Zubairi Djoerban

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Zubairi Djoerban (lahir 11 Februari 1947) adalah seorang dokter asal Indonesia. Dilahirkan di Kauman, Yogyakarta dari pasangan Djoerban Wachid dan Buchaeroh, Zubairi dikenal sebagai penemu kasus pertama sekaligus pionir penanganan HIV dan AIDS di Indonesia. Sempat ingin menjadi pilot, lalu “ditolak” menjadi dokter kandungan, Zubairi muda menemukan jalan hidupnya di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia setelah lulus dari FKUI pada 20 Desember 1971.

Setelah menekuni spesialisasi di bidang ilmu penyakit dalam sejak 1974, Zubairi mendapat kesempatan untuk belajar di Prancis pada 1982-1983, tepatnya di Institute Cancerologie et d’Immunogenetique Hopital Paul Brousse (Institut Kanker dan Imunogenetik RS Paul Brousse), Villejuif, Prancis.

Penanganan HIV/AIDS[sunting | sunting sumber]

Pada saat bekerja di RS Paul Brousse itu Zubairi mengenal seorang pasien anak yang mengidap AIDS dan hemofili. Itulah pertemuan pertamanya dengan penderita AIDS. Waktu itu kasus AIDS masih terbilang langka. Di RS Paul Brousse pun masih 1-2 orang saja. Orang juga belum tahu apa penyebabnya dan perjalanan penyakit tersebut. Ketika itu keterampilan hematologi dipakai dalam pemeriksaan terhadap pasien penderita AIDS. Indikasi penyakit saat itu masih ditentukan dari kecenderungan terserang infeksi dan jumlah limfosit CD4 atau T-helper yang rendah sekali.

Hal lain yang diketahui dari AIDS waktu itu adalah sebagian besar pasien berasal dari kalangan homoseks. Berangkat dari pengetahuan inilah sepulangnya dari Prancis, pada 1983, Zubairi melakukan penelitian di kalangan waria di Pasar Rumput. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa di antara mereka ada yang kadar CD4 atau T helper-nya rendah sekali. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam Kongres Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI) VI, 24-28 Juli 1984, di Jakarta. Disebutkan bahwa dari 15 orang yang diperiksa, tiga di antaranya memenuhi kriteria minimal untuk diagnosis AIDS: penurunan kadar limfosit T-helper, terbaliknya perbandingan antara limfosit T-helper dan suppresor, limfopenia, dan ditemukan gejala-gejala klinis.

Pada 1985, Zubairi mendapat undangan untuk mengikuti Kongres I AIDS di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Tahun itu adalah tahun yang penting dalam perkembangan pengetahuan mengenai HIV/AIDS dengan ditemukannya teknologi untuk mendeteksi antibodi yakni tes Elisa (Enzym linked immunosorbent assay). Zubairi segera menemui perusahaan yang memproduksi reagensia untuk pemeriksaan Elisa tersebut, dan berhasil. Karenanya, pada akhir tahun yang sama dengan ditemukannya metode pemeriksaan tersebut, sub-bagian hematologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM juga sudah mampu untuk melakukan pemeriksaan HIV.

Pada 4 Desember 1989, Zubairi dan sahabatnya, Prof. Samsuridjal Djauzi dan istrinya, Sri Wahyuningsih, mendirikan Yayasan Pelita Ilmu, sebuah organisasi nirlaba yang bertahan hingga saat ini dan memfokuskan pada pendampingan dan advokasi di bidang HIV dan AIDS. Organisasi ini berkembang besar, bahkan mungkin terbesar di antara lembaga serupa di Indonesia. Puluhan tenaga ahli dan relawan hadir untuk membantu ratusan, mungkin ratusan, orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan keluarganya yang membutuhkan bantuan atau untuk sekadar diingatkan jadwal minum ARV, obat yang harus mereka konsumsi selama hidup.

Salah satu keberhasilan advokasi yang dilakukan oleh para pegiat HIV awal, termasuk YPI dan Kelompok Studi Khusus HIV di FKUI-RSCM, adalah mengupayakan obat antiretroviral gratis, hingga sekarang. Dengan semakin efektifnya obat antiretroviral (ARV), ancaman HIV menjadi semakin terkendali. HIV tak ubahnya penyakit kronis lain yang “hanya” memerlukan kepatuhan orang dengan HIV dan AIDS (odha) untuk minum obat secara teratur. Dengan kata lain, HIV tak lagi se-mematikan ketika kasusnya pertama kali ditengarai pada dekade 1980-an lalu.[1]

Penanganan Covid-19[sunting | sunting sumber]

Pada masa pandemi Covid-19 di Indonesia, ia menjadi kepala Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI).[2] Ia menyatakan bahwa penemuan kasus Covid-19 mengingatkannya kepada penemuan kasus AIDS pertama dimana pemerintah Indonesia juga melakukan penyangkalan.[3] Pada 15 Oktober 2021, ia menyatakan bahwa jika gelombang ketiga Covid-19 mampu dihindari, maka Covid-19 akan berakhir menjadi endemi.[4] Pada 25 Maret 2022, ia memprediksi bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia akan beralih menjadi endemi dalam sekitar tiga bulan.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]