Rasionalisasi (sosiologi)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rasionalisasi mengacu pada penggantian tradisi, nilai, dan emosi sebagai daya pendorong perilaku dalam masyarakat yang rasional dan terkalkulasi. Salah satu contohnya adalah penerapan birokrasi di pemerintahan; yang merupakan semacam rasionalisasi, seperti pembangunan ruang hidup dengan efisiensi tinggi dalam arsitektur dan perencanaan kota.

Rasionalisasi mengacu pada proses penggantian nilai, tradisi, dan emosi masyarakat; yang memotivasi perilaku mereka saat ini, dengan pemikiran dan tindakan yang tampaknya lebih rasional. Misalnya, dalam hal ini adalah masyarakat Barat yang mencoba mengubah tradisi budaya dan nilai bangsa yang kurang berkembang secara ekonomi; yang di mata mereka dapat memberikan manfaat. Masyarakat Barat mencoba menggantikan apa yang mereka lihat sebagai proses berpikir yang ketinggalan zaman dengan apa yang menurut mereka 'lebih modern' dan 'kebarat-baratan'. Alasan potensial mengapa rasionalisasi budaya dapat terjadi, diakibatkan karena proses globalisasi. Kini, negara-negara semakin saling terkait, akibat bangkitnya teknologi. Masyarakat di berbagai negara menjadi lebih mudah untuk saling mempengaruhi satu sama lain, melalui jejaring sosial, baik media atau politik. Contoh rasionalisasi ini terjadi dalam kasus 'dokter dukun' di wilayah tertentu di Afrika. Bagi masyarakat Afrika, para 'dukun' ini merupakan bagian penting dari budaya dan tradisi mereka; namun banyak masyarakat Barat mencoba merasionalisasi praktik 'dukun' tersebut dengan mendidik bangsa Afrika tentang praktik pengobatan modern (Giddens, 2013).

Banyak sosiolog, ahli teori kritis dan filsuf kontemporer berpendapat bahwa rasionalisasi, secara keliru dianggap sebagai bagian dari kemajuan, dan memiliki efek negatif serta dehumanisasi terhadap masyarakat, dan mengubah modernitas menjauh dari ajaran pokok pencerahan.[1] Pendiri sosiologi memiliki reaksi kritis terhadap rasionalisasi:

Marx dan Engels menghubungkan kemunculan masyarakat modern, terutama dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Durkheim, hal tersebut terutama terkait dengan proses industrialisasi dan pembagian kerja sosial baru yang dihasilkannya. Bagi Weber, hal tersebut berkaitan dengan munculnya cara berpikir yang khas, akibat kalkulasi rasional yang dikaitkan dengan Etika Protestan (kurang lebih apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels dalam kaitannya dengan 'kalkulasi egois yang dingin').

— John Harriss The Second Great Transformation? Capitalism at the End of the Twentieth Century tahun 1992., [2]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Habermas, Jürgen, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press (1985), ISBN 0-7456-0830-2, p2
  2. ^ Harriss, John. The Second Great Transformation? Capitalism at the End of the Twentieth Century in Allen, T. and Thomas, Alan (eds) Poverty and Development in the 21st Century, Oxford University Press, Oxford. p325.