Udaya Halim

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Udaya Halim
LahirUdayanimmalatta Halim
26 Maret 1953 (umur 71)
Tangerang, Banten, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Nama lainLim Tjin Pheng (林振鵬)
Pekerjaanbudayawan Tionghoa-Indonesia[1], Ketua Persaudaraan PERTIWI (Peranakan Tionghoa & Warga Indonesia)[2], Head of International Relation di AMI (The Association of Museums in Indonesia).[2]
Dikenal atasPendiri King’s Group of Education, Prince’s Creative School, IBEC (Indonesia Britain Education Centre), Museum Benteng Heritage[3] dan Roemboer (Roemah Boeroeng).

Udaya Halim adalah seorang pendidik, pengusaha, (mantan) konsultan imigrasi dan konsultan restorasi bangunan bersejarah. Selain itu Udaya Halim dikenal sebagai peneliti di bidang budaya Tionghoa-Indonesia. Pada tahun 2011 ia meresmikan Museum Benteng Heritage setelah upaya restorasi yang cermat terhadap sebuah bangunan bersejarah di Pasar Lama, Tangerang.

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Udaya Halim dilahirkan di Tangerang, Banten, pada tanggal 26 Maret 1953. Ketika masih di bangku SMP, ia pernah menjadi penjaga toko (milik sang nenek) di Pasar Baru dan Pasar Senen, Jakarta.[4] Sambil menunggu pembeli, biasanya ia sambil membaca buku yang dibelinya di tukang loak. Ia menyisihkan uang jajan dan ongkos oplet guna belajar bahasa Inggris.

Karier di dunia pendidikan[sunting | sunting sumber]

Udaya Halim tidak dibiayai orang tuanya sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena dianggap anak nakal[5], sehingga pendidikan terakhirnya hanyalah tingkat SMP.[4] Meski demikian, sedari kecil ia telah terlatih mencari pendapatan sendiri seperti menjual layang-layang buatan sendiri. Setamat SMP, Udaya Halim berusaha dengan mendirikan kursus bahasa Inggris yang kemudian berkembang pesat.[5] Namun, ijazah SMP yang dimilikinya tidak memenuhi standar sertifikasi pemerintah.[5] Agar dapat mendapatkan sertifikasi di luar negeri, Udaya mulai bekerja serabutan, antara lain pernah menjadi tukang foto, salesman, hingga desainer.[4][5] Setelah memiliki dana yang cukup, ia berhasil pergi ke Bournemouth, Inggris, untuk mendapatkan sertifikat bahasa Inggris untuk lembaga kursusnya.[4][5]

Pada tahun 1981, Udaya Halim mendirikan kursus bahasa Inggris bernama King's English Course.[4] King's English Course lalu dipercaya menjadi mitra British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC).[4] Pada tanggal 28 Agustus 1988, lembaga kursus Bahasa Inggris ini berganti nama menjadi KING’S English & Education Centre (KING’S EEC). Keinginan Udaya terjun di dunia pendidikan sebenarnya untuk menolak stigma bahwa orang Tionghoa hanya cocok jadi pengusaha.[2]

Pada akhir Desember 1997 menjelang pecahnya huru-hara di Indonesia, Udaya Halim dan keluarganya dengan terpaksa pindah ke luar negeri, tepatnya ke Perth, Australia.[6] Ia kembali ke Indonesia pada tahun 2004 dan mendirikan sekolah bernama Prince’s Creative School.[6] Lewat sekolah kreatif itu Udaya Halim dikenal sebagai konsultan untuk anak-anak bermasalah.[6]

Bidang Ketionghoaan dan permuseuman[sunting | sunting sumber]

Udaya Halim menaruh perhatian khusus terhadap penelitian sejarah serta pelestarian kebudayaan Tionghoa, terutama lewat organsisasi PERTIWI (Peranakan Tionghoa & Warga Indonesia) yang ia dirikan.[2] Meski berdarah Tionghoa khususnya Benteng, ia mengaku sebagai seorang nasionalis Indonesia yang menyuarakan penentangan akan diskriminasi dan rasisme terhadap suku atau golongan mana pun.[2]

Udaya Halim menjadi penyelenggara Pertemuan Peranakan yang ke-31 (31st Peranakan Convention 2018) yang diadakan untuk pertama kalinya pada tanggal 23-25 November 2018 di Tangerang, Banten.[7] Ajang ini merupakan pertemuan para peneliti dan budayawan Tionghoa Peranakan dari berbagai negara.[7]

Museum Benteng Heritage[sunting | sunting sumber]

Museum Benteng Heritage

Pada tahun 2007 ia membeli sebuah bangunan tua berusia 200 tahun lebih di Jalan Cilame, Pasar Lama, Tangerang.[4] Rumah tua yang didirikan pada tahun 1684 itu mempunyai gaya arsitektur Tionghoa. Ini dapat dilihat dari gaya pelana kuda yang menghiasi bagian atapnya.[3] Kondisi awalnya sangat buruk sehingga Udaya membutuhkan waktu dua tahun untuk merestorasinya dengan biaya sendiri.[3] Proses restorasi dilakukannya secara hati-hati, dengan tidak mengubah gaya arsitektur aslinya.[3] Selain itu ada bagian-bagian rumah asli yang tetap dipertahankan seperti dinding bata, lantai atas, pintu dan jendelanya.[3] Pada tanggal 11 November 2011, rumah ini diresmikan menjadi Museum Benteng Heritage, museum Tionghoa Peranakan pertama di Indonesia.[3]

Di dalam museum tersebut dipamerkan berbagai warisan kebudayaan Tionghoa Peranakan seperti kebaya encim dan gambang kromong. Selain itu di Museum Benteng Heritage dapat dilihat berbagai peralatan rumah tangga yang umum digunakan masyarakat Tionghoa Tangerang di masa lalu.[2] Menurut Udaya Halim, tujuannya mendirikan museum ini adalah dedikasi terhadap pelestarian budaya Tionghoa sekaligus mengangkat harga diri dan keberadaan masyarakat Benteng.[2]

Buku[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]