipun beberapa wanita telah dihukum atas tuduhan pembunuhan yang memperberat (aggravated homicide) dan dijatuhi hukuman hingga 30 (tiga puluh) tahun[11] dan bisa sampai dikenai hukuman mati. Jika kita melihat di dalam aturan hukum internasional bahwa dapat ditemui hukum yang "menyatakan" bahwa semua orang berhak untuk hidup dan kehidupan merupakan hak asasi manusia, namun di sisi lain terdapat hukuman mati yang dapat merenggut hak asasi manusia tersebut sehingga kita dapat melihat bahwa terdapat ketidak sesuaian atau konflik diantara kedua aturan ini.

Pengaturan Aborsi Menurut Hukum Internasional

Pengertian aborsi menurut World Health Organization adalah sebuah operasi atau prosedur untuk mengakhiri kehamilan atau janin yang tidak dapat hidup,[12] Lalu menurut Black’s Law Dictionary, aborsi adalah keguguran dengan keluarnya embrio yang tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan atau provokasi manusia.[13] Pada setiap negara di dunia ini memiliki hukum nasionalnya masing-masing, salah satunya adalah aturan mengenai aborsi. Aturan mengenai aborsi di Prancis pada awalnya disahkan oleh Law No. 75-17 of January 1975 Regarding Voluntary Interruption of Pregnancy, namun sebagian besar aturan terkini dapat ditemukan di Public Health Code. Hukum di Prancis mengizinkan perempuan untuk melakukan aborsi hingga akhir dari minggu kedua belas kehamilan, jika sudah lebih dari dua belas minggu maka hukum Prancis hanya mengizinkan melakukan aborsi jika mendapat konfirmasi dari dokter dan setelah berkonsultasi bahwa dengan mengandung hingga waktunya akan membahayakan kesehatan sang ibu, atau terdapat kemungkinan akan bermasalah kesehatan sang anak jika dilahirkan.

Mengenai aborsi di Indonesia sendiri sebenarnya dilarang menurut Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 di mana pasal – pasal tersebut menyatakan bahwa aborsi merupakan perbuatan kejahatan dan dapat dipidana. Namun menurut pasal 75 ayat (2) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang selanjutnya disebut UU Kesehatan dan pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang disebut UU Kesehatan Reproduksi, menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika berindikasi kedaruratan "medis" yang mengancam nyawa ibu dan janin, kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan, serta dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, dihitung dari hari pertama datang bulan terakhir. Dalam Hukum Internasional sebenarnya belum terdapat aturan yang menyatakan secara eksplisit bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia. Namun, dapat kita temukan pernyataan yang paling jelas dan tegas mengenai hak perempuan untuk mengakses aborsi dalam teks perjanjian hak asasi manusia di dalam Protocol on the Rights of Women in Africa atau dikenal juga sebagai African Women’s Protocol, yang diadopsi oleh Union Afrika pada 11 Juli 2003.[14] Bertujuan untuk mengisi kesenjangan atau celah dari African Charter on Human and People’s Rights 1981 atau biasa disebut African Charter. [15]

Protokol tersebut menyatakan:

Negara pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi hak reproduksi wanita dengan mengizinkan aborsi medis dalam kasus-kasus seperti kekerasan seksual, pemerkosaan, inses, dan di mana kondisi kehamilan yang berlanjut membahayakan kesehatan mental dan fisik dari sang ibu atau kehidupan sang ibu atau janinnya.[16]

African Women’s Protocol pada saat itu merupakan satu-satunya instrumen HAM yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia dan meyakinkan bahwa hak reproduksi wanita adalah hak asasi manusia.[17]

Terobosan yang terjadi pada tahun 2008 mengenai hak perempuan untuk aborsi dikeluarkan pada 16 April 2008 oleh Parliamentary Assembly of the Council of Europe yang mewakili 47 negara bagian Eropa, yang kebanyakan dari anggota parlemen mengadopsi sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Committee on Equal Opportunities for Women and Men yang berjudul ‘Access to Safe and Legal Abortion in Europe’ atau disebut juga ‘the Report’. Yang dimana the Report tersebut memanggil negara-negara anggota untuk mendekriminalisasi aborsi, menjamin hak perempuan untuk melakukan aborsi yang aman dan legal, dan mengadopsi strategi dan kebijakan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti akses untuk kontrasepsi dengan biaya yang masuk akal dan jenis yang sesuai.[18] Selain itu, menurut General Comment No. 36 (2018) on article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) on the right to life menyatakan bahwa anggota negara bagian harus menyediakan akses yang aman, legal, dan efektif untuk aborsi di mana kehidupan dan kesehatan wanita hamil berada dalam bahaya, dan di mana kehamilan tersebut akan menyebabkan wanita hamil sakit atau menderita, terutama jika kehamilan tersebut hasil dari pemerkosaan atau inses.

