Protes atas respons terhadap pandemi COVID-19

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aksi protes dan demonstrasi mulai merebak di seluruh dunia pada awal tahun 2021. Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19. Kebijakan pemerintah seperti pemberlakuan jam malam, pembatasan sosial, bahkan sampai penerapan lockdown diambil dengan tujuan untuk menekan laju penyebaran virus COVID-19.

Dampak pandemi COVID-19 terasa di berbagai wilayah dunia setelah Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global. Hampir 100 negara memberlakukan lockdown di wilayahnya. Hal tersebut berimbas ke berbagai bidang, seperti ekonomi, pariwisata, dan transportasi.

Kebijakan-kebijakan tersebut yang memicu aksi protes di berbagai wilayah penjuru dunia. Bahkan ada beberapa aksi yang berubah menjadi kekerasan.[1]

Cina[sunting | sunting sumber]

Aksi protes terhadap kebijakan lockdown terjadi di Cina. Aksi ini terjadi sebagai imbas pemberlakuan lockdown oleh pemerintah setempat. Aturan pelebaran lockdown akibat kasus COVID-19 mencapai rekor tertinggi selama beberapa hari diprotes oleh warga. Aksi ini dipicu oleh kebakaran di salah satu gedung tertinggi, Urumqi, Xinjaing pada Kamis (24/11) yang menyebabkan 10 orang meninggal. Kesepuluh korban tersebut tidak dapat menyelamatkan diri akibat dikuncinya gedung tersebut oleh pejabat pemerintah. Kebakaran yang menewaskan beberapa orang tersebut memicu aksi demo di Xinjiang pada Jumat (25/11) dan menyebar ke kota lain termasuk demo di Shanghai dan Tiongkok Minggu (27/11).[2]

Bahkan aksi demo di Shanghai melibatkan ratusan pengunjuk rasa dan petugas kepolisian bentrok.

Di Tiongkok, demonstrasi besar belum pernah terjadi sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu. Akan tetapi, aksi protes yang disebabkan peristiwa kebakaran tersebut memicu gelombang pembangkangan sipil. Warga menuding insiden itu tidak lepas dari lamanya kebijakan lockdown.[3]

India[sunting | sunting sumber]

Aksi warga menentang kebijakan lockdown di India berakhir dengan kasus kekerasan. Kasus kekerasan dilakukan oleh polisi terhadap warga. Kasus kekerasan ini menjadi sorotan karena polisi ingin menghalau warga yang tidak mematuhi peraturan lockdown. Menurut aturan yang berlaku, polisi hanya diperbolehkan menahan warga yang tidak patuh dan tidak boleh memukulinya.

Kolombia[sunting | sunting sumber]

Di Kolombia, kasus kerusuhan terjadi akibat dari kepanikan sejumlah narapidana. Kepanikan tersebut disebabkan karena para narapidana berusaha kabur dari penjara akibat isu penyebaran virus di dalam penjara. Menurut data, 23 data orang tewa dan 83 orang terluka akibat kerusuhan yang terjadi di penjara Lo Modelo

Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, aksi penolakan oleh warga juga terjadi. Aksi penolakan warga ini bukan pada aturan lockdown tetapi pada aturan pemakaman jenazah pasien dan paramedis yang wafat akibat COVID-19. Aksi penolakan itu tercatat terjadi di tiga wilayah, yaitu Gowa, Banyumas, dan Semarang. Aksi penolakan tersebut dipicu kekhawatiran bahwa jenazah tersebut dapat menularkan virus COVID-19 ke warga sekitar area pemakaman.[4]

Thailand[sunting | sunting sumber]

Di Bangkok, Thailand, para mahasiswa juga melakukan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah dalam penangangan pandemi COVID-19 yang berakhir kerusuhan. Para mahasiswa itu mengatasnamakan diri dengan sebutan Free Youth. Mereka menilai pemerintah lambat menangani pandemi COVID-19. Mereka juga menuntut Perdana Menteri Thailand, Prayuth mengundurkan diri dari jabatannya.

Selain itu, mereka menilai pemerintah tidak siap dengan ketidakseimbangan layanan medis dan paramedis terhadap lonjakan kenaikan kasus COVID-19. Ketersediaan vaksin juga masih sedikit. Hal itu memperburuk kondisi pandemi COVID-19 di Thailand.

Di sisi lain, kebijakan lockdown telah diterapkan di Thailand berminggu-minggu tetapi kasus COVID-19 tetap melonjak.

Layanan darurat Erawan Medical Center Kota melaporkan lima orang dirawat di rumah sakit, tiga di antaranya adalah polisi akibat kerusuhan itu.[5]


Penerapan kebijakan  lockdown dan pembatasan sosial bagaikan pisau yang bermata dua. Di sisi lain bermanfaat tetapi di sisi lainnya juga berakibat fatal bagi masyarakat. Dari sisi kebermanfaatannya, kebijakan ini dapat menekan laju penyebaran virus COVID-19 seperti di negara Cina dan Korea Selatan. Namun, di sisi lainnya kebijakan ini menyimpan konsekuensi yang berat terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang langsung merasakan dampak kebijakan ini. Kebijakan lockdown dan pembatasan sosial dapat mematikan ekonomi di wilayah-wilayah yang menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini berarti bahwa penerapan kebijakan lockdown dan pembatasan sosial di wilayah tertentu harus dipersiapkan dan dikelola dengan matang oleh pemerintah.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Haddad, Mohammed. "Mapping coronavirus anti-lockdown protests around the world". Al Jazeera (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-11-28. 
  2. ^ detikcom, Tim. "Demo di China Protes Aturan Lockdown COVID-19: Pemicu dan Dampaknya". detiknews. Diakses tanggal 2023-11-28. 
  3. ^ developer, mediaindonesia com. "Aksi Protes Kebijakan Covid-19 Meluas di Wilayah Tiongkok". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-11-28. 
  4. ^ Satya, Putu Agung Nara Indra Prima (2020-04-27). "COVID- 19 dan Potensi Konflik Sosial". Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional: 39–45. doi:10.26593/jihi.v1i1.3867.39-45. ISSN 2406-8748. 
  5. ^ Indonesia, C. N. N. "Aksi Protes Kebijakan Covid-19 Thailand Berujung Kerusuhan". internasional. Diakses tanggal 2023-11-28.