Sentimen anti-Tiongkok di Jepang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sentimen anti-Tiongkok di Jepang telah ada sejak periode Tokugawa. Sentimen anti-Tiongkok di Jepang telah meningkat tajam sejak tahun 2002. Pandangan yang tidak baik terhadap Tiongkok adalah 95%, pandangan yang tidak baik terhadap rakyat Tiongkok adalah 93%.

Periode Tokugawa[sunting | sunting sumber]

Dari tahun 1600 hingga 1868, selama periode Tokugawa, Jepang bertransformasi dari sebuah ngera yang terpecah karena perang saudara menjadi sebuah negara yang bersatu, stabil, dan matang.[1] Pada periode ini muncul upaya untuk menghapus pengaruh asing, termasuk Tiongkok, pada budaya Jepang.

Selama waktu ini, Jepang tetap terisolasi dari dunia, sehingga budayanya berkembang dengan sangat sedikit pengaruh asing. Salah satu gerakan kebudayaan utama periode Tokugawa adalah institusi dari sebuah cabang keilmuan yang disebut kokugaku (国学), secara harfiah berarti "Studi-studi Nasional"dan umumnya diterjemahkan sebagai "Studi-studi Jepang". Para praktisi gerakan ini, atau Kokugakushu, berusaha membedakan antara mana yang merupakan budaya Jepang asli dan mana yang merupakan budaya asing[2] dan mengembalikan budaya Jepang kepada apa yang ada sebelum pengaruh asing—terutama bangsa Tiongkok.[3] Usaha mereka memiliki fokus besar pada Shinto,[2] agama penduduk asli Jepang.[4] Para penganut Konfusianisme Tokugawa awal mencoba menghubungkan Shinto dengan Tiongkok dengan menunjukkan asal-usulnya dari Tiongkok. Aliran Hirata dari gerakan kokugaku merespons dengan memulai sebuah proyek untuk "menjepangkan" Yi Jing, sebuah kitab yang sangat berpengaruh pada Shinto, dengan menyatakan bahwa kitab tersebut berasal dari Jepang. Proyek ini selesai dengan Aizawa Seishisai menghilangkan unsur Tiongkok pada Yi Jing.[5] Bangkitnya harga diri nasional selama periode ini mengakibatkan Jepang melihat dirinya sebagai pusat dari "dunia yang beradab yang dikelilingi oleh orang-orang barbar".[6]

Restorasi Meiji[sunting | sunting sumber]

Dari tahun 1866 hingga 1869, selama Restorasi Meiji Jepang, negara ini mampu mengejar kemajuan negara-negara barat.[7] Sementara itu, Tiongkok tenggelam dalam keadaan disfungsi yang dalam. Meskipun Yukichi Fukuzawa menolak untuk mengakui Tiongkok sebagai teman yang buruk dalam "Datsu-A Ron" (diterjemahkan menjadi "Argumen untuk Meninggalkan Asia"), ini bukanlah sikap yang dominan dan kesadaran yang diskriminatif terhadap Tiongkok tetap ada.

Sentimen-sentimen sinofobia ini memicu kekejaman tentara Kekaisaran Jepang yang dilakukan terhadap rakyat Tiongkok selama Perang Dunia II, yang mencapai puncaknya dalam Pembantaian Nanking. Perang Tiongkok-Jepang Kedua merenggut nyawa lebih dari 20 juta jiwa rakyat Tiongkok, kebanyakan warga sipil. Kerugian properti yang diderita oleh Tiongkok bernilai USD.383 miliar menurut kurs mata uang pada bulan Juli 1937, kira-kira 50 kali PDB Jepang pada saat itu (USD.7,7 miliar).[8]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tokugawa Period. BookRags. Retrieved on 2008-08-24.
  2. ^ a b Tokugawa Enlightenment Diarsipkan May 27, 2010, di Wayback Machine.
  3. ^ First 1500 characters of Shintoism. 123HelpMe.com. Retrieved on 2008-08-24.
  4. ^ Shinto. Japan-guide.com. Retrieved on 2008-08-24.
  5. ^ Ng, Wai-ming. The I Ching in the Shinto Thought of Tokugawa Japan. University of Hawaii Press (1998). Retrieved on 2008-08-24.
  6. ^ Kanji Nishio II. Japan's Identity: Is Asia One? Is Japan Part of the East? Diarsipkan February 12, 2009, di Wayback Machine. Japan Forum on International Relations. Retrieved on 2008-08-24.
  7. ^ Japan needs an Obama Diarsipkan February 13, 2009, di Wayback Machine.. The Jakarta Post. Retrieved on 2008-09-03.
  8. ^ "BBC - History - World Wars: Nuclear Power: The End of the War Against Japan". Diakses tanggal 28 March 2016.