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah perjanjian hak asasi manusia yang secara khusus menegaskan hak-hak reproduksi wanita. Terdapat dua pasal di dalam CEDAW secara khusus dapat dibilang mendukung hak asasi perempuan untuk melakukan aborsi, yaitu: pasal 12 ayat (1) dan pasal 14 ayat (2) huruf (a) dan (b). Pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi:

“States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of health care in order to ensure, on a basis of equality of men and women, access to health care services, including those related to family planning.”

Dalam pasal ini, Komite CEDAW memberi mandat kesetaraan dalam layanan kesehatan dan mencirikan “penolakan prosedur medis yang hanya dibutuhkan oleh wanita, seperti aborsi, sebagai diskriminasi jenis kelamin”,[19] menunjukkan bahwa kurangnya hak aborsi merupakan layanan kesehatan yang tidak setara. Sedangkan pasal 14 ayat (2) huruf (a) dan (b) yang berbunyi:

“States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in rural areas in order to ensure, on a basis of equality of men and women, that they participate in and benefit from rural development and, in particular, shall ensure to such women the right: (a) To participate in the elaboration and implementation of development planning at all levels; (b) To have access to adequate health care facilities, including information, counselling and services in family planning.”

Pada intinya ketentuan tersebut mengharuskan wanita di daerah pedalaman untuk mendapat hak dan manfaat dari pengembangan atas layanan perawatan kesehatan. Ketika kita mendasarkan pada General Comment No. 36 Article 6 ICCPR ketentuan CEDAW tersebut secara implisit dapat kita artikan memberi jaminan kesehatan wanita terhadap reproduksi yang mana dijelaskan dalam kata family planning. Kemudian dalam Article 12 (1) of the The Committe on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) mengakui hak setiap orang menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai. Aturan tersebut dengan tegas mengkonfirmasi hak perempuan atas kesehatan dan badan pengawas dari perjanjian tersebut telah menafsirkan dan menerapkan hak tersebut dalam konteks aborsi.[20] The Beijing Platform for Action atau Platform Aksi Beijing, muncul dari United Nations Fourth World Conference on Women yang diadakan pada tahun 1995, mengamati bahwa "kemampuan wanita untuk mengendalikan kesuburan mereka sendiri merupakan dasar yang penting untuk menikmati hak-hak lainnya".

Legalitas Hukuman Mati Terhadap Orang Yang Melakukan Aborsi Dalam Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia

Legalitas hukuman mati di dalam hukum internasional dipertanyakan karena terdapatnya hukuman mati atas tindakan aborsi di beberapa negara, yang hukuman tersebut merupakan pelanggaran dari HAM internasional. Hak asasi manusia internasional sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Mereka dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional dan prinsip – prinsip hukum internasional yang sudah lama ditetapkan. UDHR menetapkan hak asasi manusia sebagai "standar umum dari pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa".[21] Kegagalan untuk memberikan perlindungan yang menghargai martabat yang melekat dari mereka yang dihukum sampai mati, merupakan pelanggaran dari standar internasional. Standar internasional yang dimaksud di sini ialah yang melarang penyiksaan atau segala bentuk kekejaman, biadab, atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan.[22] Larangan penyiksaan adalah norma yang harus ditaati yang ditetapkan, tanpa syarat atau pengecualian, dalam instrumen dasar hak asasi manusia, yaitu UDHR,[23]beserta 2 (dua) ketentuan ICCPR,[24] dan berbagai instrumen HAM regional.[25] Menurut hukum internasional saat ini tidak ada larangan yang absolut mengenai penerapan hukuman mati yang mengikat semua negara di dunia.[26] Sebagai negara yang mengakui dan menghormati HAM beberapa diantaranya menyetujui untuk tidak menjatuhkan hukuman mati di dalam keadaan apapun. Meski begitu, masih terdapat sebagian kecil negara yang tetap mempertahankan hukuman mati dan menegaskan legitimasi, legalitas, dan efektifitasnya. Namun, bahkan untuk negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati, terdapat pembatas hukum internasional atas kejahatan dan kepada siapa yang dapat dijatuhi hukuman mati, serta prosedur yang harus diikuti jika hukuman mati akan diizinkan berdasarkan hukum internasional.[27] Menurut ICC Statute, kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya merupakan kejahatan yang paling serius[28] yang menjadi perhatian komunitas internasional secara keseluruhan, yaitu: kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.[29] Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa aborsi bukan merupakan kejahatan yang luar biasa dan merugikan banyak orang yang sehingga dapat dihukum mati, mengingat pada tahun 1948, PBB menyatakan di dalam pasal 3 UDHR[30] bahwa “semua orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan seseorang”. Dan di dalam pasal 6 ayat (1) dari ICCPR[31] memberikan: “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun akan semena-mena kehilangan nyawanya”. Hukuman mati tidak pernah konsisten dengan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa kehidupan adalah hak asasi manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, karena setiap orang di seluruh penjuru dunia memiliki hak yang melekat di dalam dirinya yang tidak dapat direnggut oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dihukum mati dengan alasan melakukan aborsi.







