Psycho Pain Theory

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Psycho Pain Theory[1] atau Teori Penderitaan Psikologis adalah kajian teori yang menekankan bahwa setiap individu yang mengalami penderitaan (pain) akan selalu berusaha untuk meredakan penderitaannya (pain relieve) dengan berbagai cara tertentu. Cara-cara yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mengurangi rasa deritanya lebih banyak dilakukan dengan cara-cara projektif. Teori ini dikembangkan oleh seorang psikolog bernama Eko Budhi Purwanto.

Dalam risetnya ditemukan bahwa pada dasarnya, terjadinya penderitaan pada seseorang terlihat apabila apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan yang dialaminya, akibat hambatan-hambatan yang terbentuk oleh normalitas kondisi lingkungan. Dalam arti bahwa apabila seseorang mengalami kegagalan atas yang diharapkan dan tidak terkabulkan harapannya, maka hal tersebut akan menjadi bentuk distorsi yang cenderung bersifat patologis. Kondisi ini memang tidak selalu disadari oleh individu sebagai gangguan jiwa, namun penderitaan-penderitaan yang diakibatkannya akan selalu membutuhkan usaha untuk meredakannya. Perilaku yang abnormal bisa saja terbentuk sebagai reaksi dari penderitaan yang terlalu berat dari proses impuls atau neurotransmisi yang diperankan oleh neurotransmitter dengan reseptor yang berada dalam lingkup otak manusia.

Istilah penderitaan dalam psikologi diartikan sebagai rasa sakit, baik sakit secara fisik maupun psikis yang dialami seseorang, dan pihak yang menderita merasakan keharusan untuk menanggung beban atas derita yang dialami. Namun tidak dikatakan menderita manakala seseorang meski secara fisik terluka tetapi secara psikis tidak merasa terluka, dan tidak merasa harus menanggung beban atas luka yang dideritanya. Artinya, dapat dikatakan menderita manakala terdapat nuansa yang terkait dengan perasaan untuk harus menanggung beban derita yang hal tersebut tergantung dari hati/jiwa individu yang bersangkutan.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, perasaan menderita atau tidak menderita sangat tergantung pada diri manusia yang berangkutan, dimana antara individu yang satu dengan individu yang lainnya memiliki konsep perasaan yang berbeda-beda. Perasaan menderita tidak tergantung pada apa yang sedang dialaminya, melainkan lebih dipengaruhi oleh bagaimana persepsi individu yang bersangkutan terhadap berbagai hal atau peristiwa yang sedang dialaminya.

Kepemilikan relisiensi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang berpersepsi terhadap hal-hal atau peristiwa yang menyebabkan munculnya perasaan penderitaan. Seseorang yang tidak memiliki daya tahan (resiliensi mental) yang tinggi akan cenderung mengalami resiko perasaan menderita yang lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki daya tahan yang baik. Individu dengan tingkat relisiensi mental yang rendah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berada pada kondisi penderitaan yang mengarah pada fase yang disebut kekalutan mental.

Psikolog Amerika, Gordon Alport, dalam buku “Growth Psychology; Models of The Healthy Personality”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “Psikologi Pertumbuhan; Model-model Kepribadian Sehat” oleh Duane Schultz[2] menyatakan bahwa, pribadi-pribadi yang tidak mampu mengeluarkan diri dari zona menderita atau tidak mampu menata diri (self regulation) tatkala penderitaan itu datang adalah orang-orang yang tidak matang, tidak memiliki pribadi sehat yang sumbernya ada pada kualitas penerimaan diri atas apa yang terjadi. Orang-orang yang berkepribadian sehat dan matang, mereka akan mau dan mampu menerima dan melaluinya dengan baik.

  1. ^ Purwanto, Eko Budhi (2022). Aku Bangga Menjadi Assessor PMPO. Tangerang: Batu Bita Incorporation. ISBN 978-602-61478-7-5. 
  2. ^ Schultz, Duane (1991). Psikologi Pertumbuhan : Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9794135437.