Petulai Jurukalang
Jurukalang atau Jêkalang[1] (kadang dieja Jikalang), adalah salah satu dari empat petulai atau subsuku Rejang.[2] Petulai ini didirikan oleh Biku Bembo, dengan Topos (kala itu bernama Sukau Nêgrai; Suka Negeri) sebagai permukian pertama sekaligus asal-usul anak keturunan petulai ini. Topos pula diakui sebagai permukiman atau desa tertua di Tanah Rejang.[3][a] Catatan tertua mengenai petulai ini termaktub dalam The History of Sumatra (1783), karya William Marsden.[4]
Konsep kewilayahan
[sunting | sunting sumber]Salah satu konsep mengenai wilayah yang dimiliki petulai ini adalah tanêak tanai, sebutan bagi hamparan tanah yang dimiliki secara komunal, tetapi dikelola warga secara individu.[5] Konsekuensi kepemilikan individu pada tanêak tanai adalah kewajiban individu pengelola untuk menanam tanaman-tanaman keras yang bernilai ekonomi dan konservasi, seperti petai atau durian. Tanaman-tanaman tersebut kelak menjadi penanda bahwa bidang tanah tersebut telah digarap oleh seseorang atau keluarga tertentu.[5]
Selain itu, masyarakat petulai Jurukalang mempercayai adanya hutan larangan, yang secara lokal dikenal sebagai imbo piandan. Salah satu hutan larangan petulai ini terdapat di kawasan Bukit Serdang. Hutan larangan dipercaya sebagai tempat bermukimnya roh-roh gaib dan oleh karenanya tak boleh dibuka.[5]
Marga dan desa
[sunting | sunting sumber]Keturunan petulai Jurukalang awalnya mendiami desa-desa yang nantinya oleh Belanda diorganisasi menjadi marga Jurukalang, yang terletak di Kabupaten Lebong yang sekarang. Desa-desa atau kutai-kutai yang dimaksud meliputi Topos, Teluk Dien, Rimbo Pengadang, dan Kutai Donok. Anak cucu Jurukalang nantinya menuruskan kegiatan mênyusuk atau membuka desa-desa baru ke luar Lebong. Ada yang ke daerah Pesisir, Lintang Empat Lawang, serta Ulu Rawas.[6]
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Sebelum berdirinya Topos dan adanya petulai, masyarakat Rejang sudah memiliki adat dan struktur sosial, hidup mengelompok dan dipimpin oleh seorang ketua yang bergelar ajai. Pada masa pemerintahan ajai, sudah ada kutai-kutai (desa otonom yang berdiri sendiri), seperti Kutai Pakua, Kutai Mawua, dan sebagainya. Namun, Topos tetap dianggap sebagai yang tertua, setidaknya pada masa pemerintahan bikau.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Basrin 2018, hlm. 6.
- ^ Hazairin 1936, hlm. 1.
- ^ Basrin 2018, hlm. 33.
- ^ Marsden 1783, hlm. 178.
- ^ a b c Akar Foundation. "Melirik Kearifan Lokal Suku Rejang Jurukalang dalam Tata Kelola Hutan". Diakses tanggal 12 Desember 2021.
- ^ Basrin 2018, hlm. 33-34.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Basrin, Erwin (2018). Kusdinar, Pramasty Ayu, ed. Jurukalang Tanah yang Terlupakan: Menelisik Dominasi Penguasaan Tanah di Marga Jurukalang (PDF). Bengkulu: Akar Foundation. hlm. 9, 100. Diakses tanggal 9 Desember 2021.
- Hazairin, Hazairin (1936). De Redjang, de Volksordening, het Verwantschaps-, Hwelijks-, en Erfrecht. Bandung: A.C. Nix. hlm. 1. Diakses tanggal 9 Desember 2021.
- Marsden, William (1783). The History of Sumatra, Containing an Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, with A Description of the Natural Productions, and a Relation of the Ancient Political State of the Island. hlm. 178.