Referensi

  1. ^ Aswandi, Bobi; Roisah, Kholis (2019-01-29). "NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI PANCASILA DALAM KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)". Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. 1 (1): 128. doi:10.14710/jphi.v1i1.128-145. ISSN 2656-3193. 
  2. ^ Wartini, Sri (2006-05-30). "Tanggung Jawab TNCs Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dan Lingkungan Dalam Perspektif Hukum Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional". Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. 13 (2): 262–378. doi:10.20885/iustum.vol13.iss2.art8. ISSN 0854-8498. 
  3. ^ Karyati, Sri (2019-03-30). "PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI INDONESIA PASCA DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK". Jurnal Jatiswara. 34 (1): 41. doi:10.29303/jatiswara.v34i1.192. ISSN 2579-3071. 
  4. ^ Subardjo (2017-11-10). "Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pembentukan Undang-undang Menurut Undang-Undang Dasar 1945". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-03. 
  5. ^ Baihaqi, Wahid Ahtar (2017-08-16). "Revitalisasi Maqasid Al-Shari'ah: Pembacaan Ulang Konsep Kewarisan Beda Agama". Muslim Heritage. 2 (1): 107. doi:10.21154/muslimheritage.v2i1.1048. ISSN 2502-5341. 
  6. ^ Amanda, Delia Yopi; Tukiman, Tukiman (2018-10-07). "Pengawasan Terhadap Bangunan Liar Sepanjang Garis Sempadan Jalan Oleh Satuan Polisi Pamong Praja Di Kota Surabaya (Studi Kasus di Jalan Pandegiling Surabaya)". Dinamika Governance : Jurnal Ilmu Administrasi Negara. 8 (2). doi:10.33005/jdg.v8i2.1185. ISSN 2656-9949. 
  7. ^ Pro-Life, Pro-Choice. Vanderbilt University Press. 2014-07-01. hlm. 89–103. ISBN 978-0-8265-1992-4. 
  8. ^ Elvahra, Zoya (2020-09-26). "Peran Perawat Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Meningkatkan Pengetahuan Terkait Tindakan Aborsi Pada Remaja Akibat Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  9. ^ Reksodiputro, Mardjono (1993-03-01). "PANDANGAN TENTANG HAK HAK ASASI MANUSIA DITINJAU DARI ASPEK HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DENGAN PERHATIAN KHUSUS PADA HAK-HAK SIPIL DALAM KUHAP". Jurnal Hukum & Pembangunan. 23 (1): 1. doi:10.21143/jhp.vol23.no1.644. ISSN 2503-1465. 
  10. ^ Analgesia, Anaesthesia and Pregnancy. Cambridge University Press. 2019-05-02. hlm. 14–15. ISBN 978-1-108-68472-9. 
  11. ^ "EL SALVADOR: GOVERNMENT MUST DECRIMINALIZE ABORTION FOLLOWING RELEASE OF WOMAN JAILED FOR STILLBIRTH". Human Rights Documents Online. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  12. ^ F., W. T.; Organization, World Health (1971-12). "Spontaneous and Induced Abortion". Biometrics. 27 (4): 1111. doi:10.2307/2528862. ISSN 0006-341X. 
  13. ^ Bari, Fathol (2020-08-31). "TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM, KRIMINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI". Negara dan Keadilan. 9 (2): 117. doi:10.33474/hukum.v9i2.7388. ISSN 2302-7010. 
  14. ^ Murungi, Lucyline Nkatha (2015). "The sexual and reproductive health rights of women with disabilities in Africa: Linkages between the CRPD and the African Women's Protocol". African Disability Rights Yearbook. 3 (1): 1–17. doi:10.17159/2413-7138/2015/v3n1a1. ISSN 2413-7138. 
