Prasasti Gosari

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prasasti Gosari atau Prasasti Butulan adalah prasasti berangka tahun 1298 saka (1376 M) terletak di gua Butulan, kawasan pegunungan kapur di desa Gosari, Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Tidak seperti prasasti pada umumnya yang diukir di atas sebongkah batu, prasasti ini diukirkan di permukaan dinding gua.

Penduduk desa di sekitar lokasi ini sebenarnya sudah tahu akan keberadaan prasasti ini sejak lama. Akan tetapi prasasti ini secara resmi dilaporkan ke pihak berwenang pada 2004.

Isi[sunting | sunting sumber]

Pada 2005 prasasti Gosari telah dibaca dan diterjemahkan Luthfi dari Universitas Gadjah Mada bersama Tim Arkeologi Deputi Bidang Sejarah Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

  1. diwasani ngambal 1298
  2. duk winahon denira san(g) rama samadya
  3. makadi siri buyutarjah tali kur si
  4. raka durahana

Pada 2013, prasasti Gosari dibaca ulang oleh Arlo Griffiths, guru besar di École française d'Extrême-Orient, dengan hasil yang berbeda.

  1. // divasaniṅ ambal· ✤ 1298 ✤
  2. duk· vinahon·
  3. denira saṁ rama samadaya makadi
  4. sira buyut ajraḥ + ta(l)ikuṙ si-
  5. ra kadu(ru)hane |

Terjemahan[sunting | sunting sumber]

Terjemahan awal (2005):

  1. pada tahun 1298 saka (1376 M) di Ambal
  2. waktu itu didiami San(g) Rama Samadya
  3. buyut arjah talikur
  4. yang tersingkirkan

Terjemahan Griffiths (2013) dengan beberapa perbaikan:

  1. Tanggal tangganya: 1298 [Śaka]
  2. Ketika (tangga ini) diperbaiki
  3. Oleh mereka – seluruh pembesar desa mulai dengan sesepuh (bernama) Ajrah – mereka/beliau
  4. Menjaga[1] ketinggiannya(?)[2]

Penafsiran[sunting | sunting sumber]

Sejak 2005 penelitian telah dilakukan terhadap prasasti ini dan disimpulkan bahwa prasasti ini terkait dengan kerajaan Majapahit dan ditulis pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk. Juga disimpulkan bahwa prasasti ini bercerita mengenai riwayat seorang ksatriya bernama Sang Rama Samadya yang menghuni gua ini karena diasingkan. Sejarawan menduga bahwa tokoh Sang Rama Samadya mungkin sebelumnya adalah seorang ksatriya atau pejabat penting dan berpengaruh di istana Majapahit yang akibat kalah pengaruh dalam politik istana akhirnya tersingkirkan. Ia diasingkan (atau mengasingkan diri) di gua Butulan, dan melakukan semadi atau meditasi mungkin didasari alasan spiritual atau olah kanuragan (ilmu beladiri) dan untuk mencapai kesaktian.

Namun, penafsiran di atas sulit diterima secara ilmiah. Pertama, prasasti Gosari tidak menyebut nama raja ataupun lingkungan keraton. Meskipun dikeluarkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, belum bisa dikatakan ada hubungan langsung dengan raja tersebut. Kedua, ungkapan "sang rama samadaya" secara harfiah berarti "para kepada desa bersama", dan kurang patut diterjemahkan sebagai nama tokoh. Ketiga, kata kadu(ru)hane yang awalnya diterjemahkan sebagai "diasingkan", lebih mungkin ditafsirkan sebagai metatesis dari kaduhuran, yaitu "ketinggian". Dengan beberapa perbaikan ini, cerita tentang pengasingan seorang ksatriya dari keraton Majapahit seperti yang dirangkum di atas tidak dapat dipertahankan lagi.

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Griffiths (2013): "Uraian yang di sini saya ajukan bertolak dari adanya kata kerja tlikur ‘menjaga’ dalam bahasa Jawa Baru. Bentuk talikur tidak terekam di KJKI, meskipun ada di prasasti Sembiran AI dari Bali (lempeng IIa, baris 3) dalam konteks yang susah diuraikan dengan arti ‘menjaga’ (Goris 1954/I: 104 dan II:132, 316)". "Prasasti Gosari", hlm. 33
  2. ^ Griffiths (2013): "Kemudian, kata kaduruhane diuraikan sebagia kaduruhan dengan akhiran -(n)e, yaitu bentuk Jawa Baru dari -nya; oleh karena tidak adanya kata dasar duruh, terpaksa saya berasumsi bahwa kita menghadapi bentuk metatesis dari kaduhuran, dengan kata dasar ḍuhur = ruhur (KJKI, hlm. 233, 960), sehingga saya menerjemahkan ‘ketinggian’". "Prasasti Gosari", hlm. 33

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Kompas. 27 July 2010. Prasasti Gosari Terkait Dengan Majapahit. Kompas Jawa Timur page K
  • Arlo Griffiths, "Prasasti Gosari", dalam Bengawan Solo: Riwayatmu Dulu (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi, 2013), hlm. 32–33.