Psikologi antarbudaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Psikologi antarbudaya atau di Indonesia lebih dikenal dengan psikologi lintas budaya adalah cabang ilmu pengetahuan tentang psikologi yang berfokus pada identitas individu, fungsi psikologis individu antarbudaya dan perbandingan antarbudaya dengan analisis yaitu individu dalam konteks budaya. Pendekatan aspek psikologi antarbudaya tidak hanya pada perilaku tetapi terkait juga pada proses mental. Jadi apa yang terjadi pada kognisi dan emosi, dirasakan oleh individu dengan beragam konteks budaya.[1]

Psikologi antarbudaya diidentifikasi berdasarkan faktor budaya yang mempengaruhi perilaku manusia. Berbagai aspek pemikiran dan perilaku manusia yang bersifat universal berhubungan dengan cara orang berpikir, merasa dan bertindak.[2]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Ilmu psikologi antarbudaya dimulai dengan observasi terhadap kelompok-kelompok dari latar belakang budaya dan oleh para ahli dilanjutkan pendokumentasian terhadap hasil pengamatan tersebut. Sejarah perkembangan psikologi antarbudaya diawali oleh pengamatan yang dilakukan oleh Aristotle pada kelompok-kelompok populasi di Laut Mediterania. Pengamatan yang dilakukan oleh Ibn Khaldun tentang kelebihan bangsa Arab dengan pengamatan tentang bagaimana Suku bangsa Arab memiliki perbedaan dan kesamaan jika dibandingkan dengan suku bangsa lain. Pada abad ke 19 observasi dilakukan secara sistematis dan empiris, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Rivers tahun 1901 dengan pengamatan tentang kecerdasan dan kemampuan sensori visual pada kelompok individu yang primitif yang merupakan awal penelitian empiris psikologi antarbudaya.[1]

Psikologi antarbudaya menjadi topik yang semakin penting, terutama usaha para peneliti untuk memahami perbedaan dan persamaan di antara orang-orang dengan keragaman budaya di seluruh dunia. Sehingga pada tahun 1972 didirikan Asosiasi Internasional Psikologi Antarbudaya (The International Association of Cross-Cultural Psychology (IACCP)). Sejak saat itu, cabang psikologi antarbudaya terus berkembang.[2]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Psikologi antarbudaya memiliki tujuan yaitu berusaha membawa hipotesis dan temuan dalam lingkungan kelompok budaya untuk menguji daya terapnya. Psikologi antarbudaya berbeda dari psikologi tradisional. Penerapan psikologi antarbudaya dimaksudkan untuk menguji batasan-batasan pengetahuan orang dengan latar belakang budaya dan kultur yang berbeda. Usaha menjalin dan mengintegrasikan penerapan tersebut untuk mendapatkan hasil-hasil konstruksi psikologi yang diakui dalam psikologi berwawasan luas sesuai tujuan penerapan teori psikologi antarbudaya yang dapat berlaku secara universal.[3]

Penerapan pendekatan[sunting | sunting sumber]

Pendekatan pada psikologi antarbudaya berfokus pada tiga pendekatan yaitu pendekatan etik, pendekatan emic dan etnosentrisme. Pendekatan etik adalah pendekatan psikolog dengan mempelajari budaya berdasarkan perspektif orang luar dan menerapkan satu konsep dan pengukuran secara universal untuk semua budaya. Pendekatan emic adalah pendekatan psikolog dengan mempelajari budaya berdasarkan perspektif orang dalam dan menganalisis konsep dengan aspek berdasarkan spesifikasi budaya yang diamati. Pendekatan yang digunakan oleh psikolog dapat menggunakan salah satu pendekatan atau menggabungkan dua pendekatan tersebut dalam pengkajiannya. Sementara pendekatan Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menggunakan budaya sendiri dalam menilai dan mengevaluasi budaya lain. Pendekatan tersebut dianggap akan menyebabkan kesulitan bagi psikolog untuk melakukan pengkajian psikologis kepada latar belakang budaya klien akan mempengaruhi perilakunya, karena psikolog akan cenderung melihat perbedaan budaya secara bias dan negatif.[2]

Penerapan konseling[sunting | sunting sumber]

Dalam bidang psikologi, pendekatan antarbudaya dijadikan sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioristik dan humanistik. Lebih lanjut, aspek konseling dalam antarbudaya adalah latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien, asumsi-asumsi masalah yang didapatkan dalam konseling dan nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling seperti kesempatan dan hambatan yang dilatarbelakangi tempat dilaksanakannya konseling.[4]

Unsur-unsur pokok pada konseling antarbudaya dapat diperhatikan dari klien dan konselor sebagai individu yang tidak terlepas dari pengaruh unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan sikap, bahasa, nilai-nilai, dan pandangan hidup. Dalam penerapan konseling tersebut, konselor dapat menyadari bahwa unsur-unsur budaya dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan proses konseling.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Savitri, S. Intan; Mardhatillah, Amy; Syaiful, Irfan Aulia (2018). Psikologi Lintas Budaya: Kisah Para Pejalan - Bangkok, Singapura, dan Jakarta. Penerbit Andi. ISBN 978-979-29-6814-9. 
  2. ^ a b c "Psychology Explains How Cultural Differences Influence Human Behavior". Verywell Mind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-30. 
  3. ^ a b Ristianti, Dina Haja (2015). "PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA". isbn.perpusnas.go.id. Penerbit LP2 IAIN CURUP. ISBN 978-602-8772-95-2. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  4. ^ M.Psi, Diana Ariswanti Triningtyas, S. Pd. KONSELING LINTAS BUDAYA. Cv. Ae Media Grafika. ISBN 978-602-6637-44-4. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]