  15. ^ "African [Banjul] Charter on Human and Peoples' Rights, Adopted June 27, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (1982), entered into force Oct. 21, 1986". Refugee Survey Quarterly. 24 (2): 150–150. 2005-01-01. doi:10.1093/rsq/hdi035. ISSN 1020-4067. 
  16. ^ Nuraja, Siti Hawa (2017-06-13). "PELAKSANAAN PASAL-PASAL 3 AYAT (2) SAMPAI PASAL 5 DAN PASAL 7 AYAT (2) PADA PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TAHUN 1980 - 1982". Jurnal Hukum & Pembangunan. 15 (5): 486. doi:10.21143/jhp.vol15.no5.1165. ISSN 2503-1465. 
  17. ^ Gawaya, Rose; Mukasa, Rosemary (2005-11). "The African women's protocol: A new dimension for women's rights in Africa". Gender & Development. 13 (3): 42–50. doi:10.1080/13552070512331332296. ISSN 1355-2074. 
  18. ^ "Council of Europe: Parliamentary Assembly Recommendation on Extradition of Criminals". International Legal Materials. 22 (3): 681–682. 1983-05. doi:10.1017/s0020782900031454. ISSN 0020-7829. 
  19. ^ Cook, Rebecca J; Dickens, Bernard M. (2003). "Human Rights Dynamics of Abortion Law Reform". Human Rights Quarterly. 25 (1): 1–59. doi:10.1353/hrq.2003.0003. ISSN 1085-794X. 
  20. ^ Zampas, C.; Gher, J. M. (2008-01-01). "Abortion as a Human Right--International and Regional Standards". Human Rights Law Review. 8 (2): 249–294. doi:10.1093/hrlr/ngn008. ISSN 1461-7781. 
  21. ^ Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) / United Nations Development Programme (UNDP). University of Arizona Libraries. 1997. 
  22. ^ Whittaker, Alison (2019-07-03). "One-Punch Drunk: White Masculinities as a Property Right in New South Wales' Assault Causing Death Law Reforms". Australian Feminist Law Journal. 45 (2): 295–319. doi:10.1080/13200968.2020.1794427. ISSN 1320-0968. 
  23. ^ "UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued". SpringerReference. Berlin/Heidelberg: Springer-Verlag. 
  24. ^ Nuraja, Siti Hawa (2017-06-13). "PELAKSANAAN PASAL-PASAL 3 AYAT (2) SAMPAI PASAL 5 DAN PASAL 7 AYAT (2) PADA PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TAHUN 1980 - 1982". Jurnal Hukum & Pembangunan. 15 (5): 486. doi:10.21143/jhp.vol15.no5.1165. ISSN 2503-1465. 
  25. ^ International Human Rights Law Documents. Cambridge University Press. 2018-10-25. hlm. 736–741. ISBN 978-1-316-67711-7. 
  26. ^ "Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19". Supplementum Epigraphicum Graecum. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  27. ^ "Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19". Supplementum Epigraphicum Graecum. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  28. ^ SIREGAR, NAEK (2014-03-24). "ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP DAMPAK RADIASI NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Radiasi Nuklir Jepang Pasca Gempa Dan Tsunami)". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 5 (2). doi:10.25041/fiatjustisia.v5no2.65. ISSN 2477-6238. 
  29. ^ Novak, Andrew (2015). The International Criminal Court. Cham: Springer International Publishing. hlm. 23–40. ISBN 978-3-319-15831-0. 
  30. ^ "UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued". SpringerReference. Berlin/Heidelberg: Springer-Verlag. 
  31. ^ "International Covenant on Civil and Political Rights". A Commentary on the International Covenant on Civil and Political Rights: 860–869. 2020-06-30. doi:10.1017/9781108689458.033.